Kegelisahan William

1042 Kata
Tidak seperti hari hari biasanya, William terlihat sangat tak tenang. Sejak dua hari ini dia merasa ada yang sesuatu di dalam dirinya yang mendesak ingin segera bertemu Cassandra. Sayangnya, dia tidak menemukan jejak perempuan itu. Di klub, hotel, bahkan di rumah kontrakannya, tak ada sedikit pun petunjuk yang bisa orang orang William dapatkan. "Kemana perginya perempuan itu. Sial!" umpatnya kesal. Sebelah tangannya bahkan memukul meja kerja yang sedang bertumpuk banyak berkas di atasnya. "Ada apa, Tuan muda?" Joe yang sedang sibuk dengan MacBook dan laporan bulanannya, di buat terkejut sampai langsung berdiri mendekati William. "Cari keberadaan Cassandra sekarang juga. Sampai ketemu! Aku sudah menghubunginya berapa kali, tapi sepertinya dia sudah mengganti nomor ponselnya." Entah kenapa, William sangat kesal begitu mengetahui sejak kemarin nomor ponsel Cassandra tak bisa di hubungi. Sepertinya, Cassandra benar benar serius dengan secarik kertas yang di tinggalkannya. Meski pun cepat atau lambat dia akan bertemu Cassandra, tetap saja dia terlalu menggebu untuk segera mengetahui keberadaan perempuan yang telah mencuri seperempat bagian dari pikirannya. "Baik, Tuan muda." Joe tidak akan pernah menolak perintah dari Tuan mudanya. "Maaf, Tuan muda. Nona Willona tadi menghubungi saya, anda di minta untuk menemui Tuan besar di rumah sakit. Ada sesuatu yang harus di bicarakan Tuan besar pada anda dan saudara kembar anda." "Kapan?" Masih menatap kedua tangannya yang saling bertautan. "Siang ini, Tuan muda." "Apa ada jadwalku siang ini?" "Untuk hari ini kosong, Tuan muda." "Ok. Sepuluh menit lagi kita ke rumah sakit," titahnya, lalu menyandarkan tubuh di kepala kursi putar kebesarannya. "Baik, Tuan muda." William memejamkan sejenak matanya. Ada perasaan menyesal dengan keputusannya yang hanya menyewa Cassandra selama satu minggu saja. 'Gila, benar benar gila! Jangan bilang aki jatuh cinta dengannya. Oh, Shiit!' umpat William dalam hati. Sebisa mungkin dia mencoba untuk menjauhkan Cassandra dari otaknya, tapi selalu gagal. Bayang bayang perempuan itu selalu muncul, dan akan semakin terasa saat malam tiba, saat dirinya akan tertidur. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki Cassandra selalu hadir dalam ingatannya, tak satu pun yang tertinggal. Dan itu membuat William nyaris gila. "Argh... Apa apaan ini! Kenapa muncul terus di otakku!" teriaknya sambil menarik kasar rambutnya sendiri. Untuk kedua kalinya, Joe tersentak kaget. Dia hampir menjatuhkan MacBook dari atas meja tempatnya bekerja. "Tuan muda, ada apa dengan anda?" "Entahlah. Aku rasa aku harus menemui dokter jiwa," sahut William membuat dahi Joe berkerut. "Sepertinya kejiwaanku mulai terganggu karena perempuan sialan itu," sambungnya. Sebagai laki laki dewasa, William tak memungkiri kecantikan wajah Cassandra yang menyimpan berjuta pesona di dalamnya. Terutama tubuh indahnya bak gitar spanyol, sungguh membangkitkan keperkasaannya. Tapi, bukan itu hal penting yang menjadi daya tarik Casandra. Bagi William, sikap dingin yang tak tersentuh Cassandra yang menjadi poin utamanya. Penolakan yang dilakukan Cassandra berhasil menyulut rasa penasaran yang sangat besar di diri William. "Apa sudah ada kabar keberadaannya?" tanya William. Dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Baru lima menit yang lalu aku menyuruh mereka untuk menyebar mencari keberadaan Nona Cassandra, Tuan muda. Aku rasa, belum ketemu." William menghela napas kasar. Rasanya begitu sesak dadanya sebelum mengetahui pasti keberadaan Cassandra. Tangan William bergerak mengambil jas yang melingkar di kepala kursi, lalu memasangnya dengan rapi pada tubuh atletisnya. "Kita ke rumah sakit sekarang," titahnya sambil melangkah keluar ruang kerja pribadinya. *** Menggunakan jas putih kebesarannya, Willona keluar dari dalam ruang praktek dokter spesialis anak yang menjadi pekerjaan sehari harinya. Memiliki tinggi semampai dan bentuk tubuh ideal, wajah tirus, mata yang tak terlalu besar, hidung mancung tak berlebihan, dan tentu saja kulit seputih susuu, membuat banyak perempuan di kalangan perawat mau pun dokter merasa iri, serta tak jarang pula banyak perempuan di sana yang menjadikannya sebagai perempuan tercantik dan menawan pertama di sana. Pun dengan para lelaki yang mengincarnya untuk di jadikan kekasih dan calon istri idaman. Tapi, sikap dingin Willona membuat mereka harus menelan pahit kenyataan yang pada akhirnya menyadarkan mereka untuk berhenti berharap. Langkah kaki Willona tiba tiba terhenti saat dirinya nyaris menabrak seseorang yang baru saja keluar dari dalam sebuah ruangan tanpa melihat ke depan. "Oh, maafkan aku," kata laki laki yang sama sama menggunakan jas putih kebesarannya. Willona tidak menyahut, dia hanya mengangguk pelan. Sudah biasa hal seperti itu terjadi, baik di lakukan secara sengaja atau pun murni karena kecelakaan. "Mau makan siang denganku, Dokter Willona? Hitung hitung, sebagai permintaan maafku karena hampir menabrakmu." Geraldy melancarkan aksinya. Laki laki yang berprofesi sebagai dokter spesialis bedah syaraf itu selalu mencari cara untuk bisa meluluhkan hati seorang Willona. Satu satunya perempuan yang sangat sulit untuk dia ajak berbicara di rumah sakit tempatnya bekerja. "Menjauhlah sebelum aku berkata kasar." Willona akhirnya buka suara, dia sudah tidak tahan mendengar ajakan Geraldy yang terlontar setiap kali bertemu dengannya. "Wooah..." Geraldy memasang ekspresi wajah terkejutnya. "Jangan galak galak, nanti aku bedah hatimu baru tahu rasa." Sambil bergerak ke samping untuk memberi ruang pada Willona. Lalu tersenyum begitu manis, menampilkan lesung pipi yang menjadi daya tarik dirinya. Mata Willona menatap Geraldy dengan tajam. "Sekali lagi menggangguku, ka-" "Kenapa? Ingin mengancamku, Dokter Willona?" Geraldy menyela langsung. "Selama statusmu belum berubah menjadi, Nyonya, aku enggak akan pernah berhenti untuk muncul di hadapanmu." Memiringkan sedikit wajahnya, lalu melambaikan sebelah tangan sebelum pergi dari hadapan Willona. Willona membulatkan matanya, tak percaya jika Geraldy lah yang justru terkesan mengancamnya. "Nyebelin banget sih jadi laki laki," guman Willona kesal. Mata Willona tak terlepas sedikit pun dari punggung Geraldy yang semakin menjauh. 'Awas kamu, Geraldy. Aku bakalan buat kamu enggak akan pernah lagi untuk berharap bisa mendekatiku,' batinnya kesal setengah mati. Sebuah tangan tiba tiba melingkar di pundak Willona. Mengejutkan perempuan itu dan tangannya nyaris menghantam wajah pria yang kini telah berdiri di sampingnya. "Ehem..." William berdehem sambil tersenyum. "Sepertinya, kakakku sebentar lagi akan melepaskan masa lajangnya," goda William sambil menatap punggung Geraldy yang baru saja menghilang di balik sebuah pintu. "Ngagetin aja." Menoyor pelan kepala William. "Jadi, dia sudah berhasil melelehkan es batu di hatimu, heum?" Menaik turunkan kedua alisnya sambil tersenyum pada Willona. "Banyak omong. Ayo, Daddy sudah nungguin kita." Kembali melangkahkan kakinya. Di saat bersamaan, mata William tak sengaja menoleh ke arah samping, yang merupakan jalan untuk menghubungkan ke arah IGD. Matanya menangkap satu sosok yang selama dua hari ini dia cari keberadaannya. "Itu dia," gumannya sambil melepaskan tangan dari pundak Willona. Lalu bergegas ke arah yang menjadi fokus utamanya. "Hei... Mau kemana?" teriak Willona kebingungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN