10. Bitter

1711 Kata
Ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam masalah reproduksi. Jangan hanya karena belum menikah, masih remaja, tentunya masih dalam kategori kegadisan terkunci, itu tidak menjadi alasan bagi seorang perempuan untuk merasa tidak perlu konsultasi ke dokter kandungan. Fungsinya Ron menjabat sebagai dokter spesialis obestetri dan ginekologi adalah untuk dimanfaatkan bagi para wanita dalam menjaga kesehatan organ reproduksinya. Memang seringkali dia kehadiran anak muda atau remaja yang membutuhkan konsultan, tapi sayangnya mereka datang bukan untuk mempertanyakan soal kesehatan, melainkan konsultasi yang berujung pada: Boleh saya minta nomor ponsel Dokter? Atau jenis konsultasi yang terjebak pada percakapan: "Jadi, saya tidak hamil?" "Kamu bahkan terbukti masih perawan." "Ah, saya lupa ... Dok, saya belum menikah dan belum tetekbengeknya." Waktu Ron banyak yang terbuang. Dia selalu menyetujui janji temu dengan siapa saja yang perlu obrolan intim dengannya, tapi tidak pernah menduga akan seperti itu jadinya. Dia jadi merasa seperti ... dokter macam apa? Ngomong-ngomong soal kesahatan remaja, perempuan yang belum menikah, pagi ini sebelum berangkat kerja Ron menyarankan kepada ponakannya tentang ... "Sesekali kunjungi Paman di rumah sakit untuk cek kesehatan." Larissa yang tengah melahap sarapannya berhenti mengunyah. "Aku tidak sakit, Paman." "Tetap saja, konsultasi dengan dokter kandungan itu perlu." Kini Larissa menelan hasil kunyahannya. Dia belum menatap pamannya, tapi tidak melewatkan obrolan. "Aku tidak hamil." Agaknya Larissa gugup, kenapa tiba-tiba membahas soal kandung-mengandung? Yang dari sudut pandang Ron, padahal pembahasan ini lebih meruncing ke kategori kesehatan. Memang dasar otak Larissa yang suram. "Kenapa juga harus konsultasi?" Ron meneguk air putihnya, lalu dia memusatkan fokusnya kepada Larissa. "Tentu untuk merawat kesehatan. Biasanya pada ukuran yang belum menikah, kita hanya perlu mengecek beberapa bagian seperti ... melakukan tanya jawab seputar kesehatan atau keluhan, mengecek bagian-bagian intim--" "Paman bercanda, ya?!" Larissa memangkas ucapan Ron sambil menggebrak meja, wajahnya sudah merona. "Itu pelecehan namanya!" Raut Ron tetap datar. Sementara Larissa sudah menyilangkan tangan di depan d**a dan menjatuhkan deathglare-nya kepada sang paman. "Aku sangat terkejut, ternyata salah satu isi otak Paman tentangku itu adalah ... wah, secabul itu ya, Paman?" Larissa memelankan intonasi akhir kalimatnya. Sudah tidak ada toleransi lagi terhadap warna wajahnya yang menyaingi tomat busuk. Secepatnya Larissa pun melesat meninggalkan Ron bersama hidangannya di meja. Dia pergi bekerja. Ron mendesah, lain halnya dengan Bibi Enjum yang diam-diam mendengarkan sambil menggendong Archer. Wanita setengah abad itu meringis berujung menertawakan. "Bibi Enjum." "Ya, Tuan?" Wanita lima puluh tahunan itu tersentak dari tawanya. Ron bangkit sambil menyusut bibirnya dengan tisu. "Mulai sekarang jangan membuatkan kami sarapan, jangan memasak, jangan membersihkan rumah, dan berikan Archer kepada Larissa." Belum sempat berkata WHAT DO YOU SAY dengan logat Jawa disertai kuah kental, Bibi Enjum didahuli oleh Ron. "Larissa perlu repot agar jadi sedikit lebih dewasa dan pikirannya tidak tembus ke malam pertama antara pria dan wanita. Dia itu ... kumal sekali otaknya." Sesuai dengan sumpahnya kemarin, Ron akan merepotkan Larissa dengan segala cara. *** Larissa mendesah berat. Pekerjaannya hari ini numpuk sekali gara-gara dia sempat cuti. Alhasil Larissa menggunakan waktu istirahatnya untuk tetap di ruangan. "La, mau aku belikan sesuatu untuk di makan?" "Kopi saja," jawab singkat Larissa memesan. Lucia mendengkus. "Perutmu tak akan kenyang hanya dengan segelas kafein." Mata Larissa fokus ke layar, lalu sesekali dia alihkan pada berkas. "Aku tidak punya banyak waktu untuk makan, Cia. Kalau aku menghabiskan beberapa menit dan meninggalkan pekerjaan, riwayat ... aku lembur sampai ke rumah. Dan aku tidak mau itu." "Baiklah, terserah kamu saja." Lucia mengerling sebelum mengatakannya. Agaknya Larissa terlalu berlebihan. Larissa tidak menggubris, dia tetap bergelut mesra sampai berintim-intim ria dengan persoalan sipil di masyarakat. Dia tidak mau bekerja sampai petang, atau membawa pulang pekerjaannya. Di rumah dan separuh waktunya dari seharian adalah totalitasnya dengan sang paman, tidak boleh diganggu, mutlak. Sama halnya dengan Larissa yang sibuk, Ron pun demikian. Entah karena jodoh atau bukan, tapi Ron sendiri menolak untuk makan siang akibat urusan kedokteran. Tepatnya, ada ibu melahirkan. Ron tidak mungkin menunda kelahiran bayi dengan alasan 'ini waktunya makan siang'. Ron senang membantu para ibu hamil mengeluarkan nyawa baru dari rahimnya. Dia juga kadang merasakan sensasi dari teriakan wanita melahirkan dengan disertai suaminya yang jadi korban. Sehabis proses lahiran itu, biasanya hati Ron berdesir melihat interaksi ibu, anak, dan ayahnya. Kadang, Ron juga mau ada diposisi suami yang dijambak, dicakar, diterkam, diteriaki namanya saat istrinya melahirkan. Tapi sayang, punya istri saja dia belum. "Dok." "Ya?" Ron tersentak. Seorang suster mendatangi ruangannya. Ron baru saja selesai dengan kegiatan ibu hamil bersalin. "Saya bawakan makanan," katanya sambil meletakkan bekal di meja. "Silakan dimakan ya, Dok!" Suster itu tersenyum, bisa dikata dia yang paling dekat dengan Ron di lingkungan rumah sakit, jadi tindakannya tidak secanggung yang lain. Ron pun balas dengan anggukkan kepala, dan menerima kotak makannya. "Terima kasih." Jangan ditanya sebahagia apa suster itu sekarang, dia merasa spesial hanya karena ucapan barusan, dan merasa sangat spesial karena hanya dia yang bisa berlaku sedekat ini dengan dokter tampan yang terkenal tak acuh; plus lebih ke sulit disentuh. Suster itu hengkang bersama semburat merah di pipinya tepat ketika Ron menyuapkan makanan buatannya dan satu kata "enak" dari sang dokter. *** Tak terasa waktu telah beranjak petang. Larissa nyaris saja kerja lembur bagai kuda, beruntung dia mampu menyelesaikan urusan kantornya, meski tidak tepat waktu. Dia lelah, merasa lapar, dan ... rindu? "Bibi Enjum, apa Paman belum pulang?" Sebab sejak Larissa tiba di rumah, sudah mandi dan tinggal makan saja, tapi batang hidung pamannya belum terlihat. "Belum, Nona." Larissa mendesah. Harusnya sudah pulang, tapi apa pamannya dapat jatah lembur? Ya sudah lah, Larissa putuskan untuk makan lebih dulu. "Bibi Enjum." Larissa menoleh kepada ART-nya yang sedang nonton televisi. "Apa Bibi tidak masak?" "Tuan Muda tidak memberi izin, Nona." "Maksudnya?" "Dia hanya ingin memakan masakanmu, Nona." Daripada bilang: Harus kamu yang masak agar tidak kumal otaknya gara-gara kebanyakan berpikir yang macam-macam. "Yang benar saja! Bahkan sebutir telur pun tidak ada di kulkas," geram Larissa selepas melihat isi lemari esnya. Dia sudah kelaparan, dari siang belum makan, hanya mengisi perutnya dengan kafein. "Bibi--" "Maaf, Nona. Aku tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Bibi Enjum dengan raut sendunya dan dia pun mematikan siaran televisi. "Tapi--" Larissa gagal protes, sebab berikutnya tangisan Archer melengking dan Bibi Enjum berkata, "Bibi akan beli beberapa bahan makanan di supermarket, Nona bisa mengurus Archer selama Bibi berbelanja, bukan?" "Bi--" "Itu perintah Tuan Muda." Sungguh mati Larissa dibuat kesal dengan sikap penurutnya Bibi Enjum terhadap majikan, tapi tidak padanya. Pulang-pulang mendapati kekosongan di meja makan, sedangkan perutnya sudah lebih dari keroncongan. Ditambah Archer yang meraung, pasti ngompol di celana, atau mungkin butuh s**u. Larissa mengembuskan napas berat, tambah berat saja mengingat dia sedang rindu, padahal tiap pagi juga bertemu. "Archer." Larissa akan mengadu. "Papamu itu--" Tunggu sebentar! Ini kasusnya rumah tangga - rumah tanggaan, jadi boleh saja mengklaim pamannya sebagai papa Archer. "Ya, dia sangat menyebalkan. Jam segini belum pulang, tadi pagi juga bertingkah seperti hidung belang. Lalu sekarang, ibumu tidak diberi makan." Larissa mengerucutkan bibirnya sambil mendumal dengan pipi bersemu. Agaknya sebagian diri Larissa merasa menggelikan. Archer masih menangis, padahal popoknya sudah Larissa gantikan. "Kamu lapar ya, Cayang?" Wajah Larissa menyendu, nada bicaranya sok imut sok gemoy begitu. "Sama, kita sama-sama kelaparan." Mata Larissa berkaca-kaca, sebab dia merasa tak berdaya. "Archer ..." Ugh, bayinya menangis kencang sekali. Larissa sampai kasihan dan merasa tertekan karena dia yang sungguh lemah mengurus bayi. Larissa menggendong si kecil, tapi jagoan ciliknya tetap tak mau berhenti menangis. Larissa turut bersedih. "Paman." Sampai dia melirih. Ke mana pamannya? Selain rindu, Larissa juga butuh. Larissa mencoba menenangkan Archer dengan cara ditimang, tapi karena Larissa cengeng, air matanya malah ikutan tumpah. Dia terisak. Sampai Bibi Enjum datang dan Archer tenang kembali pun pamannya belum pulang. "Nona--" "Mendadak aku kenyang, Bi. Aku mau istirahat saja," pangkas Larissa saat Bibi Enjum memasuki kamarnya yang memang terbuka. Bibi Enjum terdiam, sebenarnya dia tak tega. "Kalau Paman pulang, tolong Bibi yang masakkan, aku tidak mau dibangunkan." Mutlak. *** Jika rumus rindu adalah berat ditambah gaya plus jarak, maka bagaimana dengan rumus persoalan rasa lainnya? Konon katanya, rindu adalah gabungan dari satuan Kg-berat, N-gaya, Km-jarak, dikelompokkan menjadi himpunan KgNKm yang sama dengan berarti: KanGeN KaMu. Hebatnya ilmuwan cinta yang bisa memadukan soal fisika dan rasa. Larissa sampai terkesima pada kenyataan dia sedang merindu dan terkesima pada kenyataan seberat itulah rindu. Karena sampai matahari terbit setelah lewat semalam pun, kenyataan rindu itu ada pada pamannya yang tidak pulang. Larissa dirundung cemas. Pamannya juga tidak memberi kabar. "Jadi benar, semalaman Paman tidak pulang?" Bibi Enjum mengangguk. Larissa menggendong Archer yang sejak semalam rewel sekali sampai Larissa tidak bisa tidur nyenyak. Matanya pun berkantung, belum lagi sembap. Larissa kacau. "Nona, saya sudah membuatkan sarapan ... kenapa belum dimakan?" Larissa melirik roti lapis di atas meja makan, dia menggeleng. "Nanti saja." Nafsu makannya lebur dari semalam dan belum tumbuh lagi. Archer sudah dimandikan oleh Larissa dengan bantuan Bibi Enjum, sudah juga diberi s**u. "Bi, aku mau kerja. Bisa tolong jaga Archer? Atau Paman memintaku untuk membawanya juga saat bekerja?" Bibi Enjum langsung menghampiri. Lagi pula, anak dari mana Archer itu? "Sudah terlambat," gerutu Larissa sambil ngacir ke kamar mengambil tas dan merapikan sedikit penampilannya. "Aku berangkat, Bi." Larissa menyempatkan diri mengecup pipi gembul bayi kecilnya dan berpamitan. "Archer, jangan nakal ... Kakak berangkat!" Ada Bibi Enjum yang membuatnya malu mengaku sebagai 'ibu'. Larissa pun langsung melesat tepat di saat Ron tiba rumah. "Tunggu sebentar!" Dan Paman Ron menahannya, dia berhasil menarik tangan Larissa sampai gadis itu nyaris oleng. Larissa tersentak. "Oh, Paman ... tahu jalan pulang, eh?" Dia sedang menyindir, tetapi tidak Ron hiraukan. Ron justru menelisik jeli tiap inchi dan perubahan di wajah Larissa, berantakan. "Aku sudah terlambat, Paman." Larissa mencoba melepaskan cekalan tangan Ron. Tapi tak kuasa. Ron tidak menggubris segala hal yang keluar dari lisan Larissa. Meskipun jika boleh jujur, Larissa ingin menangis sekarang, dia ingin mengadu soal kesulitannya semalam dan rindunya kepada sang paman. Tapi tidak tahu mengapa saat melihat wajah pamannya, Larissa justru mual, dan tambah mual saat Ron memberitahu alasan keabsenannya semalam. "Maaf, aku tidak pulang, urgen. Alora menghubungiku untuk datang ke rumahnya, lalu ibunya memintaku untuk menginap." Larissa terhenyak. Dia diam sejenak, tubuhnya yang semula lemas semakin lemas saja. "Oh." Larissa memalingkan wajahnya, lalu dia mengambil kesempatan untuk lepas dari cekalan pamannya. "Aku telat, Paman." Hanya itu, Larissa pun berucap tanpa minat. Dia tidak memberi izin kepada sang paman untuk mencegahnya melangkah. Pahit. Larissa merasa pahit. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN