Lima hari sudah telah berlalu. Tidak banyak yang Cassandra bisa lakukan selain, makan, tidur, bersantai, makan lagi, tidur lagi. Hanya itu itu saja.
Meski pun tinggal di suite super mewah dengan fasilitas lengkap bak istana negeri dongeng--apa yang dia inginkan nyaris tak pernah tak ada, nyatanya tidak membuat Cassandra merasa nyaman dan sungguh terkekang.
Sejak kejadian malam panas itu, William tak kunjung kembali menemui Cassandra di hotel. Hanya pesan singkat secara random yang dia kirimkan untuk Cassandra, dan itu sangat membuat Cassandra benar benar seperti perempuan bayaran yang hanya akan di butuhkan untuk pemuas nafsu belaka.
Cassandra benci seperti ini, dia benci terkekang, dia ingin kehidupannya kembali seperti sebelum bertemu William. Inilah alasan kenapa Cassandra membenci semua laki laki. Hampir semua laki laki yang dia temui satu pemikiran, hanya menginginkan tubuh perempuan. Dan cinta tidak akan berlaku untuk laki laki seperti itu.
Cassandra mulai bosan, dia mengambil ponsel miliknya, menekan nomor seseorang untuk di hubungi.
Begitu panggilan tersambung, tidak pakai basa basi, Cassandra langsung mengutarakan keinginannya.
"Aku bosan, ingin pergi dari sini. Tolong minta orang orangmu untuk membiarkanku keluar dari sini." Kekesalan Cassandrs sudah di ubun ubun. Dia bahkan tak menyematkan kata 'Tuan muda' dalam ucapannya.
"Wow... Wow... Calm down, Honey." Suara William dari seberang sana terdengar seperti tertawa kecil.
"Aku enggak bercanda. Tolong lepaskan aku William. Aku bukan tawananmu."
"Wah... Dua hari enggak ketemu, sepertinya kamu sudah sangat lancar menyebut namaku. Perkembangan yang pesat."
Cassandra memutar bola matanya malas. Dia bergerak untuk mengambil tas dan sepatu miliknya, bersiap untuk segera pergi dari sana.
"Mau kemana?" tanya William dari dalam panggilan tersebut.
"Kemana pun, asal enggak di sini," sahutnya ketus sambil menggunakan sepatu.
"Oh ya? Apa menurutmu hotel bukan tempat yang menyenangkan, Honey?"
Cassandra sudah tidak ingin berlama lama lagi, dia segera dari dalam kamar dan berjalan menuju pintu utama. "Dengan atau tanpa persetujuanmu, aku tetap akan pergi dari sini."
Tuut...
Cassandra memutus panggilan sepihak. Dia seperti sulit bernapas berada terlalu lama di sana.
Apa pun yang terjadi, Cassandra akan memiliki cara untuk pergi dari sana. Ya, apa pun itu.
Sebelum keluar dari pintu utama, Cassandra mengintip aktifitas dua orang laki laki yang berjaga di luar.
"Hais... Fokus banget lagi jaganya. Gimana ya caranya?" Mondar mandir mencari ide. "Terserahlah, pokoknya aku coba dulu," gumannya pelan.
Baru saja Cassandra membuka pintu, kedua orang suruhan William pun dengan cepat menghadang pintu.
"Minggir," kata Cassandra ketus.
"Maaf, Nona. Anda tidak di perbolehkan kemana pun oleh Tuan Muda." Salah seorang dari kedua laki laki itu bersuara.
Cassandra tak berniat berdebat, dia memilih untuk menerobos benteng pertahanan yang di bangun oleh William itu. Gagal urusan belakangan, yang penting dia sudah mencoba.
Dan secepat kilat, sebelah tangan laki laki itu mengangkat tubuh Cassandra dan kembali membawanya masuk ke dalam kamar lalu menguncinya, mengikuti perintah dari sang bos besar.
"Argh... Sialan kalian!" teriak Cassandra lalu menendang pintu kamarnya.
"Dasar William brengseeek! Brengseeek..." Kembali menjerit histeris. Melempar asal tas yang sebelumnya dia pegang.
Ini semua ulah Madam, jika saja perempuan tua itu tidak menjajakannya seperti barang jualan, mungkin saat ini Cassandra sedang sibuk mengurus skripsi, selangkah lagi akan menyandang gelar sarjana, dan bisa mengejar cita citanya untuk menjadi wanita karir yang sukses di usia mudanya.
Langkah kaki Cassandra membawanya keluar untuk berdiri di balkon, memandangi kota metropolitan yang di penuhi gedung gedung pencakar langit dari ketinggian.
Tatapan mata Cassandra beralih saat mendengar suara yang berasal dari kaca sebelah yang berjarak lebih kurang satu setengah meter dari tempatnya berada saat ini.
Sesaat Cassandra mengamati pergerakan laki laki yang sedang sibuk dengan kegiatannya itu. Tiba tiba saja, sebuah ide gila muncul di otaknya.
"Mas, mas..." panggilnya dengan suara yang nyaris menjerit.
Laki laki yang menggunakan seragam lengkap, helm pekerja, serta beberapa tali yang pengaman yang terkait di tubuhnya itu menoleh ke arah Cassandra. "Saya, mbak?" Menunjuk dirinya sendiri.
Cassandra menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Mau kerja sama enggak?" tanya Cassandra langsung.
"Maksudnya mbak?" Laki laki yang itu tampak tak mengerti dengan tawaran yang di berikan oleh Cassandra.
"Bantuin aku turun dari sini. Nanti aku kasih uang deh. Aku ikut kamu naik itu." Menunjuk sebuah benda berbentuk kotak yang bisa di naiki di dalamnya yang berfungsi seperti lift luar gedung untuk memudahkan para pekerja cleaning servis dalam menjalankan tugas beresikonya.
Laki laki itu semakin mengerutkan dahinya, heran. Tak mengerti dengan pola pikir yang sedang ada di dalam otak perempuan yang meminta bantuan padanya itu.
"Kalau mau turun ya lewat lift aja mbak, jangan lewat sini, bahaya ini."
"Aku di kurung dari luar. Argh, tolong lah. Sudah empat hari aku enggak makan." Mengelus perutnya, memasang wajah memelas, mendramatisir keadaan. Berharap jika laki laki itu berubah pikiran dan mau membantunya.
Satu laki laki lain yang baru saja turun dari lantai atas menggunakan tali pengamannya, tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Cassandra dan rekan kerjanya. "Serius mbak?" Membelalakkan matanya. "Perlu saya bantu untuk lapor polisi, mbak? Sekarang lagi rawan penculikan dan perdagangan manusia, mbak. Apa lagi mbaknya cantik banget," sambung laki laki itu dengan pemikirannya.
Cassandra nyaris saja tertawa melihat ekspresi wajah laki laki itu yang terlalu serius. Memang benar pemikiran laki laki itu, tapi sayangnya, di sini Cassandra bukanlah korban, melainkan tawanan yang meraup untung dari laki laki bodoh yang menghambur hamburkan uang demi kepuasan semata.
"Jadi, bisa kalian bantu aku?" Menatap bergantian kedua pekerja cleaning service itu. "Tolong lemparkan satu tali pengamannya biar aku bisa melompat ke sana."
Tak langsung mengambil keputusan, kedua laki laki itu tampak ragu dan menimbang kembali apa yang akan mereka lakukan pada Cassandra.
"Ambil ini mbak," kata salah satu laki laki itu melemparkan satu tali pengaman yang tersisa.
Mata Cassandra berbinar, segera dia mengangguk dan mengambil alih tali tersebut.
"Tahu kan cara pasangnya gimana? Seperti ini." Menunjukkan posisi tali pengaman yang telah terpasang di tubuhnya.
Sedikit kebingungan, tap akhirnya Cassandra mengerti. "Begini?" tanyanya setelah berhasil memasang dengan sempurna di tubuhnya.
Kedua laki laki itu mengangguk bersamaan, sambil mengacungkan jempol tangannya. "Sekarang, mbak berani enggak naik ke atas pagar balkonnya?"
Mata Cassandra mulai mengamati sekelilingnya, mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk memanjat pagar balkon. Dan akhirnya meja kecil yang ada di sudut yang dia pilih untuk menjadi jembatannya kabur.
"Ok, aku naik ya ke sini," kata Cassandra sedikit ragu dan gugup.
"Pelan aja mbak, jangan gugup dan fokus."
Cassandra menganggukkan kepalanya samar, mengambil napas dalam sebelum akhirnya menaiki meja yang telah dia ambil.
Sebatas itu, masih aman terkendali. Tapi, di luar dugaan, sesuatu terjadi saat sebelah kaki Cassandra akan menginjak pagar balkon, "aaaaa..." teriaknya histeris.