"Persiapkan dirimu untuk malam nanti. Aku ingin kamu menyambutku dengan pakaian terbaik yang kamu punya, hanya boleh menutupi ini dan ini." Menyentuh ujung dadaa Cassandra dan bawah perutnya.
William menyingkir dari atas tubuh Cassandra, merapikan kemejanya yang kusut, memasang dasi dan jas yang sebelumnya dia lempar asal.
Seperti yang di katakan sebelumnya, William masih harus menyelesaikan pekerjaan yang menjadi prioritas utamanya saat ini. Dia masih waras, tidak akan menghancurkan karir yang telah di bangun oleh orang tuanya hanya demi satu perempuan seperti Cassandra. Lagi pula, masih tersisa banyak waktu untuk menikmati tubuh molek Cassandra.
"Jadilah perempuan yang baik. Jangan membuat ulah selama aku bekerja." Berjalan mendekati Cassandra yang masih berbaring di atas kasur, lalu mengecup kembali dahi Cassandra sebelum pergi meninggalkan perempuan itu.
Begitu pintu kamar tertutup dari luar. Cassandra menghela napas sepuasnya. Lega sekaligus cemas atas perbuatan William yang nyaris menidurinya.
Cassandra sudah tidak bisa berbuat apa apa lagi. Semua trik liciknya telah terbongkar oleh William. Nasibnya di ujung tanduk. Pilihannya hanya ada tiga.
Pertama, meminta maaf agar mendapat ampunan dan belas kasih dari William. Kedua, bertahan dengan keangkuhan dan menolak keras untuk melakukan hubungan badan. Atau yang terakhir, menyerahkan tubuhnya dan melayani laki laki itu sebagaimana seorang perempuan bayaran yang semestinya.
Hanya ada satu yang akan menjadi pilihan Cassandra. Mari lihat sampai saat malam tiba.
***
Pertemuan yang tengah William hadiri saat ini untuk membahas proyek besar yang di kerjakan di luar negeri.
Tidak seperti sebelumnya, William terlihat tidak fokus. Jika tubuhnya berada di sana, maka tidak dengan pikirannya yang justru bercabang memikirkan Cassandra.
Sangking penasarannya, William diam diam melihat rekaman cctv yang telah tersambung di tablet pc miliknya.
Dari dalam sana, terlihat Cassandra yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut yang basah dan bathrobe yang menutupi tubuhnya.
Bibir William perlahan menipis saat melihat Cassandra sedang menggerakkan pelan tubuhnya sambil menyuapkan sepotong kue yang terletak di atas nakas kedalam mulutnya. Sepertinya dia sedang mendengarkan musik yang dinyalakan dari ponselnya.
Sebuah ide muncul di otak William untuk menghentikan kesenangan Cassandra itu.
Sebelah tangannya merogoh saku jas bagian dalam. Jari jarinya bergerak lincah mengetik satu persatu huruf hingga terangkai menjadi kalimat. Tentu saja pesan itu akan di kirimnya untuk Cassandra.
[Nanti malam jangan gunakan sehelai benang pun dan rambut yang terurai basah. Pasti akan lebih terlihat seksi dan menggoda.]
Begitu pesan berhasil terkirim, mata William kembali terpokus pada layar tablet pc, dari sana dia bisa melihat bagaimana ekspresi Cassandra yang kesal setengah mati. Dia bahkan melempar kasar ponselnya ke atas kasur dengan mulut yang komat kamit.
Meski pun tidak tahu apa yang sedang di ucapkan Cassandra, tapi William yakin seratus persen jika itu merupakan caci makian untuk dirinya.
"Hahahaaa..." Tertawa cukup keras.
Sontak beberapa orang yang terlibat dalam pertemuan bisnis itu pun terkejut dan melemparkan tatapan heran pada William.
"Ada yang lucu, William?" kata laki laki yang berusia tujuh tahun lebih tua darinya itu dengan sudut alis yang terangkat.
William berdehem lalu menggelengkan kepalanya. Wajahnya terlihat sangat santai, tak sedikit pun merasa bersalah.
"Aku hanya tidak sengaja melihat iklan yang lewat di beranda media sosialku," kilahnya lalu meletakkan ponsel dan tablet pc yang telah dia nonaktifkan layarnya itu sambil menggedikkan kedua bahunya.
"Tuan muda, tolong fokus. Ini pertemuan penting yang akan menentukan keberhasilan proyek anda." Joe yang sudah membungkuk di belakang William, mengingatkan sang Tuan muda agar tak terlalu santai dan mengabaikan rekan bisnisnya.
William tidak menyahut, dia hanya menatap Joe dengan sebelah alis yang bergerak naik turun. Salah satu gaya William yang tidak Joe sukai. Terlalu santai dalam situasi apa pun.
"Kita sudah mendapatkan kesepakatan, bukan? Proyek sudah berjalan delapan puluh persen dan waktu kita masih tersisa enam bulan. Aku rasa, tiga sampai empat bulan semuanya akan rampung." Mata William bergerak membaca beberapa berkas penting yang akan dia tanda tangani itu.
Meski pun terlihat santai, tapi William sangat teliti sebelum memutuskan sesuatu. Dia tak ingin sedikit pun ada celah kegagalan dalam pekerjaannya.
"Ya, aku rasa juga begitu," sahut rekan bisnis William.
Kedua laki laki yang terlibat bisnis itu sama sama menggoreskan tinta di atas kertas yang berada di hadapan masing masing.
"Senang bertemu denganmu, William. Sampai jumpa dalam kesuksesan selanjutnya," kata laki laki itu berdiri dari duduk dan segera menjabat tangannya.
"Sampai jumpa, Mr. Ricard," sahut William.
Setelah memastikan punggung laki laki yang dia panggil Mr. Ricard dan dua orang lainnya benar benar menghilang dari pandangan matanya, William kembali mengambil tablet pc yang tergeletak di atas meja.
Tangannya cekatan membuka kembali rekaman kamera pemantau yang telah dia sembunyikan dari pandangan Cassandra.
Tak seperti yang di harapkan, tidak ada aktivitas apa pun dari dalam rekaman tersebut. Bahkan, dia tidak melihat sosok Cassandra di sana.
Awalnya William berpikir jika Cassandra mungkin berada di dalam kamar mandi atau balkon hotel. Tapi, setelah menunggu hampir dua menit, pikirannya berubah haluan menjadi curiga. Mungkinkah Cassandra kabur dari sana?
"Joe, cepat hubungi mereka yang berjaga di hotel. Cek keberadaan Cassandra di seluruh ruangan," titahnya dengan kedua tangan yang saling bertautan.
"Baik, Tuan muda."
Secepat kilat permintaan William sudah di lakukan oleh Joe. Kedua orang yang berjaga di depan suite yang mereka tempati pun sedang memeriksa keberadaan Cassandra.
"Tuan muda, Nona Cassandra sedang berada di mini bar," kata Joe melaporkan hasil pencarian dari dua orang kepercayaan William yang berjaga di hotel.
"Mini bar?" Mengerutkan dahinya. "Apa yang dia lakukan di sana?" tanyanya tanpa sediiit pun mengalihkan matanya pada layar tablet pc.
"Menyeduh teh hangat, Tuan muda."
"Apa dia pakai baju?" tanya William dan langsung membuat Joe mengerutkan dahinya. "Maksudku, masih pakai bathrobe atau pakai baju lengkap?"
Sambil menggelengkan kepalanya samar, Joe meneruskan pertanyaan absurd Tuan mudanya pada laki laki yang terhubung di dalam panggilan suara itu.
"Berpakaian lengkap, Tuan muda. Baju kaos polos berwarna biru langit dan celana pendek setengah paha berbahan denim. Rambut terurai, meng-"
"Cukup, Joe. Aku cuma ingin tahu apa dia pakai baju? Kenapa jawabanmu panjang sekali?"
Joe hanya diam saja. Walau pun sebenarnya dalam hati merutuki keanehan Tuan mudanya itu. Yang benar saja? Cassandra belum gila. Mana mungkin dia telanjaang berkeliaran di sana. Meski pun hanya dia sendiri di dalamnya, pikir Joe.
Tak lama, pintu kamar terlihat terbuka dari luar. Yang di tunggu akhirnya tiba di dalam layar. Sambil memegang cangkir di tangannya, Cassandra duduk di tepi ranjang. Persis seperti yang di katakan Joe sebelumnya, Cassandra menggunakan pakaian dua potong yang menutupi tubuh moleknya.
Baru ingin mengamati pergerakan Cassandra, suara nada dering di ponsel William terdengar, mengalihkan fokus utamanya.
"Kenapa?" katanya, setelah menggeser tombol gangang telpon berwarna hijau. Suaranya terdengar malas malasan.
"Jangan lupa, malam ini kita ada birthday party." Suara Willona dari seberang sana memenuhi rongga telinga William.
"Oh ya? Tapi aku enggak ingat sama sekali," sahut William santai. Matanya kembali mengamati layar tablet pc.
"Mana ingat lah, isi otak kamu cuma selangkangaan doang!"
"Hei... Jangan lupa, surga duniaa yang sebenarnya ada di selangkangaan. Tanya deh sama Daddy dan Mommy. Makanya, mainnya jangan di brankar rumah sakit terus, sekali kali cicip deh asiknya main di kamar hotel." Lalu terkekeh tanpa dosa.
Tepat di belakangnya, Joe menunjukkan ekspresi mata terbelalaknya mendengar percakapan dua saudara kembar itu. Benar benar aneh, pikir Joe. Terutama Tuan mudanya, sepertinya benar kata Nona mudanya, bahwa otak William hanya seputar selangkangaan saja.
Gilaaa... Paraaah...
"Dasar adik laknaat. Maaf ya, aku enggak semurahanan seperti perempuan perempuan yang kamu tiduri itu. Cih... Awas aja punya penyakit kelamin, sekalian aku suruh papa potong habis buruungmu, baru tahu rasa!" Nada bicara Willona terdengar begitu kesal.
William mengetuk ngetuk meja dan kepalanya bergantian. "Amit amit tujuh turunan. Kelewatan kamu Lona."
"Mundur lagi dong kalau kelewatan," sahut Willona. "Sudah lah, cepatan jemput aku sekarang."
"Ngapain? Mobil ada, pulang aja sendiri."
"Aku enggak bawa mobil. Temani aku cari hadiah untuk di bawa nanti malam."
"Aku ma-" William terpaksa menghentikan ucapannya saat suara Willona lebih mendominasi.
"Aku tunggu di lobi rumah sakit. Sekarang. Bye..."
Panggilan telpon langsung terputus begitu saja dari seberang sana.
"Ck, semaunya saja," cibir William sambil meletakkan kembali ponselnya ke atas meja.
Merasa tidak ada gerak gerik yang mencurigakan dari rekaman kamera pemantau yang sedang menyorot Cassandra dan seluruh isi di dalam kamarnya, William bergegas untuk pergi dari dalam restoran bintang lima tersebut.
"Kita ke rumah sakit sekarang juga, Joe. Ice Princess sudah menunggu." Melekatkan julukan yang dia berikan untuk saudara kembarnya itu.
"Siap, Tuan muda."
***
"Hei, my soul..." teriakan William menggema keseluruh koridor ruangan rawat inap khusus anak anak. Membuat semua yang ada di sana mengalihkan atensi mereka pada laki laki yang berdiri tak terlalu jauh dari meja perawat jaga.
Beruntung pintu ruang rawat inap di sana tertutup semua dan membuat suara William tak terlalu bising. Jika tidak, mungkin stiletto heels milik Willona yang memiliki ketinggian tujuh centimeter itu akan melayang ke wajah William.
"Suaramu, dude! Ini bukan hutan," cicit Willona yang sedang duduk di kursi meja perawat jaga.
"Oh, ku kira hutan sangking sepinya. Makan gaji buta dong kalian ya. Enak sekali." Sambil terkekeh pelan tanpa berniat ingin masuk.
"Sialan!" cibir Willona dengan wajah dinginnya.
"Hallo abang ganteng..." sapa seorang perawat perempuan dari total empat yang ada di sana. Tangannya melambai pada William dan wajahnya berseri seri mengagumi ketampanan William. "Duduk sini, berdiri aja."
William melakukan gerakan menyisir rambut ke belakang. Kepercayaan dirinya semakin meningkat saat berada di ranah rumah sakit milik sang ayah.
"Dia ada Hemoroid. Mana bisa duduk."
"Ah si abang, ganteng ganteng ambeien," celetuk yang satunya lagi. Dan sukses membuat Willona tertawa.
"Jangan percaya dia, terkutuk mulutnya itu." Menunjuk Willona dengan wajah kesalnya. "Ayolah, cepat sedikit," sambungnya.
"Bentar, lagi buat laporan hasil pemeriksaan. Tanggung," sahut Willona dengan tangannya yang terus bergerak di atas beberapa tumpukan map putih berlogo rumah sakit.
"Dasar manusia karet. Bilangnya nunggu di lobi, tapi masih aja di sini." Sambil mengeluarkan ponsel dari dalam jasnya, lalu menyingkir untuk duduk di kursi tunggu yang ada di depan salah satu ruangan.
Tak lama, William mendengar suara seorang laki laki yang sepertinya sedang berbicara pada saudara kembarnya.
Fokus William kembali bercabang, matanya menatap layar ponsel, telinganya menangkap dengan baik perbincangan laki laki itu dengan Willona.
Tidak ada yang salah, semuanya mengenai pekerjaan yang saling terikat itu. Dan sepertinya, Willona dan laki laki itu sedang berkonsultasi mengenai salah satu pasiennya yang mempunyai penyakit cukup parah.
Sampai akhirnya satu pertanyaan muncul dari mulut laki laki itu. Bukan pertanyaan, lebih tepatnya ajakan.
"Mau makan malam denganku?"
William langsung memutar kepalanya ke samping, mendapati Willona dan seorang laki laki bertubuh tak kalah atletis darinya, dan wajahnya juga tampan. Bedanya dengan William, laki laki yang berprofesi sebagai dokter itu memiliki lesung pipi di sebelah kiri yang membuatnya semakin terlihat tampan saat tersenyum.
'Wah, cari mati nih orang. Bisa bisanya ngajak my ice princess pergi malam ini,' batin William tersenyum sarkas.
"No!" sahut Willona singkat dan ketus.
Sontak William tertawa pelan melihat reaksi dari dokter laki laki itu ketika mendapat penolakan terang terangan dari saudara kembarnya itu.
"Kenapa?"
"Ya enggak mau aja."
"Lona, ini sudah ajakan ku yang keberapa kalinya, tapi selalu kamu tolak."
"Kalau enggak mau gimana dong?" Willona dengan santainya menyahut.
"Aku yakin ada saatnya kamu pasti terima ajakan aku."
Willona menatap tajam laki laki itu. "Jangan pernah ganggu aku, selain masalah pekerjaan!" kata Willona lalu pergi meninggalkan laki laki yang menggunakan name tag bertuliskan dr. Geraldy di dalamnya.
Sebelum Willona benar benar menjauh, William segera berdiri dan melambaikan tangannya pada Geraldy sambil berteriak. "Selamat patah hati, dude." Lalu melebarkan langkahnya menyusul pergerakan Willona.
"Jadi, dia yang Mommy bilang kemarin malam?" tanya William sambil merangkul pundak Willona yang memiliki ukuran tubuh sedikit lebih kecil darinya.
Willona hanya menggedikkan kedua bahu dan alis bersamaan.
"Tampan, cocok sama kriteria suami idaman kamu waktu kecil. Tinggi, kulitnya gak terlalu putih, matanya juga gak besar besar banget, hidung mancung, bibir seksi, plus cacat terindah di wajahnya." Yang di maksud William adalah lesung pipi. Karena Willona dulu selalu mengatakan jika itu adalah cacat terindah yang Tuhan berikan. "Apa lagi? Enggak mau di coba?"
"Apanya?" Menoleh pada William dengan sudut alis yang terangkat.
"Keperkasaannya. Hahahaha..." Terbahak bahak tanpa mengehentikan langkahnya.
"Siialan kamu!" Mencubit perut William. "Suaramu, Liam! Pasien bisa terganggu! Mulut apa toa sih?"
William langsung menutup mulutnya. Dia memang tipe laki laki yang sulit menahan ekspresinya. Apa pun yang dia rasakan, akan murni tersalurkan begitu saja. Dan satu hal yang terpenting, William bukanlah tipe laki laki dingin yang pandai menutupi diri, seperti kebanyakan pengusaha muda dan CEO lainnya. Dia jujur apa adanya, santai dan bisa di ajak humoris. Bukan berarti dia tidak serius. Hanya saja, dia lebih suka untuk mengekspresikan dan mengakui dengan jujur apa yang sedang dia rasakan.