Pertempuran Sengit

2055 Kata
Bagaikan pasangan serasi, William dan Willona bergandengan memasuki ballroom hotel berbintang lima yang ada di Ibukota yang telah di sulap menjadi super mewah dengan konsep black and pink. Tak heran lagi, pasalnya, si tuan rumah yang mempunyai acara adalah seorang artis yang namanya mulai naik daun sejak empat tahun yang lalu, dia merupakan sahabat William dan Willona saat berada di bangku sekolah menengah atas. Sebenarnya, William tidak terlalu menyukai inti pesta seperti ini. Dia hanya tertarik dengan perempuan perempuan seksi yang menghadiri pesta tersebut. Apa lagi, banyak model dan artis yang hadir di sana. Bisalah untuk cuci mata, pikir William. Langkah kaki keduanya tentu saja membawa pada sang bintang utama, Mika Monalisa. Artis yang selalu tampil mewah dengan riasan yang cukup badai. "Happy birthday, Mik," kata Willona lalu memeluk teman lamanya itu. "Sukses terus ya dalam segala urusan," sambungnya. "Aamiin... Thanks, Lona." "Hei, happy birthday, cantik." William mengangsurkan sebuah kado pada Mika yang berukuran tak terlalu besar. "Oh... Thank you." Mika meletakkan kado pemberian William dan segera menciium sebelah pipi William lalu memeluknya erat. Berbeda dengan yang dia lakukan sebelumnya pada Willona. 'Dasar genit. Sudah mau nikah juga, masih aja nempel sana sini,' cibir Willona dalam hati. "Kita kesana dulu, ya." Willona menarik paksa tangan William sambil memasang senyum alakadarnya di hadapan Meka. "Oh... Ok, thanks ya, Willona, William." Melambaikan tangannya. Keduanya sudah berjarak cukup jauh dari Meka. "Cemburu?" goda William sambil melingkarkan tangannya di pundak Willona. "Biasa aja," sahut Willona. "Enggak suka aja kalau adik ku dekat dekat sama perempuan yang sudah punya calon suami." "Loh, baru calon itu. Masih bisa di tikung kan?" Willona menghentikan langkahnya, menatap William dengan mata yang membulat sempurna. "Jangan aneh aneh pikiran kamu." Menunjuk tepat di depan mata William, seakan ingin mencolok isi di dalamnya. "Ampun, Bu Dokter." Mengangkat sebelah tangannya seolah menyerah. Pesta terus berlanjut, semakin larut justru semakin panas. Pasalnya, musik band yang di mainkan secara live yang terdengar nyaman di telinga, berubah menjadi dentuman musik dj yang memacu gairah untuk menggerakkan seluruh anggota tubuh. Tak lupa deretan minuman beralkohol, mulai dari wine, champagne, whisky, bir, brandy, hingga vodka dengan berbagai merk terkenal tersaji banyak, baik yang tersusun rapi di atas sebuah meja panjang, hingga para pramusaji yang membawanya dengan troli khusus. "Jangan coba coba untuk mabuk, Liam!" Memperingatkan William yang sudah meneguk habis dua gelas red wine yang menjadi pilihannya. "Baru dua gelas. Kamu lupa siapa saudara kembarmu ini?" Memukul bangga dadanya sendiri yang di tutupi jas berwarna navy. "Terserah. Yang jelas, sudah cukup minumnya." Willona menyingkirkan gelas terakhir yang baru saja ingin William teguk. "Kita pulang. Jangan sampai kamu mabuk dan cari mangsa." Lalu menarik tangan William untuk pergi dari sana. Willona sudah muak melihat William yang terus terusan menggoda perempuan yang tak di kenalinya. Sampai akhirnya William tersadar dan melirik arloji di pergelangan tangannya. "Pulang ke rumah, Liam. Ingat tadi pesan Mommy apa? Jangan cari masalah lagi." Peringatan keras yang di lancarkan Willona membuat William bernapas gusar. *** Sudah hampir empat jam Cassandra tidak melakukan satu kegiatan apa pun di dalam kamar hotel tempatnya tinggal. Hanya pergerakan kecil dari kasur ke sofa dan pindah lagi ke kasur. Rambutnya yang tergerai basah pun, kini sudah mengering. Tubuhnya yang polos hanya tertutupi bathrobe putih saja. Semuanya sesuai perintah William. Awalnya, Cassandra memilih untuk tetap angkuh dan tak akan menyesali sedikit pun perbuatannya yang merugikan William. Tapi, entah kenapa tiba tiba Cassandra berubah pikiran. Dia bahkan mengguyur tubuhnya dengan air dingin di bawah pancuran shower, ketika jarum pendek jam mengarah di angka sembilan. Dan sialnya, semua yang dia lakukan saat ini tidak ada hasil sama sekali. Laki laki yang mengancamnya itu bahkan tak kunjung terlihat batang hidungnya. "Apa yang kamu pikirkan, Cassie?" Meraup kasar wajahnya sendiri. "Laki laki breengsek seperti itu mana mungkin serius dengan ucapannya. Dia hanya mengancam, walau pun sudah membayarmu, tetap aja dia bisa sesuka hatinya bermain dengan perempuan lainnya di luar sana." Merutuki kebodohan dirinya sendiri yang sudah menunggu kehadiran William sejak pukul sembilan malam hingga pukul satu dini hari. Cassandra beranjak dari duduknya. Berjalan mengambil pakaian tidurnya di dalam koper, lalu memakainya begitu saja. "Mending tidur Cassie, dia enggak bakalan datang. Yah, syukur kalau gitu. Bisa tidur nyenyak," ungkapnya dengan bibir yang menipis. Tidak butuh waktu lama bagi Cassandra untuk mencapai alam bawah sadar dan merajut mimpi indahnya. Tepat di menit lima puluh tiga Cassandra tertidur, pintu kamar terbuka dari luar. Laki laki yang sejak tadi Cassandra tunggu kehadirannya, akhirnya muncul juga. Sayangnya, Cassandra tidak menyadari kehadiran William di sana. Sepertinya, Cassandra memang sangat lelah. Biasanya, di jam seperti ini dia tidak akan pernah tertidur karena harus menuntaskan misinya dalam memuaskan hasrat para pelanggaannya. Sebelum benar benar menutup rapat pintu kamarnya, William menatap punggung Cassandra yang tertutupi oleh baju tidur berlengan panjang yang dia kenakan. Tidak seperti apa yang dia perintahkan sebelumnya, Cassandra justru tertidur dengan pulas di sana menggunakan pakaian lengkap serba panjang. William melepas jas dan dasinya, berangsur membuka kancing kemeja yang dia kenakan sambil berjalan naik ke atas kasur. Niat hati ingin menyalurkan hasrat dan melampiaskan kekesalannya karena Cassandra tak patuh, tiba tiba saja urung dia lakukan saat melihat wajah damai Cassandra yang tertutupi oleh beberapa anak rambut. Tangannya bergerak pelan menyalipkan anak rambut ke telinga Cassandra, lalu mengurai rambut panjang itu ke belakang kepala sang pemilik. "Cantik sekali," guman William sambil tersenyum manis menatap wajah cantik Cassandra yang alami tanpa riasan sedikit pun. "Sayang sekali, kamu salah menggunakan kecantikanmu ini." Membelai wajah Cassandra dengan lembut. William mendaratkan kecupan singkat di dahi Cassandra, lalu turun ke bibir dan menikmati sebentar betapa lembutnya bibir bawah Cassandra. "Tidurlah yang nyenyak, untuk malam ini aku biarkan kamu bebas, Honey." Menarik selimut dan menutupi tubuh Cassandra hingga sebatas d**a. William baru saja ingin memejamkan matanya. Namun, suara Cassandra yang terdengar secara tiba tiba membuatnya kembali membuka mata. "Jangan... Jangan... Ampun, jangan..." Suara Cassandra terdengar lirih bercampur takut. William bahkan bisa melihat ada tetasan air bening yang keluar dari sudut matanya. William teringat saat pertama kali menolong Cassandra yang pingsan di koridor hotel enam bulan yang lalu. Cassandra juga bermimpi buruk seperti ini, bahkan dia berteriak histeris. 'Apa dia mimpi buruk lagi?' tanya William dalam hati. "Tolong... Jangan... Ampun, jangan sakiti saya." Terus Cassandra meracau, tubuhnya bahkan sudah bergerak gelisah. Tak tega melihat Cassandra yang sepertinya tersiksa di alam bawah sadarnya, William segera memeluk Cassandra dengan erat sambil mengelus kepalanya untuk menenangkan. "Hei... You ok? Sadarlah..." Cassandra masih bergerak gelisah, hingga akhirnya matanya tersentak terbuka begitu merasakan ada sesuatu yang bergerak tepat di sebelah wajahnya. Untuk sesaat Cassandra diam dengan napas yang tak beraturan. Dadanya begitu sesak, membuatnya harus menahan rasa sakit yang luar biasa di dalamnya. "Menangislah, jangan di tahan, Honey." William semakin mengeratkan pelukannya, mengelus punggung Cassandra dengan sangat lembut untuk memberikan ketenangan dan rasa nyaman. Tak bisa lagi menahannya, tangis Cassandra akhirnya pecah. Dadaa bidang milik William sudah menjadi tempat untuk dia menyembunyikan wajahnya yang kacau saat ini. Meski pun tidak tahu persis apa yang dialami oleh Cassandra dalam mimpinya, tapi William yakin pasti ada kaitannya dengan masa lalu Cassandra. "Mau aku buatkan teh hangat?" tanya William begitu menyadari tangis Cassandra yang mulai mereda. Cassandra menggelengkan kepalanya, lalu bergerak mundur agar terlepas dari pelukan William. Sayangnya, laki laki itu tidak melepaskan sedikit pun tangannya dari punggung Cassandra. "Jangan kemana mana." "Aku mau mencuci mukaku," kata Cassandra jujur. "Enggak usah. Kamu bersihkan aja pakai kemejaku." Memejamkan matanya perlahan. Cassandra mengerutkan dahinya. Sekali lagi dia bergerak, tapi tetap saja sia sia. "Peluk aku, Honey," titah William dengan suara sangat pelan. 'Enak aja! Sudah tidur dengan perempuan lain, sekarang malah minta peluk aku. Cih... Lihatlah, bahkan kemejanya bau alkohol.' Cassandra membatin. "Peluk aku atau puaskan aku sekarang juga? Cepatlah, sebelum aku bertindak sendiri." Kali ini William mengancam, dia tidak main main. Tubuhnya yang sudah memanas efek minuman alkohol yang dia teguk sebelumnya, bergejolak ingin menumpahkan hasratnya. Sayangnya, kondisi Cassandra yang baru saja mengalami mimpi buruk membuat William tak tega untuk melakukannya. Bukan Cassandra namanya kalau bisa patuh begitu saja dengan makhluk berjenis kelamin laki laki. Dia tidak akan melakukannya, sekali pun William mengancamnya. Ada sedikit kekecewaan yang terselip di benak Cassandra karena William yang mengabaikannya beberapa jam yang lalu hingga akhirnya dia tertidur pulas. Entah pertanda apa itu, yang pasti, Cassandra tidak akan kembali terpancing dengan apa pun bentuk ancaman yang di layangkan William. "Dengar aku?" William membuka matanya. Sepetinya Cassandra memang ingin menguji kesabarannya. Padahal, William sudah berusaha untuk bersikap baik. Tapi sepertinya Cassandra tak berniat sedikit pun menghargai sikapnya itu. Dengan satu kali hentakan, William sudah berhasil naik ke atas tubuh Cassandra, mengungkungnya di bawah kendalinya, lalu menciium paksa bibir menggoda Cassandra. "Ingin aku bermain kasar, Honey?" katanya di sela sela lumatan panjangnya. Cassandra bergerak untuk menghindar, sayangnya sebelah tangan William sudah berhasil mencengkeram kedua tangan Cassandra di atas kepalanya. Membuat Cassandra tak bisa banyak bergerak. Sebelah tangannya lagi dia gunakan untuk membuka habis seluruh kancing baju tidur yang melekat di tubuh Cassandra. "Aku sudah memperingatkanmu baik baik, Cassie. Jangan salahkan aku kalau aku akan bermain kasar dengan caraku sendiri." Bergerak menciiumi leher Cassandra hingga ke bagian perut mulusnya. "T-tuan muda, jangan, aku mohon..." Menggeleng cepat saat tangan William bergerak untuk melucuti celananya. "Waktumu sudah habis, Cassie." Tak sedikit pun merasa kesulitan, William berhasil membuat tubuh bawah Cassandra terpampang dengan jelas. Sambil tersenyum smirk, William berkata, "mulus, seksi, dan ... menggairahkan." "Aku mohon, T-tuan muda, jangan..." Menggerakkan kakinya seolah ingin menutupi bagian inti bawahnya. Seakan tak mendengar suara apa pun, bibir William kembali menempel di perut bagian bawah Cassandra, mengecup basah hingga menimbulkan sensasi luar biasa yang teramat sulit di ungkapkan oleh Cassandra. Desahan pendek beberapa kali lolos begitu saja dari mulut Cassandra. Sialnya lagi, meski pun merasa takut, tapi tubuh Cassandra tak menolak sedikit pun perbuatan William padanya. William mengangkat kepalanya, melepaskan tangan Cassandra, lalu bergerak membuka seluruh pakaiannya. Bersamaan dengan itu, William memperhatikan wajah Cassandra yang mulai di basahi peluh peluh kecil di sana karena rasa panas yang mungkin mulai menjalar keseluruh tubuhnya. Pun dengan air matanya yang kembali mengalir di sana. Membuat William lagi lagi tak tega. "Aku enggak bermaksud menyakiti kamu, Cassie. Tapi ... Ah, sudahlah." Meraup kasar wajahnya. Berniat untuk menyingkir dari hadapan Cassandra. Sampai tangan Cassandra menahan lengannya. Beberapa detik berlalu, Cassandra dan William hanya terlibat tatapan mata tanpa sepatah kata pun. Tak ada yang bergerak dari satu pun dari mereka. Cassandra seolah membiarkan tubuh polos William tetap pada posisinya yang mengungkung tubuhnya. "Lakukanlah." Suara Cassandra memecah keheningan yang terjadi. Sekaligus membuat mata William sedikit membesar seakan tak percaya dengan permintaan perempuan bayarannya itu. Padahal, sebelumnya Cassandra selalu berusaha untuk menghindar dan menolaknya. "Kamu yakin?" tanya William dengan sudut alis yang terangkat. Terlihat Cassandra menarik napas panjang sambil menggigit bibir bawahnya sendiri. Setelah itu, dia mengangguk yakin. Tanpa aba aba, William kembali melumat bibir Cassandra dengan lembut. Tangannya bergerak untuk membuka kain terakhir yang menjadi penutup dadaa Cassandra. Cassandra tampak gugup, terlihat jelas dari wajahnya yang tak sanggup untuk menatap mata William. "Apa ini yang pertama untukmu?" William mencoba mencari tahu. Dia takut ini akan menyakitkan bagi Cassandra. Mengingat, terbongkarnya cara Cassandra dalam melakukan pekerjaannya, membuat William tak yakin jika Cassandra sudah terlatih dalam melakukannya. Ragu ragu Cassandra menggelengkan kepalanya. Sedikit membuat William terkejut karena tak sesuai dengan apa yang dia pikirkan. "Bukan yang pertama. Tapi pertama kali aku melakukannya dengan keinginanku sendiri." William semakin tak mengerti, ada banyak pertanyaan yang melintas di otaknya. Tapi, itu semua tidak penting saat ini. Dia hanya peduli dengan hasratnya yang telah membara. Di tambah lagi, Cassandra yang memintanya langsung. "Aku enggak peduli," kata William tersenyum tipis. "Katakan kalau kamu merasa sakit atau enggak nyaman, ok?" Setelah mendapat anggukan kepala dari Cassandra, segera William menyatukan tubuhnya pada Cassandra dengan sangat lembut dan hati hati. Mata Cassandra tertutup, dia sangat gugup sekaligus malu pada dirinya sendiri. "Buka matamu, Honey," kata William lalu kembali menciium bibir Cassandra. Pergerakan yang di lakukan William sama sekali tidak membuat Cassandra merasa sakit, dia bahkan bisa menikmatinya tanpa takut lagi setelah William menuntun tangannya untuk melingkar di lehernya. William juga meminta Cassandra untuk mencubit, menjambak rambutnya, atau memukulnya sekalian jika pergerakannya membuat Cassandra tak nyaman. Untuk pertama kalinya, Cassandra benar benar merasakan arti nikmat dalam pekerjaan yang dia jalani saat ini. Sebelumnya, dia hanya bisa mendengar dari beberapa rekan kerjanya saja. Setelah ini, entah apa yang akan Cassandra rasakan, penyesalan atau justru kesenangan tersendiri untuknya. Yang jelas, misinya tidak akan pernah berlaku lagi untuk William.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN