Sudah empat hari yang lalu Sherin di perbolehkan pulang dari rumah sakit dan hanya butuh melakukan rawat jalan saja. Selama empat hari ini juga William rutin pulang ke rumah.
Waktu yang cukup lama baginya tak melampiaskan hasrat terpendamnya. Beruntung suasana rumah yang tenang membuatnya melupakan sejenak tentang perempuan perempuan malam pemuas nafsunya itu.
"Loh, tumben pulang. Sudah waras ya?" seloroh Willona yang baru saja masuk ke dalam ruang makan keluarga di kediaman Adrian.
Tidak seperti biasanya, Willona sudah tiga hari ini pulang selalu sore. Jika ada panggilan mendadak dari rumah sakit dia baru akan kembali bertugas.
Bay the way, perkenalkan, ini Willona. Nama panjangnya Willona Delia Adrin. Biasanya di panggil Lona dengan orang orang terdekatnya. Perempuan berparas cantik ini memiliki tatapan setajam mata pedang ini berusia dua puluh enam tahun. Memiliki kulit putih bersih nan mulus, tinggi 162 cm, berambut hitam lurus, bersikap sedingin salju pada laki laki, dan yang paling penting dia lahir kedunia lima menit lebih awal dari William.
Ya, William dan Willona adalah saudara kembar. Mereka sejak kecil tak pernah terpisahkan, dan memiliki ikatan batin yang kuat. Oleh karena itu, William dan Willona selalu terikat satu sama lain. Apa pun yang di kerjakan oleh William, selalu saja tak pernah luput dari pantauan Willona, begitu pula sebaliknya. Makanya, Willona tahu betul apa yang di lakukan oleh William selama dua minggu tak berada di rumah. Meski pun tidak mendetail, tapi firasatnya tak pernah salah. Dan dia berusaha untuk merubah kebiasaan buruk saudara kembarnya itu ke arah yang lebih baik. Ya, setidaknya berhenti bermain perempuan.
"Lah, kan kamu juga yang paksa aku pulang. Mana bisa kamu jauh jauh dari aku. Yang ada langsung demam," sahut William sambil menggedikkan kedua bahunya.
"Itu dulu. Sekarang aku sudah dewasa." Mengambil alih udang goreng dari dalam piring William lalu memakannya tanpa rasa berdosa.
"Hei, itu udang milikku. Mommy buatkan khusus untuk aku."
"Memangnya cuma kamu yang mau? Aku juga lah."
William sudah bersiap ingin menjambak rambut Willona, tapi terhalang oleh deheman suara Adrian yang sejak tadi menggelengkan kepalanya. Bingung melihat kedua kakak beradik itu yang masih bertingkah seperti anak kecil.
"Bisa kita makan dengan tenang?" Pertanyaan Adrian membuat keduanya menggangguk, bersamaan dengan tangan mereka yang kembali ke posisi masing masing.
"Mommy buatkan banyak untuk kalian. Jadi enggak perlu rebutan. Nanti minta tolong sama Bik Rika untuk mengambilnya lagi." Akhirnya Sherin buka suara. Dia memang sengaja meletakkan udang goreng krispi itu sedikit. Karena dia ingin melihat adegan saling rebut yang membuat keramaian di rumah. Dan itu cukup mengobati kerinduannya selama dua minggu di tinggal oleh putra bungsunya.
"Yess..." kata William bersemangat. Sementara Willona hanya tersenyum sumringah tanpa mengeluarkan suara.
Setelah selesai menyantap hidangan makan malam, Sherin kembali membuka suara. Kali ini sasarannya Willona, si putri sulungnya yang lebih banyak mewarisi sifat suami tercintanya itu.
"Mommy dengar, kamu berhubungan serius dengan rekan kerja kamu ya, Lona?"
Willona yang baru saja menuangkan air dingin ke dalam gelas pun menoleh dengan dahi berkerut. "Kata siapa?"
"Bener apa enggak?" Sherin menjawab dengan pertanyaan lagi.
"Ya enggak lah, Mom. Memangnya siapa?" Lalu mengarahkan gelas kaca panjang pada bibirnya, meneguknya secara perlahan.
Sherin memutar bola matanya, seolah sedang ada yang dia cari dalam ingatannya. "Oh... Geraldy. Ya, namanya Geraldy."
Byuur...
Air minum yang masih berada dalam mulut Willona tiba tiba saja menyembur ke luar, mengenai wajah William yang sedang asik mengetik sesuatu pada layar ponselnya.
"Lonaaa..." geram William menatap Willona dengan tatapan tak suka. "Apa apaan ini?"
"Sorry sorry... Aku enggak sengaja." Segera mengambil tissue dan memberinya pada William.
Entah kenapa setelah membaca pesan singkat yang di kirim oleh orang kepercayaannya, mood William berubah drastis. Dia berdiri dari duduknya dengan tergesa, lalu menghampiri Sherin. "Mom, aku harus pergi malam ini. Ada urusan mendadak."
"Tapi pulang kan?" tanya Sherin tak ingin menghalangi.
"Iya, aku janji selarut apa pun aku tetap akan pulang."
Setelah mendapat anggukan kepala dari Sherin, William segera menciium kedua pipi dan dahi Sherin. Tak lupa pula berpamitan pada Adrian.
"Urusan perempuan malam lagi?" cibir Willona dengan wajah malasnya.
William tidak menyahut, hanya melemparkan tatapan maut pada Willona, dan segera pergi dari sana.
"Dimana dia Joe?" tanya William setelah tubuhnya berhasil masuk ke dalam mobil mewah berwarna hitam miliknya, yang akan di kendarai oleh sopir pribadi, sekretaris sekaligus kaki tangannya yang bernama Joe.
"Masih di klub biasa yang menjadi tempat pertemuannya dengan wanita tua itu, Tuan muda," sahut Joe sambil fokus pada jalanan.
William mengeluarkan kembali ponsel miliknya dari dalam saku celananya. Lalu mencari nama seseorang dalam kontak, dan langsung menghubunginya.
"Beri bayaran lebih tinggi dari siapa pun, pastikan hanya aku yang bisa membawanya menjauh dari kota ini. Dalam waktu lima belas menit, aku mau semuanya beres dan bawa dia masuk ke dalam mobil segera," titah William tak terbantahkan. "Sewa dia selama satu minggu penuh untukku."
Tak ingin menunggu jawaban dari seberang sana, William langsung memutus panggilan begitu saja.
"Lebih cepat Joe," titahnya lagi pada Joe.
"Baik, Tuan muda." Joe menekan pedal gas lebih dalam, memacu dengan kecepatan di atas rata rata.
'Sial! Belum sampai satu minggu aku free, nyaris kehilangan jejaknya lagi.'
Tak butuh waktu lama bagi Joe mengendarai mobil hingga terparkir rapi di parkiran khusus yang ada di klub malam yang menjadi tempat tujuan mereka.
Dan di saat yang bersamaan, seorang laki laki berkepala plontos terlihat keluar dari dalam pintu utama klub. Di depannya sedang berjalan seorang perempuan bertubuh begitu sexi yang terlihat mengikuti arahan dari pria di belakangnya.
"Dapat juga," guman William yang melihat dengan jelas dari dalam mobil. Jangan lupakan senyum yang merekah di bibirnya.
"Sudah pesan Hotelnya?" tanya William tanpa mengalihkan pandangannya pada perempuan yang kini akan memasuki mobil yang berhadapan dengannya.
"Sudah, Tuan muda," sahut Joe. "Lokasi juga sudah saya kirimkan ke mereka."
"Bagus. Pastikan kita sampai lebih dulu."
Joe menganggukkan kepalanya mengerti, lalu memacu kembali kemudi yang berada dalam kendalinya.
***
Tak seperti biasanya, malam ini Cassandra mengenakan dress mini yang super seksi. Sesuai dengan permintaan pelanggan sebelumnya yang akan mengajaknya berlibur ke luar negeri dan menemaninya untuk hadir dalam suatu acara.
Sebenarnya, Cassandra sangat berat untuk menerima tawaran tersebut. Walau pun jumlah nominal yang tertera untuknya dalam tiga hari begitu fantastis. Di tambah liburan gratis yang di berikan untuknya, lengkap dengan segala fasilitas mewahnya.
Tapi, dia merasa tertolong dengan hadirnya seorang laki laki di saat yang menyelamatkannya dalam situasi genting itu. Laki laki yang bahkan berani membayarnya dua kali lipat pada Madam. Dan jelas membuatnya luar biasa bersemangat. Sayang sekali, begitu kakinya sudah masuk ke dalam mobil, dia baru menyadari jika dia telah di bayar untuk waktu satu minggu penuh. Dengan kata lain dia tidak akan bisa mengendalikan pelanggaannya itu dan sangat sulit untuk menjalankan misinya seperti biasanya.
Mobil yang di tumpangi Cassandra sudah tiba di sebuah hotel bintang lima yang belum pernah sekali pun dia memasukinya untuk memenuhi panggilan dari pria yang akan dia layani.
"Mari, ikuti saya," kata laki laki yang sebelumnya mengendarai mobil yang dia tumpangi itu.
Cassandra hanya mengangguk. Dia tahu jika bukan laki laki itu yang akan dia layani.
Sepanjang menuju kamar yang akan menjadi tempatnya bermalam, Cassandra merasakan detak jantungnya yang memompa berkali kali lipat lebih cepat dari biasanya. Dia gugup, tanpa alasan. Padahal, biasanya dia tak pernah seperti ini. Siapa pun pelanggaannya, berapa lama pun durasi yang akan dia lewati, Cassandra akan tetap tenang.
'Oh Tuhan... Kenapa ini? Sejak kapan aku segugup ini? Ayolah, Cassie... Tenang. Ini bukan yang pertama kalinya. Kamu pasti bisa melewatinya. Pasti ada banyak cara. Kamu hanya perlu tenang, tenang...' Cassandra menenangkan dirinya sendiri.
Tampak seorang laki laki lainnya yang juga berseragam serba hitam berdiri di depan pintu yang tak jauh dari posisnya saat ini.
Matanya memicing, mengingat ingat sesuatu yang melintas di otaknya. 'Bukannya dia ... Oh, iya benar, dia kan pernah bertemu satu minggu yang lalu di Hotel F.'
"Silahkan masuk, Nona. Anda telah di tunggu oleh Tuan muda di dalam," kata laki laki yang berdiri di depan pintu yang tak lain adalan Joe, kaki tangan William.
"Tuan muda?" Cassandra membuka kaca mata hitamnya. "Orang yang sama di Hotel F satu minggu yang lalu?" tanyanya penasaran.
Joe hanya tersenyum sarkas, lalu merentangkan sebelah tangannya untuk mempersilahkan Cassandra masuk ke dalam. "Silahkan, Nona."
Dengan ekspresi yang sulit di tebak, Cassandra masuk ke dalam kamar sambil melepaskan ikatan rambutnya, menutupi punggung mulusnya yang terekspos jelas di sana.
"Selamat malam, Tuan muda," sapa Cassandra saat langsung mengenali wajah William yang sedang menggoyangkan gelas kaca berisi minuman beralkohol di dalamnya.
"Masih ingat denganku, Honey?" tanya William lalu meneguk minumannya.
"Cassandra. Cukup panggil Cassandra. Karena kita enggak punya hubungan apa pun selain penjual dan pembeli." Suara Cassandra sangat tegas, dia tak sedikit pun merasa takut atau tertindas meski pun posisinya sebagai penjual saat ini.
Bahu William berguncang, namun tak mengeluarkan suara tawa. Hanya sebuah senyum dan gelengan kepala yang terlihat.
"Jadi, kamu menganggap dirimu sendiri sebagai penjual, Honey?" Seakan tak memperdulikan keberatan yang di ajukan Cassandra atas panggilan khusus yang dia sebutkan, William tetap saja menyematkan kata 'honey' di dalamnya.
"Ya, begitu lah adanya," sahut Cassandra santi dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadaa. Semakin menonjolkan kesan seksi di dalamnya.
William meneguk lagi minuman tersebut hingga tandas. Lalu meletakkan gelas ke atas meja. Dia berdiri, berjalan mendekati Cassandra dengan ekspresi yang seolah menantangnya.
Langkah William berhenti tepat di belakang Cassandra. Sebelah tangannya bergerak menarik pelan seluruh rambut Cassandra ke belakang, sebelah tangannya lagi sudah berhasil mengambil jepit rambut (jedai) berbentuk bulat yang di hiasi permata permata kecil di atasnya. Lalu, dengan satu kali putaran, William sudah berhasil menggulung rambut Cassandra ke atas dan menjepitnya.
Wajah William mendekat ketelinga Cassandra, sambil menggerakkan tangannya di punggung mulus Cassandra. "Kalau begitu, puaskan aku sebagai pembelimu." Menggigit telings Cassandra dengan sensual. "Bukankah pembeli adalah Raja? Heum?" Beralih menciium leher jenjang Cassandra yang di lingkari sebuah kalung.
Demi apa pun, bulu roma Cassandra berdiri hebat. Aroma Champagne menguar jelas di indera penciiuman Cassandra. Nyaris Cassandra memejamkan matanya. Beruntung kewarasannya segera kembali.
"Waktu kita masih banyak, Tuan muda. Jangan tergesa," katanya berbalik badan sambil mendorong pelan d**a William hingga menjauh darinya.
Cassandra tersenyum sarkas, berniat ingin pergi dari hadapan William, sayangnya kalah cepat dengan tangan William yang sudah menarik tubuh indahnya ke dalam pelukannya.
"Kiss me," kata William dari jarak yang hanya tinggal beberapa centi saja. Kedua tangannya sudah mengunci pergerakan Cassandra.
'Siial!' umpat Cassandra dalam hati. 'Kenapa harus dia lagi? Sepertinya dia bukan laki laki yang mudah di bohongi. Aku harus berhati hati.'
Jari telunjuk Cassandra menempel di bibir William. "Biarkan aku bersiap dulu, Tuan muda." Mengedipkan sebelah matanya.
Tak ingin menunggu lebih lama lagi, William segera menyingkirkan jari telunjuk itu, lalu menciium bibir Cassandra tanpa aba aba. Membuat tubuh Cassandra bergerak kebelakang dan tangannya yang ikut melingkar di punggung bertubuh atletis itu.
Dan bodohnya lagi, Cassandra menikmati setiap permainan liidah William yang begitu lihai. "Malam ini waktuku hanya sedikit, Honey. Ayolah, puaskan aku segera." Mulai bergerak membuka resleting belakang dress Cassandra dan bibirnya bergerilya di leher jenjang Cassandra.
"T-tuan muda. Aku ..." Menggigit kecil bibir bawahnya. Tubuh Cassandra terasa membeku di tempat.