Langkah kaki tak beraturan memenuhi sepanjang koridor rumah sakit. Dengan perasaan panik dan tak karuan, William berlarian untuk menggapai satu ruangan khusus.
Sejak mengetahui kabar jika sang mama tercinta berada di rumah sakit, William langsung menerobos dinginnya malam menggunakan motor gede miliknya. Rasa kantuk yang sebelumnya menggantung berat di matanya, tiba tiba menghilang begitu saja. Tergantikan dengan kekhawatiran yang teramat besar.
Pintu kamar sebuah ruangan VVIP terbuka secara kasar dari luar. Napas terengah engah membuat langkah William terhenti sejenak. Matanya basah kala melihat seorang perempuan berusia empat puluh tujuh tahun tengah berbaring lemah dengan selang infus yang tertancap di tangannya, dan alat bantu pernapasan yang sedang berada di daerah hidung dan mulutnya.
"Ku kira nama mama sudah hilang tergantikan oleh perempuan perempuan najis itu," cibir seorang perempuan yang baru selesai memeriksa jalannya cairan infus.
"Willona..." Yang ini suara pria paruh baya yang masih tampak begitu tampan yang berdiri berhadapan dengan perempuan bernama Willona.
Tidak seperti biasanya yang akan membalas kata kata pedas Willona, William memilih untuk memfokuskan tatapannya pada perempuan di atas ranjang pesakitan itu. Sekuat tenaga dia menahan air matanya agar tak jatuh, dan berjalan mendekat.
"Sampai kapan mommy terus seperti ini, Dad?" tanyanya dengan suara serak.
"Sampai kamu berhenti bercinta dengan perempuan perempuan itu," sahut Willona sambil menatap tajam William.
"Stop, Lona! Aku muak dengan suaramu itu." Kali ini William tak terima di cibir terus terusan.
"Sampai terjadi sesuatu dengan Mommy, kamu akan menyesal!" Lalu pergi meninggalkan ruangan berfasilitas lengkap itu.
Sementara laki laki yang di panggil Daddy oleh William hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil memijit pelan pelipisnya.
"Dari mana kamu dua minggu enggak pulang?" Suara laki laki yang masih menggunakan jas putih kebesarannya dengan name tag yang bertuliskan 'dr. Adrian, Sp.BS' membuyarkan lamunan William.
"Daddy tahu lah sibuknya aku gimana. Mengurus perusahaan yang di wariskan Mommy terkadang buat aku lelah."
"Willona juga sibuk, sama sepertimu, Mommy dan Daddy juga sibuk saat seusiamu. Tapi kami masih punya waktu untuk keluarga, terutama orang tua." Lalu duduk di atas kursi yang sebelumnya sudah di siapkan Willona untuknya.
William memutar matanya, dia pusing jika laki laki yang biasanya terlihat dingin, mulai berbicara panjang lebar. "Aku ini laki laki, Dad. Ja-"
"Kamu pikir Daddy apa? Hah?" Kesabaran Adrian tampaknya mulai menipis. Mengingat sikap putranya yang menganggap enteng setiap permasalahan. "Kenapa kamu jadi seperti ini, Liam? Suka main perempuan dan gemar dengan dunia malam. Kamu itu harapan Daddy dan Mommy."
"Salahkan Om Veldian, dia yang mewarisi ke-playboy-an itu padaku." Terkekeh pelan. "Apa mungkin aku lebih pantas menjadi anaknya dari pada Ario?"
"Kelewatan kamu. Bawa bawa Om dan adik sepupumu segala."
William tak menyahut, dia lebih memilih duduk di atas ranjang sambil menggenggam tangan ibunda tercinta.
"Apa penyakit lama Mommy kambuh lagi?"
"Hasil tes darahnya baru akan keluar besok pagi." Adrian lalu membuka jas kebesarannya, dan menyampirkannya di kursi yang dia duduki.
"Masih kerja jam segini, Dad?" Melirik arloji di pergelangan tangannya. "Hampir jam tiga pagi," sambungnya.
"Ada pasien yang harus Daddy operasi mendadak semalam, sebelum Mommy kamu jatuh sakit."
"Istirahatlah di sana." Mengarahkan wajahnya pada sofa bed yang berada tak jauh dari tempat mereka berbincang saat ini. "Biar aku yang jaga Mommy."
Adrian menggelengkan kepalanya. "Daddy harus orang pertama yang Mommy-mu lihat setelah dia bangun dari tidurnya."
William sudah tak heran lagi. Seperti biasanya, kedua orang tuanya itu memang sulit untuk terpisahkan, meski pun hanya sesaat. Di usia mereka yang tak lagi muda, William tetap bisa melihat kebesaran cinta yang keduanya miliki satu sama lain. Itu semua karena, kisah cinta mereka di masa muda yang sulit dan rumit untuk di jalani. Tapi, keduanya berhasil mereka dengan sempurna, dan membuat keduanya tak akan pernah bisa terpisahkan.
"Dasar bucinnya Mommy," cibir William dengan suara yang pelan.
Sayangnya, Adrian mendengar dengan jelas apa yang di katakan oleh putranya itu. Jangan lupakan jika laki laki berusia lima puluh tiga tahun itu memiliki pendengaran yang tajam, bahkan Sherin--istrinya saja menjulukinya 'telinga gajah' sampai saat ini.
"Daddy memang bucinnya Mommy." Membelai lembut kepala Sherin. "Hanya dia satu satunya perempuan yang Daddy cintai setelah Oma kalian."
William memperhatikan Adrian. Di lihatnya baik baik cara sang Daddy memperlakukan perempuan yang sedang tak sadarkan diri itu. Tidak ada kebohongan di mata Adrian yang bisa William tangkap. Semuanya terlihat jujur dan tulus. Ya, itu lah yang William kagumi dari sosok pria sejuta kharisma yang ada di hadapannya itu. Kesuksesan dan harta yang melimpah tak mengurangi rasa cintanya pada sang Mommy. Berbeda dengan dirinya yang sering menyalah gunakan kekayaan yang dia miliki untuk mendapatkan kepuasan tersendiri dari para perempuan.
"Dan kamu harus berubah, William. Berhentilah bermain perempuan hanya untuk kepuasanmu. Carilah satu perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta, nikahi dia. Dan kamu bisa memilikinya selamanya. Cukup hanya satu perempuan saja, Liam. Jangan rusak hidup perempuan lain dengan nafsumu itu."
"Dad, mereka sudah merusaknya sendiri, dan aku hanya menikmatinya," sahutnya santai dan tenang.
Gelengan kepala Adrian semakin kuat, entah harus seperti apa lagi dia memperingatkan William. "Jangan sampai karena perbuatanmu, Mommy dan Willona akan menerima karmanya." Suara Adrian yang berat mulai terdengar serius. "Berhentilah sebelum kamu menyesal. Dalam waktu satu tahun ini kamu belum punya perempuan untuk di nikahi, Daddy sendiri yang akan membawakan perempuan untukmu."
Ancaman dari Adrian membuat mata William terbelalak. Bagaimana mungkin dalam satu tahun dia bisa melakukannya? Ayolah... Mencintai seseorang itu tidak semudah memakai kolor. Lagi pula, belum ada perempuan yang membuatnya jatuh cinta. Hanya saja, dia penasaran pada satu perempuan yang sejak enam bulan lalu berhasil menyelinap ke dalam pikirannya.
"Dad, jangan buat kisah cintaku serumit kisah cinta Daddy dan Mommy yang berawal dari perjodohan. Bisa saja pernikahan itu berujung perceraian nantinya. Haiiis... Aku enggak tertarik."
Jangan heran kalau keberanian berbicara William pada Adrian sangat besar. Baik William dan Willilona sejak kecil memang di ajarkan untuk terbuka dalam segala hal pada kedua orang tuanya, termasuk mengeluarkan pendapatnya. Jika sudah mengobrol seperti ini, mereka lebih cocok seperti sepasang sahabat. Tapi, di balik itu semua, William sangat menghormati Adrian dan Sherin sebagai orang tua. Tak sekali pun dia membentak atau menyakiti hati keduanya. Dia benar benar tumbuh menjadi laki laki yang begitu penyayang pada keluarga.
"Dasar anak ini, bi-" Adrian terpaksa menghentikan ucapannya saat suara lain menyelanya.
"William..."
Yang di panggil menoleh, tangannya yang sejak tadi menggenggam tangan Sherin pun mendapat respon. "Mommy sudah sadar?" kata William sambil turun dari atas ranjang.
Adrian segera membuka alat bantu pernapasan yang terpasang di wajah Sherin, karena dia tahu, jika sang istri sangat tidak suka memakainya. "Dari mana kamu, nak? Mommy rindu."
Punggung tangan Sherin yang tak tersentuh oleh apa pun di ciium William dengan hangat. Lalu dia menjatuhkan kembali ciiuman di dahi dan pipi ibunda tercintanya. "Maaf, Mom... Akhir akhir ini aku sering lembur untuk menuntaskan dua proyek besar yang waktunya hanya tinggal enam bulan."
"Lembur di atas kasur empuk?" tanya Sherin dengan mata sendunya yang memicing.
William terkekeh, membuat kedua bahunya berguncang. "Mama menyinggungku? Biasalah... anak muda, ma," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Bukan rahasia keluarga lagi jika putra tercintanya itu gemar gonta ganti pasangan untuk bercinta. Satu tahun terakhir gembar gembor kabar jika pewaris dan pengusaha muda yang namanya sudah mulai di perhitungkan sejak dua tahun terakhir itu keluar masuk kamar hotel dengan perempuan berbeda, menyambar di telinga Sherin bagaikan petir di siang bolong.
Sejak duduk di bangku kuliah, jiwa ke-playboy-an William memang kental terasa. Tapi, setelah menyandang gelar CEO muda membuat William sedikit frustasi dan memilih perempuan sebagai palampiasannya.
"Hanya seminggu dua kali, Mom..." sambungnya dengan mengulas senyum tanpa dosa.
Tangan lemah Sherin sudah bersiap untuk memukul William, tapi segera di halau oleh putranya itu. "Eits... Tangan Mommy masih aku yang mengendalikannya loh..." Kembali menciium punggung tangan Sherin.
"Jangan pergi lagi dari rumah. Mommy bisa gila mikirin kamu terus."
"Mom, aku masih di Indonesia, bukan di luar negeri. Lagian Willona tahu kok aku dimana. Mommy enggak usah khawatir, aku ini pria tangguh, Mom." Menunjukkan otot lengannya yang tertutup kemeja putih yang dia kenakan.
"Pokoknya mulai besok Mommy mau kamu tetap pulang ke rumah. Titik. Atau jangan pernah lagi temui Mommy dalam keadaan apa pun."
"Iya iya... Aku kalah."
Wajah pucat Sherin mengurai senyum, ternyata ancamannya masih sangat berguna untuk mengembalikan kembali putra tercintanya ke rumah.
"Kapan kamu kenalin Mommy dan Daddy sama calon istri kamu?" Pertanyaan Sherin sukses membuat William terbahak bahak. "Malah ketawa nih anak," ucap Sherin dengan suara yang pelan.
"Calon apa, Mom? Aku belum siap untuk menikah. Kalau kawin sih sudah."