Laki laki yang menggunakan setelan formal tiga potong itu terlihat begitu menggeram setelah berhasil menghantam seseorang yang baru saja akan melakukan pelecehan terhadap Cassandra.
"Sampai berani kamu menyentuhnya satu kali saja, ku pastikan sepanjang hidupmu akan membusuk di penjara!" Bersiap untuk menginjak perut tersangka utamanya, tapi terhenti begitu mendengar suara dari belakang.
"Jangan. Ja-jangan, Tuan muda." Suara gemetar Cassandra membuat William mengurungkan niatnya.
William sebenarnya marah besar pada Cassandra, tujuannya untuk mengintai Cassandra berujung seperti ini. Nuraninya sebagai manusia terketuk, menjauhkan semua amarahnya beberapa saat demi untuk menyelamatkan perempuan bayarannya.
Tanpa banyak bicara, William segera mengangkat tubuh Cassandra yang sedang berjongkok takut dalam keadaan bergetar dan mata yang berkaca kaca.
Walau bagaimana pun, Cassandra tetaplah seorang perempuan yang hatinya hanya setipis kapas.
"Jangan khawatir, kamu akan aman," kata William sambil berjalan membawa Cassandra masuk ke dalam mobil di susul dengan Joe yang membawa koper dan tas milik Cassandra.
Dua orang kepercayaan William yang lainnya sibuk membereskan laki laki yang sudah babak belur oleh William sebelumnya.
Di dalam mobil, William dan Cassandra tak banyak terlibat percakapan. Hanya terlihat gerakan tangan Cassandra yang saling meremat satu sama lain, menandakan jika dirinya masih trauma pada kejadiaan beberapa menit silam.
"Kita ke hotel sekarang, Joe. Tunda pertemuan itu sampai dua jam," titah Willian.
"Baik, Tuan muda." Menganggukkan kepalanya patuh.
Tangan William meraih botol air mineral yang selalu tersedia di dalam mobil. Setelah membuka tutup botolnya, dia mengarahkannya pada Cassandra. "Minumlah," katanya singkat.
"Terima kasih," sahutnya pelan.
Diam diam William mengamati Cassandra yang tak banyak menunjukkan ekspresi itu. Dia bahkan sampai bingung sendiri, tidak ada air mata yang mengalir di wajahnya, tidak pula ada isak tangis dan drama seperti perempuan pada umumnya.
Berbeda sekali dengan pertemuan pertamanya enam bulan yang lalu. Cassandra menangis dan memohon untuk tidak di sakiti. William semakin tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang kehidupan dan kepribadian Cassandra yang sebenarnya.
Mobil yang di kendarai Joe sudah tiba di pelataran hotel yang menjadi tempat bermalam William dan Cassandra.
"Mau ku gendong lagi?" William menawarkan diri sebelum turun dari dalam mobil. Di susul dengan kekehan yang kecil yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa tiba tiba saja William merasa geli saat bertanya seperti itu.
Cassandra melirik sekilas pada William, lalu menjawab tanpa ragu, "terima kasih, kakiku masih berfungsi dengan baik, Tuan muda."
Mulut William langsung terbuka membentuk seperti huruf O. Dan sudut alisnya terangkat. Benar benar penolakan yang serius yang pernah dia terima dari sekian banyak perempuan bayarannya.
"Waow..." kata William menatap Cassandra dengan seringai di wajahnya. "Who are you?" sambungnya manahan tangan Cassandra yang berniat ingin turun.
"I'm Cassandra." Tersenyum tipis, tatapannya yang tajam seolah mampu menghipnotis William. "Apa setelah menghajar laki laki itu, ingatan Tuan muda memudar?"
Sungguh, perempuan satu ini sangat berbeda dari perempuan bayaran lainnya. Hanya ada satu perempuan yang terlintas di otak William, sifatnya benar benar mirip.
'Apa jadinya kalau mereka berdua bertemu. Brrr... Pasti terasa seperti di kutub. Dingin...' batin William sambil membayangkan.
"Sepertinya aku salah menilaimu," katanya sambil melepaskan tangan Cassandra.
Tak berniat ingin mengambil hati dari ucapan William, segera Cassandra turun dari dalam mobil. Melangkahkan kakinya tanpa menunggu William yang berjalan di belakangnya. Sungguh, Cassandra tak ingin di pandang sebelah mata hanya karena pekerjaannya ini. Menurutnya, selain di dalam kamar, dia tidak memiliki kewajiban untuk melayani siapa pun laki laki yang telah membayarnya. Sekali pun berkali kali lipat seperti yang telah di lakukan William padanya.
"No-" Suara Joe terhenti begitu tangan William menepuk pundaknya.
"Biarkan dia," kata William yang menyadari pergerakan langkah kaki Joe yang akan mengejar Cassandra.
"Dia harus berada di belakang anda, Tuan muda, ini sudah lancang."
"Setelah ini dia akan menanggung akibatnya." Ya, William akan memberikan pelajaran pada Cassandra setelah ini. Dan dia sudah tidak sabar itu.
Sementara, tubuh Cassandra nyaris terjatuh jika tangannya tak bertumpu pada dinding lift. Beruntung William dan Joe tak menyusulnya, membuatnya bisa menumpahkan ketakutannya yang masih membekas pada kejadian naas beberapa menit yang lalu.
Cassandra menangis. Dia bahkan mengusap kasar tangan dan lehernya yang telah di jamah oleh laki laki sialan itu. Amarah dan kekesalannya tak bisa dia bendung lagi saat kata kata itu terlintas di kepalanya.
"Jangan munafik, cantik. Semua warga di sini juga tahu kalau kamu itu perempuan bayaran yang murahan."
"Kamu akan menyesal, lontee."
"Lontee."
"Lontee."
Terus, kata kata itu terngiang di telinga Cassandra. Baru kali ini dengan jelas dia mendengar seseorang menghinanya dengan sebutan menohok. Membuatnya sangat terluka.
Walau pun semua itu benar adanya, tapi Cassandra sangat tak bisa menerimanya. Hatinya berkecamuk hebat. Ingin marah, tapi tak tahu pada siapa. Ingin menyesal, sudah sering dia lakukan. Ingin keluar, dia sudah terjebak di sarang pelacuraan yang mengikat lehernya itu.
Demi Tuhan, Cassandra ingin kembali ke masa kecilnya. Dia merindukan mendiang ayahnya yang tak sekali pun memperlakukannya dengan kasar, baik kata kata, mau pun perbuatan.
"Jemput aku, Pa..." lirihnya dalam isak tangis.
Beberapa detik berlalu, Cassandra akhirnya menghentikan semua kesedihannya. Menyeka bersih wajahnya yang di penuhi air mata. Lalu memasang sedikit bedak di atasnya untuk menyamarkan bentuk matanya sedikit sembab dan memerah.
Sebelum pintu lift terbuka, wajah Cassandra sudah terlihat seperti sebelumnya, fresh dan tenang.
Dan di hadapannya, telah berdiri gagah William dengan kedua tangan yang tersembunyi di dalam saku celananya.
"Ku kira kabur," ucapnya dengan sudut alis terangkat.
Cassandra menggeleng samar. "Bukan gayaku untuk lari dari kenyataan."
Lagi lagi William tak menyangka dengan kalimat kalimat yang keluar dari mulut Cassandra. Semakin membuat dirinya tertantang.
"Good girl. Aku menyukai gayamu," goda William mengedipkan sebelah matanya sambil menarik pinggang Cassandra hingga menempel pada tubuhnya. "Kamu memang pintar, Cassandra. Apa lagi yang akan kamu lakukan setelah ini, heum?"
"Jangan pandang aku seperti itu, Tuan muda," sahut Cassandra tak bergerak sedikit pun agar bisa terlepas.
"Kenapa? Kamu gugup?"
Senyum sarkas terukir jelas di wajah Cassandra. Kepalanya yang mendongak bergerak miring. Tak sedikit pun ada ketakutan di wajah Cassandra. Bahkan, kata 'saya' sudah tidak dia gunakan lagi dan berganti menjadi 'aku' sejak tadi.
"Karena, aku takut kamu akan jatuh cinta padaku."
"Oh ya? Dengan perempuan sepertimu, Honey?"
Deg...
Di dalam dadaa Cassandra tiba tiba saja terasa ngilu. Seperti ada yang menusuk di dalamnya. 'Casie Casie... Kamu pikir siapa kamu? Hahaha... Memalukan sekali bukan?' batinnya mencemooh dirinya sendiri.
"Apa menurutmu satu pun laki laki enggak ada yang bisa jatuh cinta dengan perempuan sepertiku, Tuan muda?" Tak ingin terlihat kalah, Cassandra justru menjawab dengan pertanyaan kembali.
"Ya... Sepertinya." Dengan entengnya William menjawab. Tanpa dia sadari, jawabannya menorehkan luka di hati Cassandra.
"Ok." Menganggukkan kepalanya. "Kita lihat saja, Tuan muda. Tapi, kalau kamu jatuh cinta padaku, kusarankan untuk segera menghapusnya. Karena, perempuan sepertiku enggak akan pernah terlibat urusan hati dengan laki laki mana pun."
"Begitukah? Sombong sekali kamu, Honey?"
"Ya, karena aku tahu, semua laki laki sama saja. Hanya mengincar tubuhku saja. Satu kata yang pantas, A S S H O L E." Mengeja satu persatu dengan lantang, lalu mendorong d**a William, kemudian berjalan dengan langkah teratur ke arah kamar.
William berkecak pinggang sambil mengulum senyum dan kepala yang menggeleng. Berani sekali Cassandra memakinya seperti itu. Meski pun tidak tertuju langsung untuknya, tapi tetap saja dia merasa tersinggung.
"Aku sangat tertantang. Waw..." gumannya.
Setibanya di dalam suite dengan pelayanan nomor satu di hotel tersebut, William melihat Cassandra yang berniat ingin masuk ke dalam kamar yang berbeda. Sayang sekali, selain kamar utama yang William tempati, semuanya telah terkunci rapat.
'Sialan. Sepertinya dia sengaja. Enggak mungkin kan aku harus tidur sekamar dengannya? Gila aja, mana bisa tenang,' batin Cassandra merutuk kesal.
"Salah jalan, Honey?" Suara William sukses membuat Cassandra menghela napas kasar.
"Cukup panggil namaku." Cassandra membalikkan tubuhnya sambil bersedekap di depan dadaa.
"Honey... Honey... Honey... Hanya kata itu yang aku panggil selama waktumu menjadi perempuanku."
Cassandra tidak bisa lagi membantah, nyatanya memang dia masih berada dalam kendali William selama beberapa hari kedepan.
"Belum lupa di mana kamar kita kan?" Menekankan kata katanya. "Aku menunggumu di sana." Lalu pergi ke arah yang berlawanan untuk masuk ke dalam kamar.
Kedua tangan Cassandra mengepal kuat. Rasanya ingin sekali dia meneriaki dan mencaci laki laki yang telah membelinya selama satu minggu penuh itu. Selama enam bulan menggeluti pekerjaan kotornya, baru kali ini Cassandra bertemu dengan laki laki kebal telinga seperti William. Biasanya, jika sudah mendengar kalimat cacian yang keluar dari mulut Cassandra, para pelanggaanya akan murka.
Baru saja Cassandra masuk ke dalam kamar, tangan William dari balik pintu segera menariknya dan menciumi bibir Cassandra yang hanya di lapisi lip balm saja.
Tidak seperti sebelumnya, William sangat teratur memainkan kelihaiannya. Bahkan, dia masih sempat untuk menutup pintu kamar dengan cara menendangnya menggunakan kaki.
'Apa apaan ini? Bukannya dia masih harus bekerja? Dasar otak selangkangaan,' umpat Cassandra dalam hati.
"Katakan, cara apa lagi yang akan kamu lakukan untuk memuaskanku, Honey?" Lalu mencecapi leher Cassandra dan meninggalkan bekas di sana.
"Apa yang kamu lakukan?" Mendorong dadaa William hingga tubuhnya terlepas dari pelukan laki laki yang sedang haus cumbuaan itu ketika menyadari lehernya akan mendapatkan bekas kebuasan.
"Mencumbumu, Honey. Apa lagi?" Lalu kembali menarik tubuh Cassandra, menggendongnya dan membaringkannya di atas kasur.
"Jangan meninggalkan bekas apa pun di tubuhku!" Cassandra tampak kesal. Dia paling tidak suka ada jejak apa pun yang tertinggal di tubuhnya.
Bergerak naik ke atas tubuh Cassandra. "Hei... Aku ini pembeli, sudah sewajarnya aku melakukan sesuka hatiku pada barang yang telah ku beli." Membuka jas berwarna abu abu yang dia kenakan, di susul dengan dasi yang melingkar di lehernya.
Sebenarnya, William tidak berniat untuk melakukannya siang ini, hanya saja, melihat kelancangan Cassandra yang semakin menjadi, membuatnya tak tahan ingin memberinya hukuman, terlebih untuk melampiaskan kemarahannya karena telah di tipu dua kali oleh Cassandra.
"Ayolah, Honey. Aku yakin kamu pasti akan menikmatinya."
"A-" Seolah tak ingin memberikan kesempatan berbicara pada Cassandra, William langsung melahap kembali bibir Cassandra.
Tangannya mulai bergerak membuka satu kancing teratas baju yang di kenakan Cassandra.
"Tuan muda, kita bisa melakukannya nanti malam. Bu-"
"Dengan obat tidur yang kamu berikan pada minumanku? Heum?"
Deg...
Jantung Cassandra hampir saja terlepas dari tempatnya. Bagaimana bisa William mengetahui itu semua? Pikirnya.
"Dua kali kamu menipuku dan hanya mengambil keuntungan dariku, Honey." Tersenyum licik, sebelah tangannya dia jadikan sebagai penopang kepalanya. Sebelahnya lagi masih setia membuka kancing kedua baju Cassandra.
William bisa melihat dengan jelas raut keterkejutan Cassandra. Pun dengan detak jantungnya yang begitu kencang. Menyambar hingga ke tangannya.
"Dan saat ini, aku akan menuntut ganti rugi karena kelincahanmu itu." Menjatuhkan ciumaan di dadaa Cassandra yang mulai terlihat.
"Kamu punya penyakit jantung, Honey?" tanya William sambil menempelkan telinganya di sana, untuk mendengar lebih jelas irama jantungnya. "Perlu aku panggilkan dokter?"
Cassandra hening, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kali ini, sudah tidak ada lagi jalan untuk menyelamatkan dirinya dari terkaman buas laki laki yang sedang di penuhi hasrat menggebu itu.
Melihat Cassandra tak kunjung bersuara dan tak berniat untuk meminta maaf padanya, William mulai kehabisan kesabaran. Sepertinya Cassandra harus segers di beri hukuman karena keangkuhannya itu.
"Ciium aku!" titah William menatap Cassandra dengan tajam.
Untuk beberapa detik berlalu, keduanya hanya terlibat saling tatap dengan ekspresi wajah yang sama sama menahan amarah. Setelahnya, wajah Cassandra sedikit terangkat untuk mencapai bibir William.
Cup...
Sebuah ciiuman yang pertama kali Cassandra berikan untuk seorang laki laki yang tidak dia kenali dan tidak memiliki hubungan apa pun. Karena sebelum sebelumnya, para pelanggannyalah yang melakukan secara paksa tanpa meminta izin darinya.
Cassandra merasakan senyuman yang terurai di wajah William dalam ciiuman itu. 'Breengsek. Awas kamu, William. Setelah ini aku akan menolak menjadikanmu pelangganku lagi.'
Kancing terakhir baju Cassandra telah terlepas sempurna bersamaan dengan terlepasnya tautan bibir keduanya. Menampilkan dadaa dan perutnya yang begitu aduhai meski pun terhalang bra berwarna hitam yang dia kenakan.
"So sexy," kata William dengan tatapan memujanya. Lalu bibirnya kembali bergerak melewati permukaan kulit tubuh bagian atas Cassandra.
Susah payah Cassandra menahan sensasi rasa berbeda yang menjalar keseluruh tubuhnya itu. Dia bahkan menahan napasnya agar tetap stabil. Tidak Cassandra pungkiri, ada rasa yang sulit di ungkapkannya ketika bibir William bersentuhan intens di kulit tubuhnya. Terlebih, suara kecupaan yang keluar dari mulut William, membuat rasa panas ingin membakar tubuhnya.
Celana levis panjang semata kaki yang Cassandra kenakan, perlahan terlepas dari kakinya. Kini, di tubuh Cassandra hanya menyisakan dua kain yang menutupi bagian penting di atas dan bawah tubuhnya.
"Are you ready, Honey?"