"Pelan aja mbak, jangan gugup dan fokus."
Cassandra menganggukkan kepalanya samar, mengambil napas dalam sebelum akhirnya menaiki meja yang telah dia ambil.
Sebatas itu, masih aman terkendali. Tapi, di luar dugaan, sesuatu terjadi saat sebelah kaki Cassandra akan menginjak pagar balkon, "aaaaa..." teriaknya histeris.
Kedua laki laki itu sontak terkejut dan membuat mereka panik.
"Dapat..." kata seorang laki laki yang berhasil menurunkan tubuh Cassandra dari atas sana.
Cassandra menoleh ke belakang, mendapati William tengah memeluk tubuhnya dari belakang. "Lepas!" katanya dengan tatapan sinis.
"Mau kabur, Honey? Heum?" Mencium tengkuk Cassandra. Membuat Cassandra membuat wajahnya dengan kasar.
"Mas, mas... Cepat tarik talinya." Memberi kode pada kedua laki laki yang masih setia dengan wajah kebingungannya.
"Oh, jadi kalian berdua yang akan membantunya kabur?" William tersenyum sarkas.
Salah satu laki laki itu tampak curiga dengan William, dia pun langsung menunjukkan ekspresi wajah yang tidak suka. "Iya, karena mbaknya cerita kalau dia di sekap di dalam kamar selama empat hari, dan dia kelaparan. Sebagai manusia yang punya nurani, mana mungkin kami membiarkannya."
"Di sekap? Kelaparan?" Ulangi William tak percaya dengan apa yang telah Cassandra ceritakan pada kedua laki laki asing itu.
"Iya," sahut keduanya bersamaan.
Hahaha... William akhirnya tertawa lepas. Dia membalikkan tubuh Cassandra hingga keduanya beradu tatap. "Kamu bilang seperti itu?" Menaikkan sudut alisnya. Dan Cassandra tidak menjawab, dia hanya memutar matanya malas.
"Kalian tahu siapa aku?" William bertanya pada kedua laki laki itu. Tapi keduanya juga tak memberikan jawaban seperti yang di lakukan Cassandra sebelumnya. "Aku suaminya."
Deg...
Tiba tiba saja jantung Cassandra berdetak hebat. Bukan karena bahagia, melainkan sebaliknya. Jika sudah seperti ini, maka kecil kemungkinan kedua laki laki itu akan menolongnya. Dan usahanya akan gagal total.
"Suaminya? Tapi ... Mbaknya tadi bilang ka-"
"Iya, aku memang sengaja mengurung istriku di kamar. Karena dia selalu pergi tanpa izin dan pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Istriku ini pemabuk berat," kata William sambil menarik pinggang Cassandra hingga menempel pada tubuhnya. "Aku takut terjadi sesuatu kandungan istriku, makanya aku kurung dia."
Semakin di luar dugaan Cassandra, cerita karangan William mampu membuatnya membelalakkan mata, dan sepertinya berhasil menghipnotis kedua laki laki itu menjadi percaya dengan omong kosong William.
"Omong kosong. Kalian jangan percaya, dia bukan suami aku dan aku enggak hamil." Menatap tajam William.
"Oh, pantas aja mbaknya tadi mengelus perutnya. Jadi, bawaan si baby dalam perut ya," sahut salah satu laki laki itu. "Kalau gitu, tolong lepaskan tali pengamannya, mbak. Kami masih harus bekerja. Mbaknya jangan nekat lagi."
"Kelewatan kamu, William." Memukul dadaa William cukup kuat. Tapi, tak berarti apa apa bagi tubuh William yang sudah sangat terlatih itu.
William hanya tersenyum tipis, lalu tangannya bergerak untuk membuka tali pengaman yang terpasang rapi di tubuh Cassandra.
Begitu talu terlepas, Cassandra segera melebarkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar dengan wajah penuh kekesalan.
'Sialan! Bisa bisanya dia buat cerita murahan seperti itu,' batin Cassandra.
William berjalan mendekati Cassandra yang duduk gusar di tepi ranjang. Sambil terkekeh membayangkan kejadian yang terjadi beberapa menit lalu. "Masih ingin berpikir untuk kabur, Honey?" Berdiri tepat di hadapan Cassandra sambil melipat kedua tangannya di depan dadaa.
"Keluarkan aku dari tempat ini." Tidak ada yang Cassandra inginkan selain kebebasan. Dia merasa seperti burung langka yang berada di sangkar emas. Kehilangan kebebasan dan jati diri.
"Ok," sahut William singkat.
Cassandra menatap dalam William. Dia mencoba menerka nerka dan mencari tahu rencana apa lagi yang akan di lancarkan William padanya.
"Ayo." Mengulurkan sebelah tangannya. "Sebelum aku berubah pikiran."
Sambil berdecak kesal, Cassandra berdiri dari duduknya, mengabaikan tangan William yang masih terjulur di hadapannya.
'Dasar keras kepala,' batin William.
***
Dengan dua orang pengawal serta satu sekretaris pribadi di belakangnya, William dan Cassandra saat ini sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan terbesar yang ada di Ibukota.
Cassandra benar benar seperti putri dongeng yang tak menemukan kebahagiaan sesungguhnya.
Tapi, Cassandra tak ingin melewatkan kesempatan itu. Seperti yang William katakan, dia akan berbelanja apa pun yang dia mau dan menguras habis pundi rupiah laki laki yang tak terlalu Cassandra kenal itu.
Saat sedang asik memilih beberapa tas dan kacamata, dengan sengaja tubuh Casandra di senggol dari samping. Membuat kacamata yang baru saja ingin dia coba, terjatuh ke lantai dengan keras, membuat salah satu ujung bingkainya pecah.
"Astaga," katanya terkejut.
"Oops... Sorry," kata seorang perempuan yang Cassandra kenali.
Kedua tangan Cassandra mengepal kuat, dia bahkan tak peduli jika ujung kukunya menancap pada kulit telapaknya. "Kamu sengaja?" Menaikkan nada suaranya sambil menatap tak suka.
"Kalau iya, kenapa?" sahut perempuan itu dengan santai. "Enggak sanggup untuk menggantinya?" sambungnya mencemooh Cassandra.
"Cih... Aku bahkan bisa membelinya sepuluh kali lipat. Kamu lupa siapa aku, Reyna? Membeli dirimu aja aku mampu." Tersenyum miring. Ingatlah, Cassandra tidak akan pernah kalah jika berduel sekali pun dengan perempuan di hadapannya saat ini. Mantan teman yang telah menjerumuskannya ke lembah hitam yang melenyapkan semua mimpi Cassandra.
"Kurang ajar!" Menghentakkan kakinya kesal. Dia sudah bersiap untuk melakukan sesuatu pada Cassandra, tapi suara seseorang yang memanggil namanya dari arah belakang, membuat Reyna mengurungkan niatnya. Dan memasang wajah memelas yang menjijikkan.
"Reyna, sudah selesai?" Seorang laki laki bertubuh tak terlalu tinggi, memiliki bulu bulu tak terlalu tebal di sekitar wajahnya, serta perut yang sedikit maju, berdiri di samping Reyna.
Jika menurut pandangan mata Cassandra, laki laki itu memiliki usia hampir memasuki kepala lima. Ya, wajahnya tidak terlalu buruk. Tapi, tetap saja menurut Cassandra menjijikkan. 'Ternyata, bokingan om om. Cih... Beginilah kalau terlalu murahan,' cibir Cassandra.
"Daddy, dia menyenggolku dan menuduhku menjatuhkan kacamata itu." Memeluk lengan laki laki tua itu sambil menunjuk ke arah kacamata yang masih tergeletak di lantai.
"Hei, jalaang! Jangan membalikkan fakta. Kamu yang menyenggolku." Cassandra menggeram. Ingin sekali dia menghajar mulut sialan Reyna.
Sebuah tangan sudah melayang di udara, bersiap mendarat di wajah Cassandra. Tapi, dengan cepat di tepis oleh William yang baru saja tiba di sana.
"Jangan berani menyentuh sedikit pun wajah perempuanku," kata William dengan suara beratnya.
Reyna dan laki laki tua itu terkejut, tapi tidak dengan Cassandra. Dia sudah melihat sebelumnya jika William bergerak ke arahnya.
"Siapa kamu?" tanya Reyna sinis, sebenarnya dia begitu mengagumi ketampanan yang di miliki William. Bahkan, dia sudah berniat untuk mencari tahu dan menggoda William.