"Tidak." Ron mempertegas ucapannya, "Aku tidak mencintai Alora."
Larissa Andromeda siap meledak. Ada banyak bom waktu di rongga perutnya, bahkan jutaan petasan sedang porak-poranda dalam jantungnya. Sesuatu yang berlebihan itu menghancurkan pertahanan Larissa dalam sekali berkata. Wajahnya merona tanpa diminta. Larissa ingin menjerit, seseorang bantu dia untuk mengamankan pita suaranya.
"K ... ka ... kalau begitu, apa Paman sedang jatuh cinta?" Kegugupan yang hakiki membuat Larissa tak sadar bahwa satu tangannya meremas b****g bayi.
"Iya."
Fix. Larissa siap ditembak. Dia bersedia untuk menerima peluru love shot dari pamannya. Berharap Dewa Cupid segera melepaskan panahnya kepada mereka.
"Larissa."
"Iya, Paman?" Semakin cepat frekuensi alat pemompa darahnya bekerja, maka semakin cepat pula Larissa merona.
Jam dinding teruslah berputar sebelum Larissa meminta untuk berhenti. Dia benar-benar menantikan momen ini, saat Dewi Fortuna dan Dewa Cupid bekerja sama untuk menebar bibit bahagia dalam diri Larissa.
Bukan sekadar satu atau dua tahun, penantian Larissa cukup bersejarah dan tiada habisnya.
"Kenapa kamu berpikir aku mencintai Alora?"
Larissa mengerjap, dia menunduk. "Itu ... Paman selalu membawa-bawa nama Alora, kebetulan atau bukan, dia perempuan satu-satunya yang aku tahu paling dekat dengan Paman. Jadi, aku--" Larissa terkesiap, ucapannya tak rampung. Telunjuk Ron menyentuh dan mengangkat dagunya hingga pandangan mereka saling singgung.
"Kami hanya teman," deklarasi Ron yang Larissa tentang.
"Tapi kalian juga mantan!"
Ron mengangguk, dia menarik kembali jarinya dan duduk bersandar di sofa.
Karena sejauh ini Ron malah kembali diam, akhirnya Larissa putuskan untuk mempertanyakan banyak hal soal Alora yang kemarin-kemarin itu keluar - masuk dari kamar pamannya.
"Setelah berpisah, apa Paman masih semesra itu dengannya?"
Ron menoleh dengan satu alis terangkat.
Larissa semakin menggebu. "Boleh aku tahu gaya berpacaran seperti apa kalian dulu? Lalu ... apa satu sama lain masih melakukan gaya seperti itu?"
"Maksudmu?" Sungguh mati Ron tak paham dengan Larissa. Tapi gadis itu masih saja melontarkan kalimat yang berpotensi membuat Ron mikir seratus kali.
"Paman dan Alora, apa kalian sejenis friend with benefit dalam artian menyimpang setelah putus? A ... atau sejenis hubungan tanpa status? Teman tapi mesra?"
Alhasil Ron mendengkus. Dia duduk tegak kembali dengan posisi menghadap Larissa, satu kakinya bersila di atas sofa sementara kaki satunya lagi menyentuh lantai.
"Apa Paman terlihat seperti itu?"
"Hm," jawab Larissa sambil mengangguk sekali dan mata memicing.
Wajah datar Ron merajai. "Terkesan seperti itu juga?"
"Tentu," kata Larissa, tegas.
Wah ... Ron mendesah dalam hati dengan mata memandangi Larissa. Seburuk itukah imejnya di mata Larissa? Apa karena usianya yang terlalu matang sehingga terkesan sejenis hidung belang, mata keranjang, dan haus goyangan perempuan?
"Paman, kamu belum menjawab pertanyaanku!" tuntut Larissa menagih jawaban. Ron mengembuskan napas pelan, lalu dia tersenyum. Secara otomatis Larissa sesak napas. Senyumnya orang tampan memang menyesatkan oksigen.
Demi mikroba yang ada di pintu Neraka, Larissa berani jamin kalau tadi adalah senyum termanis sepanjang dia mendapatkan senyuman dari berbagai jenis pria.
"Kami sudah dewasa saat itu, tentu gaya pacaran kami pun sesuai usia."
Musnah seketika. Kebahagiaan Larissa runtuh hanya dengan satu kata 'dewasa', yang artinya ... berciuman, berpelukan, lebih dari gandengan tangan, lebih dari haha-hihi di ranjang. Otak Larissa penuh dengan adegan 21 plus sesuai dengan usia pamannya saat menjalin kasih dengan Alora yang juga sama-sama dewasa.
Apalagi dibuktikan dengan sosok Alora yang saat itu leluasa keluar - masuk kamar sang paman, memakai kemeja Paman Ron dengan percaya diri. Larissa sakit hati hanya dengan membayangkannya saja. Rontok sudah rambutnya, rontok sudah air matanya.
"Kenapa menangis?"
Larissa terkesiap lagi, cepat-cepat dia memalingkan wajahnya. Sampai Ron dibuat bingung sendiri. Terlebih saat dia mengulurkan tangan hendak menyentuh Larissa, gadis kecilnya itu malah bangkit dan bersemangat untuk pergi dengan dua kata, "Paman jahat!"
Entah keberapa kali, Ron merasa sedang dimusuhi oleh istri. Oh, damn! Sepertinya dia harus cepat-cepat menemukan orang tua Larissa.
***
"Pertemuan keluarga?"
Adalah Larissa Andromeda yang sedang berbincang di telepon dengan temannya, Rion.
"Hm, bantu aku. Kamu ada waktu, kan?"
Pasalnya tepat ketika Larissa sampai di kamar dia mendapati ponselnya berdering. Setelah merebahkan Baby Ar di kasur, Larissa sibuk dengan ponselnya dan Orion.
"Kapan? Apa harus aku?"
"Malam ini, please. Hanya kamu kenalanku sebagai seseorang yang senggang di malam minggu."
"Kamu meledekku, huh?!"
Dari seberang sana Rion terkekeh. Makin geram saja Larissa mendengarnya. Nasib jomblo apa selalu begini? Ah, tapi kan status jomblowatinya Larissa itu pilihan, sebab dia mau official hanya dengan Paman Ron seorang. Yang lain lewat!
"Lebih tepatnya aku sedang merayumu, Larissa. Ayolah, temani aku datang ke acara keluarga. Aku tahu kamu bukan seseorang yang tega membiarkan kenalannya semakin dicap gay oleh mereka."
"Aku bahkan tidak peduli," cibir Larissa.
"Anggap saja sebagai hiburanmu untuk Paman tercintamu itu, kamu bisa menjadikan ini sebagai penyelidikan 'apakah dia cemburu atau tidak', right?"
Tak ada jawaban, Larissa diam mempertimbangkan di detik Rion lanjutkan, "So, bagaimana menurutmu?"
Orion Debora memang pekerja keras, Larissa percaya dari tiap usaha Rion yang membujuknya selalu berhasil.
"Baiklah." Larissa mendengkus. "Kirimkan alamat rumahmu atau tempat yang harus aku datangi nanti," imbuhnya.
"Lelaki sejati tidak membiarkan seorang gadis datang menghampiri, Larissa. Aku yang akan menjemputmu."
"Dan setelahnya terjadi baku hantam dengan Pamanku." Rion tertawa lagi. Larissa berdecak, melanjutkan, "Itu pun kalau Paman mengaku cemburu."
"Nah, sih, tahu."
Sudahlah, Larissa mematikan sambungan teleponnya. Dia tidak membiarkan Orion menambah bahan obrolan, Larissa sedang sensitif.
Pertama, punggungnya diusap oleh sang paman. Kedua, diajak terbang dengan jawaban 'tidak mencintai Alora'. Ketiga, ada harapan mungkin dia yang membuat pamannya jatuh hati. Tapi terakhir, sampai terkelupas daki-daki di tubuhnya, pamannya menyapu bersih harapan Larissa.
"Archer, setidak mungkin itukah aku untuk Paman?" Larissa mengeluh pada bayi.
***
Meskipun mengambil cuti, tapi Ron tetap bergelut dengan teori reproduksi. Kadang juga dia membuat jurnal, atau membaca buku-buku favoritnya di kamar.
Ron membiarkan Larissa membias diri pada sisi kekanak-kanakannya. Lagi pula di mata Ron, tingkah Larissa memang terlalu sulit dicerna oleh otak jeniusnya. Kemarahan Larissa bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah Ron temui titik salahnya, jadi ... kali ini biarkan saja. Toh, nanti juga normal kembali.
Tapi yang jadi masalah, sekarang itu ada bayi. Otak Ron tumpah hingga memikirkan tentang pribadi seorang lelaki yang memiliki baby. Tanpa sadar Ron menjamah laptopnya, dan bukannya mengunggah jurnal, dia malah mencari-cari soal: Bagaimana menjadi ayah yang baik?
Meskipun dia adalah dokter spesialis kandungan dan dinas di rumah sakit ibu dan anak, tapi kan pendidikan seorang ayah tidak diajarkan di tempat kerjanya. Yeah, setidaknya Ron butuh pemahaman teori sebelum nanti gladi resik pada sosok Baby Ar.
Bicara-bicara ... sadar akan apa yang dia cari, Ron berdeham.
Dokter tiga puluh lima tahun itu lemah dalam praktik: setelah, sebelum, atau sedang reproduksi. Yang Ron tahu hanya sebatas teori dan praktik membantu melahirkan, operasi, prediksi, dan sesuatu yang bukan terjun langsung ini - itu dengan bayi.
Dia mengacak rambutnya gemas dan berdesah berat, Ron pun melepas kacamata bacanya. Mengambil ponsel dan lalu menghubungi seseorang.
"Rigel--"
"Panggil aku kakak ipar!"
Ron berdecak. "Bisa kita bertemu?"
"Apakah matahari sedang datang bulan?"
"Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu--"
"Aku baru tahu kalau matahari sedang hamil."
Itu yang Ron malas dari Rigel. Diajak bicara serius malah tembusnya melantur.
"Baiklah, kita bicara lain kali--"
"Hei, Dude! Santailah sedikit."
Ron tak selera untuk berbelit. Mengobrol dengan Rigel bisa-bisa membuat perutnya melilit.
"Ajakanmu untuk bertemu ... apa kamu sudah bersedia menikah bulan ini?"
Langsung Ron matikan panggilannya. Dia mendengkus kesal, Rigel bukan orang yang tepat untuk diajak konsultasi dari segi apa pun. Ron juga baru ingat, Rigel kan belum punya anak. Tapi satu-satunya lelaki yang dekat dengan dia hanya si kakak ipar itu saja.
Sial. Ron harus mencari teman.
***
Tak terasa waktu cepat berlalu, siang sudah bergulir menjadi sore, kini tinggal menunggu senja saja untuk detik-detik permintaan Orion.
Well, Larissa sepanjang hari diam di kamar. Dia hanya keluar kalau lapar, mengambil camilam di kulkas dan membuat s**u bayi, lalu masuk lagi ke kamar tanpa menimbulkan suara yang membuatnya harus bertemu sang paman. Larissa sedang menghindar. Ron sendiri tidak keluar dari kamarnya kecuali untuk hal penting bahkan sepulang dari rumah sakit.
Namun, sekeras apa pun usaha Larissa dalam menjauhi Ron, ujung-ujungnya dia sendiri yang justru menghampiri keberadaan pamannya.
"Paman." Vokalnya dari luar kamar Ron sambil mengetuk pintu. "Boleh aku masuk?"
Bahkan Larissa sendiri yang menjebloskan dirinya ke dalam kandang singa.
"Masuklah." Datar seperti biasa.
Degup jantung Larissa mulai memainkan iramanya. Telapak tangan mendadak dingin karena gugup, tapi wajahnya menghangat karena malu. Harusnya dia tenggelam dalam kesendirian tanpa pamannya. Kan, Larissa sedang marah. Tapi ...
"Baby Ar harus mandi," ucap Larissa pertama kali saat bersitatap dengan sang paman. "Sudah sore, aku belum bisa memandikannya."
... bayi mereka perlu diurus.
Perempuan macam apa Larissa itu! Dewi batinnya menghardik sendiri. Larissa meringis sebab ketidakmampuannya. Harusnya dia lebih pandai dari Ron dalam merawat bayi.
Ron mengangguk, lalu bangkit dari dudukkannya sejak tadi. Dia mendekati Larissa yang berdiri bagai patung selamat datang di celah pintu.
"Kita bisa mandi bersama."
"Huh?" Larissa semakin merona. Apakah itu sejenis undangan?
Ron pun berlalu lebih dulu tanpa menghadiahi kata untuk ke-ambigu-an dalam diri Larissa. Membiarkan gadis itu melanglangbuana sendiri.
Sementara maksud Ron ada dalam konteks memandikan bayi, tapi otak Larissa menjurus ke kemesuman yang hakiki.
Salah siapa?
Hingga suara ketukan pintu menusuk gelembung c***l milik Larissa. Dia sadar sepenuhnya, cepat-cepat Larissa beranjak dari kamar pamannya untuk membukakan pintu utama.
"Bibi Enjum!" seru Larissa antara senang dan tak rela hari berduanya dengan sang paman cukup sampai di sana.
Penjaga rumah itu tertawa disambut riang oleh Larissa.
"Habis dari mana? Kenapa perginya tidak bilang-bilang? Paman dan aku mempertanyakan keberadaanmu, Bi."
Sambil berbincang mereka memasuki rumah.
"Maaf, Nona Muda ... saya dapat perintah dari Tuan Besar sampai tidak sempat mengabari atau sekadar menulis note sebelum pergi."
Dimaafkan. Larissa mengangguk sambil tersenyum. Sudah bukan sekali - dua kali dia mendengar sebutan 'Nona Muda, Tuan Besar, atau Tuan Muda' dari bibir Bibi Enjum, tetapi anehnya Larissa belum juga terbiasa dengan itu.
"Bagaimana kabar ayahnya Paman, Bi?"
"Seperti yang kita lihat di TV, calon orang kaya nomor wahid di negara kita baik-baik saja."
Ya, menurut informasi, ayah dari pamannya itu adalah tokoh penting yang digembor-gembor sedang ada di masa kejayaan: mendapatkan puja-puji sebagai orang paling sugih di negaranya. Larissa pernah bertemu lebih dari sekali dengannya, tapi sampai saat ini masih saja segan.
"Oh, iya ... di mana Pamanmu, La--astaga." Sebab saat itu, pertanyaan Bibi Enjum yang belum rampung terjawab lebih dulu dengan keluarnya sosok Ron dari kamar Larissa, dan yang membuat kalimatnya terputus adalah sosok bayi dalam gendongan Ron. "Apa hanya dalam hitungan hari lelaki dewasa ditinggalkan bersama wanita, lusanya langsung menghasilkan bayi?"
Ron yang sadar lebih dulu daripada Larissa menjawab ketercengangannya Bibi Enjum. Katanya, "Ini anak kami, Archer namanya."
Maka hal pertama yang Larissa pikirkan adalah pembatalan janji kepada Orion Debora. Hei! Dia merasa diakui istri oleh pamannya sendiri, betapa senangnya hati Larissa saat ini.
Namun, belum juga Larissa meluncur menuju kamar untuk mengambil ponsel dan menghubungi Rion, pintu utama itu terketuk lagi. Sedangkan Bibi Enjum masih tercengang di tempatnya.
Tanpa kata Larissa berbalik, dia kembali membukakan pintunya.
Keberadaan Ron dan Bibi Enjum dapat dilihat dan melihat ke tempat di mana tamu menunjukkan eksistensinya.
"Larissa, kita harus bergegas. Ternyata jamnya dimajukan, keluargaku ingin cepat-cepat melihatmu--" Orion Debora lupa di mana dia berada, ucapannya menggantung ketika dia melihat pasangan mata menyingsing tajam padanya.
Karena buru-buru dan begitu membutuhkan Larissa, Rion tak ingat kalau-kalau dia sedang bertamu di kandang singa--dari tatapan lelaki yang seakan menjadikannya mangsa--Rion yakin, pria yang menggendong bayi itu adalah tokoh utama yang sering Larissa ceritakan padanya.
Ingin sekali Rion tanyakan: Are you human?
***