"Argh..." Wajah Reyna bergerak kesamping setelah mendapat tamparan keras dari laki laki tua yang menjadi tempat untuk dia menyombongkan diri.
"Jaga mulutmu, Reyna. Jangan cari gara gara dengan siapa pun yang memiliki hubungan dengan Tuan muda ini," kata laki laki itu dengan suara yang sangat pelan dan mata yang nyaris keluar dari tempatnya.
Seutas senyum smirk terpahat di wajah cantik Cassandra. Kepuasan tersendiri baginya menyaksikan Reyna di perlakukan kasar oleh pelanggaannya sendiri. 'Aku pastikan semua para pelanggaanmu melakukan hal yang sama, Reyna. Biar kamu tahu, bagaimana hancurnya aku saat pertama kali di perlakukan kasar dengan laki laki yang kalian jadikan sebagai penikmat tubuhku.'
"Aku mau pergi!" kata Cassandra menatap William. "Bisa muntah lama lama di sini." Beralih menatap Reyna seperti jijik.
"Ok. Tapi, sebelum kita pergi. Hukuman apa yang mau kamu berikan untuk mereka, Honey?" Semakin merapatkan tubuh Cassandra tanpa ada celah sedikit pun.
Sama sekali wajah William terlihat santai, bahkan nada bicaranya terkesan bercanda. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang memimpin dengan cara serius. Meski pun begitu, semua yang keluar dari mulutnya tidak pernah main main. Dan itu lah yang membuatnya menjadi di takuti para pebisnis lainnya.
"Apa pun itu. Aku enggak peduli." Lalu melepaskan diri dari William dan pergi begitu saja keluar dari tempat yang membuatnya muak itu.
William memberi kode pada salah satu pengawalnya untuk mengikuti Cassandra agar tak kehilangan jejak. "Bereskan semuanya, Joe. Seperti biasa," titahnya sambil menepuk pundak Joe.
"Baik, Tuan muda." Menganggukkan kepalanya.
Di hadapannya, laki laki tua itu seperti ingin memohon pada William, tapi segera di halangi oleh Joe yang langsung menghadangnya.
Sebelum William benar benar keluar dari toko itu, seorang karyawan perempuan menyapanya hingga langkah kaki William terhenti. "Maaf, Tuan muda. Semua barangnya harus di antar kemana?"
"Oh ya, aku lupa. Berapa jumlah karyawan di sini?" tanyanya.
"Semuanya total tiga belas, Tuan muda," sahutnya sopan.
William menganggukkan kepalanya mengerti. "Setiap satu orang pilih satu baju, satu tas atau sepatu dan satu aksesoris. Selebihnya bungkus semua. Nanti Joe yang akan mengurusnya."
Karyawan perempuan itu membelalakkan matanya dengan mulut yang terbuka lebar, nyaris mengeluarkan air liur dari dalamnya, antara terkejut dan bahagia mendapat rezeki yang tak di sangka sangka hari itu. Jangankan untuk membeli, membayangkan harganya saja sudah membuat kepala mereka migran. Jadi, wajar jika ekspresinya sampai seperti itu. "Terima kasih, Tuan muda. Terima kasih banyak." Membungkukkan tubuhnya dan menunduk berulang ulang kali.
"Oh iya, pisahkan khusus semua barang barang yang sudah di pilih sebelumnya oleh perempuanku. Dan ..." Mengedarkan pandangannya ke lantai, lalu menunjuk sebuah objek yang menjadi pemicu terjadinya keributan. "Kacamata itu, berikan saja untuk dia."
"Baik, Tuan muda," sahut karyawan itu lagi lagi menunduk.
William segera pergi, mengabaikan jeritan memohon dari laki laki tua di dalamnya.
***
William sempat di buat kesal saat tak menemukan keberadaan Cassandra yang menghilang secepat kilat dari pandangannya. Entah mempunyai jurus apa, sampai sampai dia bisa melakukan hal seperti itu.
Tapi, setelah mendapat kabar dari salah satu pengawalnya, William segera menuju ke satu tempat yang sama sekali tak terlintas di pikirannya.
"Apa yang dia lakukan di atas sana? Apa berniat bunuh diri? Astaga... Perempuan itu," keluh William yang sedang menaiki beberapa anak tangga untuk mencapai lantai paling atas di gedung tinggi itu.
Begitu menginjakkan kakinya di lantai atas gedung yang berukuran begitu luas itu, mata William langsung tertuju di tembok yang menjadi pembatas.
Berdiri menunduk seorang perempuan yang sepertinya mulai mencuri perhatian William, kedua tangannya berpegangan pada ujung tembok, kedua bahunya berguncang tak terlalu kuat. Ternyata, inilah alasan di balik hilangnya Cassandra dari pandangan mata. Diam diam, dia mencari tempat yang jauh dari keramaian untuk menumpahkan air matanya yang entah sejak kapan membasahi kedua pipinya.
Sejenak, William memberi ruang pada Cassandra untuk sendiri, sambil dia mencari tahu apa yang menjadi penyebab di balik berderainya air mata perempuan yang selama lima hari ini terkenal keras kepala.
Belum menemui titik terang dari pertanyaan pertanyaan yang menyelimuti pikirannya sendiri, William memutuskan untuk mendekati Cassandra. Mengingat, langit yang tiba tiba berubah mendung di susul dengan angin yang berhembus semakin kencang.
"Apa di sini terasa nyaman untuk menangis?" tanya William sambil menghentikan langkah kakinya tepat di sebelah Cassandra. Membuat perempuan itu sedikit terkejut dan langsung menyeka kasar wajahnya yang basah. "Menangis bukan sebuah dosa. Untuk apa menutupinya?" Berbalik badan dan menyandarkan tubuhnya di dinding pembatas yang berukuran setinggi perutnya sambil memperhatikan wajah Cassandra yang memerah di sekitar mata dan hidungnya.
"Ngapain kamu ke sini juga?" Tak membalas tatapan William. Dia justru lebih memilih untuk melihat ke arah yang berlawanan.
William terkekeh pelan. Tak habis pikir dengan sikap dingin Cassandra yang seperti salju.
"Hei... Gedung ini milik keluargaku. Dan aku pemilik tunggal mall besar di dalam itu. Kamu harus tahu itu, Honey." Menyentuh dagu Cassandra dengan ujung jarinya. "Dan asal kamu tahu, selain pemilik dan karyawan yang berkepentingan, di larang untuk naik ke atap gedung ini."
"Sombong!" cibir Cassandra sekenanya.
"Ini real, Honey. Kamu enggak tertarik dengan laki laki mapan dan kaya raya sepertiku?"
"Sekali pun bumi ini di penuhi dengan harta milikmu, aku enggak akan peduli." Cassandra berbalik badan, dia akan pergi dari sana.
Duuuarr...
Suara guntur di iringi kilat yang menjalar di awan membuat tubuh Cassandra membeku di tempat dengan kedua tangan yang menutupi telinganya dan mata yang terpejam.
William dengan cepat menarik tubuh Cassandra untuk masuk ke dalam pelukannya. Sebagai seorang laki laki sejati, William tidak akan membiarkan siapa pun yang sedang bersamanya merasa tidak nyaman atau pun ketakutan, apa lagi jika itu perempuan.
"Jangan takut, ada aku," kata William sambil mengelus punggung Cassandra. "Kita pulang, ok?"
Belum sempat mereka melangkah pergi, tetes air mulai berjatuhan dari atas langit, tanpa aba aba mengguyur tubuh keduanya dengan cepat.
"Hujan?" Cassandra mendongakkan kepalanya ke atas sambil memicing.
"Ayo cepat." Menarik tangan Cassandra sambil berlari.
Jarak menuju pintu untuk masuk ke dalam gedung pun cukup jauh. Karena sudah terlanjur basah kuyup. Cassandra justru melepaskan tangannya dari genggaman William dan berlari kembali ke arah sebelumnya. Kedua tangannya terlentang bebas sambil berputar putar menikmati setiap air yang mengguyur tubuhnya.
Dengan mata yang memicing, William memperhatikan Cassandra tanpa berniat mendekatinya. Jika kebanyakan perempuan yang pernah dia temui berpura pura untuk tampil sempurna di hadapannya, maka berbeda dengan Cassandra. Perempuan itu bahkan tidak peduli dengan apa pun dan nyaris mengabaikannya.
'Cantik dan menarik,' batin William memuji kecantikan Cassandra yang tak luntur dalam keadaan apa pun. Tersenyum, menangis, marah, tidur, tetap memesona.