Usaha William

1547 Kata
Rencana Cassandra untuk mencari apartemen untuk di jadikan tempat tinggal baru harus gagal setelah kepanikan yang terjadi saat Yosa tiba tiba jatuh pingsan saat akan keluar dari dalam mobil. Cassandra yang panik langsung kembali mengemudikan mobilnya ke arah rumah sakit terdekat. Langkah Cassandra tak beraturan untuk mencapai ruang IGD, tempat di mana Yosa mendapatkan pertolongan pertamanya. "Gimana keadaan sahabat saya, Sus?" tanyanya langsung menerobos masuk. "Sebentar ya mbak, Dokter sedang memeriksa. Mbak boleh tunggu di luar dulu ya." Seorang perawat perempuan dengan ramahnya memberi tahu situasi yang sedang terjadi di sana. "Namanya Yosa, Sus. Saya temannya. Kalau ada apa apa beri tahu saya," pinta Cassandra dengan wajah yang begitu panik. "Iya, mbak." Lalu kembali menutup tirai yang menjadi pembatas ranjang pasien di sana. Cassandra akhirnya keluar. Dia tidak bisa menahan kecemasannya dan takut terjadi sesuatu yang serius pada sahabat baiknya itu. Cassandra memilih untuk pergi ke toilet sebentar, karena rasa sesak yang sudah tidak bisa di tahan lagi. Mungkin, efek berlari yang dia lakukan sebelumnya. Baru saja Cassandra keluar dari pintu toilet, dia mendengar seseorang yang menyebutkan namanya. Dia mengira mungkin suster sedang mencarinya untuk memberi kabar soal kondisi Yosa. Tapi, saat Cassandra menoleh ke arah pintu IGD, ternyata seseorang yang menyebutkan namanya itu adalah laki laki yang sangat dia hindari saat ini. Siapa lagi kalau bukan William. Mantan pelanggaannya yang selalu penasaran dengan kehidupan Cassandra. "Astaga astaga..." gumannya sambil berlari masuk kembali ke dalam toilet. Menutup pintu rapat rapat dan menyandar di belakangnya. 'Kenapa dia bisa ada di sini? Manggil manggil nama aku lagi. Ais... Sial,' batin Cassandra. Hampir sekitar tiga menit Cassandra menunggu di dalam toilet. Merasa sudah tak terdengar suara lagi, dia pun segera keluar dari sana. Beruntung, William memang sudah tak terlihat di sana. Dan Cassandra bisa bernapas dengan lega. Bersamaan dengan langkah kakinya yang terhenti, seorang dokter perempuan muncul dari balik pintu IGD. Cassandra langsung saja bertanya dengan Dokter berambut pendek itu. "Dok, gimana keadaan Yosa?" "Selain kamu, apa ada keluarga pasien di sini?" Dokter tersebut menjawab dengan mengajukan pertanyaan. Kepala Cassandra menggeleng cepat. "Keluarganya berada di luar kota, saya sahabatnya, dok." "Baiklah." Menganggukkan kepalanya mengerti. "Sebenarnya, tidak ada yang terlalu serius dengan kondisi pasien. Sahabat anda terserang Hipotensi." Dokter tersebut menjelaskan. "Hipotensi?" Cassandra mengerutkan dahinya. Dia tidak paham dengan istilah medis yang baru saja dokter itu sebutkan. "Tekanan darah rendah," kata dokter itu kembali. Cassandra baru mengerti. Wajar saja jika tiba tiba Yosa mengalami penyakit tersebut, pasalnya akhir akhir ini Yosa sering tidur terlambat, makan dan minum tak teratur karena mengerjakan skripsinya. "Apa harus di operasi, Dok?" Pertanyaan polos Cassandra membuat dokter itu menggeleng pelan sambil tersenyum. "Tidak perlu. Dalam kasus ini, tidak terlalu serius dan hanya memerlukan perawatan seperti umumnya. Untuk beberapa hari ini, pasien akan di rawat di sini." Terdengar helaan napas lega dari mulut Cassandra. Dia bersyukur sahabatnya tidak mengalami hal yang terlalu buruk dengan kesehatannya. "Baik, Dok. Nanti saya akan mengurus semua administrasinya. Apa sekarang saya boleh menemani sahabat saya di dalam, Dok?" "Tentu saja." Menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu, saya permisi." "Terima kasih, Dok." Cassandra tersenyum lega sambil menundukkan sedikit kepalanya. *** Pintu ruangan khusus yang bertuliskan Direktur Utama di atasnya terbuka dari luar. Pelakunya siapa lagi kalau bukan William, anak kandung dari Dokter ahli bedah saraf ternama sekaligus Direktur utama rumah sakit tersebut. Wajahnya yang kusut menimbulkan pertanyaan besar dari ayah dan kakak kandungnya yang sedang duduk di sofa tamu. "Dari mana kamu?" Willona mendahului sang ayah yang juga ingin melemparkan pertanyaan pada William. William tidak langsung menyahut, dia merebahkan diri di atas sofa berwarna coklat dengan kedua tangan yang meraup kasar wajahnya. "Aku kehilangan jejak," ucapnya jujur. Meski pun tak akan menyebutkan identitas perempuan yang sedang dia cari, William nyatanya memang tidak akan pernah bisa berbohong di hadapan saudara kembar dan kedua orang tuanya. "Siapa? Perempuan bayaran kamu?" tebak Willona sekenanya. Entah lah, melihat wajah William yang begitu kusut, membuat Willona juga menjadi tidak tenang. Mata William mengarah pada Willona setajam ujung pisau. Tiba tiba dia tidak suka mendengar ada nada umpatan atau makian yang di tujukan untuk Cassandra. "Mulutmu, Lona! Tolong ubah kebiasan kamu bicara yang seolah merendahkan orang lain." Murkanya pada Willona. "Loh, ngapain kamu marah sama aku? Itu kenyataannya kan?" "Enggak semua perempuan malam itu seperti yang kamu pikirkan, Lona. Jangan hanya memandang seseorang dari pekerjaannya saja. Karena, banyak faktor yang memaksa mereka harus memilih jalan pintas." William memang belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi pada Cassandra, tapi dia sangat yakin kalau sebenarnya ada seseorang yang berperan penting di balik terjunnya Cassandra di dunia malam yang mengerikan seperti ini. "Apa pun itu alasannya, tetap aja mereka itu murahan. Karena dengan mudahnya berganti ganti pasangan setiap malamnya. Enggak bisa menghargai diri sendiri dan menjaga diri. Cih... Menjijikkan," cibir Willona dengan gaya santainya. Melihat perdebatan yang belum menemui titik terangnya. Adrian selaku orang tua langsung menghentikan seketika mulut kedua saudara kembar yang selalu saja berbeda pendapat itu. "Hei... Ada Daddy di sini. Kalau mau ribut, pulang saja sana." Mulut William dan Willona membungkam sempurna. Tak ada lagi yang berani membuka suara untuk melanjutkan kegiatan mereka sebelumnya. "Daddy meminta kalian berdua kemari, bukan untuk mendengar danelihat pertengkaran kalian. Kalian lagi, ribut lagi, baikan lagi. Ingat, kalian itu sudah dewasa, bukan anak kecil yang selalu Daddy bujuk saat merajuk. "Maaf, Daddy. Keceplosan." Tak berniat ingin melawan atau pun keberatan dengan ucapan Adrian, tetap saja William akan membela Cassandra, perempuan yang telah memberikan warna berbeda dalam dirinya. "Lona mulutnnya kayak cabe rawit." Mendapat cibiran dari adik kembarnya, Willona tidak akan menanggapinya. Sudah tahu betul bagaimana William yang selalu membela perempuan perempuan yang tidak jelas menurutnya. "Daddy, jadi ada apa Daddy minta aku dan William nemuin Daddy di sini?" Laki laki berusia lebih dari lima puluh tahun itu mulai membenarkan posisi duduknya. Wajahnya terlihat begitu antusias. Garis ketampanan di wajahnya pun tak pernah luntur termakan usia. "Kalian ingat tiga hari lagi itu hari apa?" tanya Adrian memulai pembicaraan. "Hari sabtu kan?" seloroh William. "Memangnya ada apa dengan hari sabtu, Dad?" Buuuukk... Sebuah bantal sofa mendarat sempurna di kepala William. "Semua orang juga tahu hari sabtu. Suka enggak mikir deh kalau ngomong," kata Willona kesal. Tolong, jangan pertemukan kedua saudara kembar ini, mereka akan selalu bertengkar dan tak pernah akur saat bersama. Tapi, akan merasa kesepian dan kehilangan separuh jiwanya saat tak bertemu satu sama lain. Ikatan batin yang terjadi antara keduanya juga sangat kuat. Tak heran, jika terjadi sesuatu di antara mereka, salah satunya juga akan merasakan hal yang serupa. "Ya terus hari ap-" Ekspresi di wajah William tiba tiba saja berubah saat menyadari hari yang di maksud oleh Adrian. "Oh god... Anniversary Daddy dan Mommy yang ke dua puluh tujuh tahun kan?" Matanya membulat sempurna. Sementara Willona yang telah mengetahui sejak awal, hanya bisa mencebikkan bibirnya dan kedua bola mata yang memutar malas. "Seperti biasa, Daddy akan merayakannya. Tapi, untuk kali ini, Daddy ingin mengundang beberapa teman bisnis Daddy dan Mommy, kalian juga boleh mengundang sahabat dan rekan kalian." "Jadi, Daddy mau merayakannya di gedung?" Tanya Willona sambil tersenyum menggoda sang ayah. "Falling in love banget nih kayaknya Daddy." Adrian terkekeh pelan, sambil mengusap kepala Willona. "Daddy setiap hari falling in love sama Mommy kalian." William bersiul, ikut menggoda Adrian. Bukan hal baru lagi, yang seperti ini sudah sangat sering terjadi. Cinta yang dimiliki kedua orang tuanya memang teramat besar dan enggak akan tersentuh oleh badai sekali pun. Apa lagi, setiap tahunnya Adrian dan Sherin tidak pernah absen untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka. "Daddy tenang... Masalah ini, biar aku yang minta orang orangku untuk menyiapkan semuanya. Mommy sudah tahu?" tanya William. "Pasti belum kan? Dan Daddy ingin memberikan surprise buat Mommy?" Adrian menggelengkan kepalanya, tebakan William tepat sasaran, dia memang sengaja ingin memberi surprise pada sang istri tercintanya. "Ok, kalau gitu kami akan bungkam." Melakukan gerakan mengunci mulut. "Daddy serahkan semuanya sama aku dan William. Ok?" Mengacungkan jempolnya. Adrian memeluk Willona sebagai ungkapan bahagia dan rasa terima kasihnya. "Setelah ini, Daddy ingin melihat kalian berdua segera menikah dan memberikan cucu yang cantik cantik dan tampan." Willona dan William kompak berdiri, untuk menghindari pembicaraan yang mulai akan menyulitkan mereka untuk menjawab dan menolak. "Aaa... Daddy, aku akan pergi dulu untuk mempersiapkan acaranya. Bye Daddy..." William melambaikan tangannya sambil terburu buru untuk keluar dari dalam. Di susul dengan Willona yang juga tak ingin membahas mengenai sesuatu yang belum pasti itu. "Lona juga masih harus memeriksa beberapa pasien rawat inap. Bye Daddy, i love you..." Mengulum senyum di bibirnya. "Dasar kalian ya... Ada saja alasan untuk menghindar." Suara Adrian terdengar sedikit meninggi. Kelakuan kedua anak kembarnya itu terkadang membuat kepalanya pusing. Terlebih, saat keduanya menolak untuk di suruh menikah dalam waktu dekat. Begitu tiba di luar ruangan, Willona menyamakan langkahnya dengan William. "Sudah punya ide mau kasih kado apa untuk anniversary Mommy Daddy kali ini?" Kedua bahu William terangkat bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng. "Belum sih. Kamu?" "Sudah. Tinggal di beli saja nanti." "Beli sekarang?" Ajak William. Willona menoleh pada arloji yang melingkar di pergelangsn tangannya. Memastikan apakah saat ini memiliki waktu untuk pergi. Belum sempat Willona menjawab, melintas di hadapannya beberapa perawat yang sedang mendorong brankar rumah sakit yang di tiduri seorang pasien. Di belakangnya, menyusul seorang perempuan cantik yang terlihat sedang berbicara dengan ponsel yang menempel di telinganya. Dalam satu kali pergerakan, tangan William berhasil menarik lengan perempuan itu. "Akhirnya," katanya dengan senyum smirk di wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN