Cassandra berbaring di kasur dengan ritme napas yang tak teratur. Bibirnya baru saja terbebas dari lumatan liar William. Pakaiannya sudah setengah terbuka, menyisakan bra yang menutupi bagian terpenting di tubuh atasnya.
Di sebelahnya, dengan posisi yang terlungkup, William baru saja tak sadarkan diri dan tertidur, setelah Cassandra berhasil memasukkan kembali obat tidur di dalam gelas minum William. Sedikit kesulitan, Cassandra akhirnya berhasil mengendalikan William dan terbebas dari terkaman mematikan singa lapar itu.
"Ya Tuhan... Hampir aja," guman Cassandra sambil meraup wajahnya yang bergetar.
Jujur saja, meski pun bekerja sebagai perempuan malam selama enam bulan ini, tak sekalipun dia berhubungan badan dengan para pelaanggannya. Hanya sebatas menyentuh tubuh bagian atasnya saja. Itu pun membuat Cassandra sudah mulai muak. Jadi, wajar saja jika kali ini Cassandra mengalami kecemasan yang berlebih hingga tangannya bergetar. Jika tak cepat mencari cara, malam ini akan menjadi malam terkutuk untuk Cassandra setelah malam di saat keperawanannya terenggut paksa.
Setelah mengontrol diri, Cassandra memasang kembali pakaiannya. Lalu berjalan untuk mengambil air putih. Rasanya, kerongkongannya begitu kering dan sakit.
Untuk menghilangkan kecemasannya yang berlebih, Cassandra memutuskan untuk menghubungi orang tuanya yang tinggal di luar kota.
Baru saja penggilan tersambung, air mata Cassandra sudah mengalir deras. Tubuhnya meringkuk di sudut kamar berukuran besar itu.
"Ma..." katanya terisak.
"Cassie, kamu kenapa, nak?" Suara dari dalam ponsel yang terdengar jelas di telinganya, membuat tangis Cassandra semakin menjadi jadi.
"Ca-cassie rindu." Daada Cassie turun naik tak beraturan. Kepalanya tertunduk bertumpu pada kedua lututnya. Pun dengan bahunya yang berguncang hebat.
"Sayang, mama juga rindu. Apa harus mama besok berangkat ke Jakarta?"
"Enggak usah, ma. Kasihan nenek enggak ada yang jaga nanti. Maaf kalau Cassie buat mama kepikiran. Mama istirahat ya, salam sama nenek," katanya berusaha menghentikan air mata yang terlanjur berderai.
"Yakin? Mama bisa minta tolong sama tante kamu besok."
"Iya, ma. Cassie enggak apa apa kok di sini."
"Ya sudah, kamu istirahat juga ya, sayang. Kuliahnya yang baik, biar bisa cepat lulus dan raih mimpi kamu. Ok?" Nada bicara sang mama yang bersemangat, justru menjadi penyesalan terdalam bagi Cassandra karena apa yang di harapkan oleh orang tuanya tak akan pernah terjadi.
Cassandra bahkan tak mampu untuk menjawab, hanya deheman yang terdengar.
"Good night, baby."
"Night. I love you, ma."
"Me too."
Begitu panggilan telpon terputus, isak tangis Cassandra semakin pecah. Air matanya tumpah ruah membasahi wajah cantiknya.
Cassandra menyesal atas segala hal, terutama telah membohongi sang mama tercinta. Tidak terbayangkan, apa jadinya jika Sofie--mama Cassandra--mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada putri semata wayangnya itu. Kuliahnya yang terputus, hancurnya harga diri dia sebagai seorang perempuan, sampai pekerjaan hina yang tengah dia geluti saat ini. Semua itu akan menjadi hadiah terpahit untuk Sofie.
"Maafkan Cassie ma, seharusnya Cassie enggak pernah menginjakkan kaki lagi ke Jakarta. Semuanya hancur di kota ini, kota ini juga yang membuat keluarga kita jadi seperti ini, dan kita kehilangan papa untuk selamanya." Suara Cassandra yang bergetar, membuatnya terbata bata.
Cassandra masuk ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya yang nyaris sembab. Dia tidak boleh terlihat seperti ini di depan William saat terbangun nanti. Bisa bisa William akan curiga dan menyulitkan Cassandra di hari hari berikutnya. Mengingat, masih ada enam hari yang harus dia lewatkan bersama William.
Tanpa mengganti pakaiannya, Cassandra keluar dari dalam kamar mandi. Kakinya terhenti tepat di ujung kasur empuk yang tengah di tiduri oleh sang pelanggaan. Matanya menyapu bersih tubuh William yang tidur terlungkup sambil memeluk guling, persis seperti anak kecil yang merajuk karena keinginannya tak di turuti.
"Dasar laki laki!" umpatnya kesal. "Kenapa sih enggak bisa setia sama satu perempuan saja? Sampai rela buat nyewa perempuan lain dengan harga fantastis hanya demi nafsu aja." Menggelengkan kepalanya dengan wajah muak.
"Istrinya juga, bodoh banget. Lemah jadi perempuan," sambungnya lagi. Lalu berjalan ke sisi kasur. Mengambil satu bantal untuk di bawa ke sofa panjang. Tempat ternyaman saat berada bersama pelaanggannya.
Cassandra tidak perlu bersusah payah tidur di kasur empuk. Dia cukup meluruskan tubuhnya saja dan memejamkan mata sejenak, sebelum alarm di ponselnya menyala dan dirinya akan kembali terbebas di pagi hari.
***
William membuka matanya perlahan. Kepalanya yang masih terasa sakit membuatnya terlalu malas untuk melihat ke sekitar. Tapi, menyadari di sebelahnya tidak ada seseorang, membuatnya menggerakkan kepalanya dengan cepat, mencari keberadaan Cassandra. Perempuan yang menurutnya telah berhasil melepaskan hasraat terbesarnya semalam.
"Selamat pagi, Tuan muda," sapa Cassandra yang berdiri di depan kaca rias dengan keadaan rapi dan tas yang menggantung di sebelah pundaknya.
"Apa ini sudah pagi?" tanya William tanpa membalas sapaan Cassandra.
Cassandra mengangguk sambil mengangkat pergelangan tangannya, matanya fokus pada arloji berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangannya. "Jam tujuh lewat delapan belas," sahutnya.
"Shiit!" umpat William sambil memukul pelan bantal di sampingnya. Membuat Cassandra menaikkan sudut alisnya.
'Apa dia mulai takut di curigai istrinya karena bermalam di sini? Ya... Ku doakan semoga benar.' Cassandra membatin penuh harap.
"Kalau begitu, saya permisi," kata Cassandra menunduk sopan, meski pun sebenarnya laki laki itu tidak pantas untuk mendapat perlakuan baik, mengingat keliarannya menciium Cassandra semalam. Tapi, walau bagaimana pun, Cassandra tetap harus ber-etika di hadapan siapa pun.
"Tunggu." William mengangkat sebelah tangannya untuk mengintruksikan Cassandra tetap di sana. "Kamu mau kemana?" tanyanya sambil turun dari atas kasur.
"Saya harus pulang, Tuan muda."
William tersenyum sarkas, berjalan mendekati Cassandra. "Siapa yang mengizinkanmu untuk pulang, Honey?" Menyentuh rambut panjang bergelombang Cassandra yang membuatnya semakin terlihat cantik.
"Sesuai ketentuan, saya hanya melayani di malam hari, dan sebelum jam delapan pagi, saya harus meninggalkan siapa pun laki laki yang sudah saya layani." Cassandra bersikap tenang sekali. Berbeda dengan semalam.
"Jadi, seperti itukah selama ini caramu bekerja, Honey?" Beralih menyentuh wajah Cassandra.
"Tentu, Tuan muda." Masih tak memperdulikan tangan William yang telah menjalar di leher jenjangnya.
"Sayangnya, aku sudah membelimu selama satu minggu full, Honey. Sehari dua puluh empat jam, berarti tujuh hari selama seratus enam puluh delapan jam. Itu artinya? kamu enggak bisa pergi kemana pun tanpa izin dariku." Menjatuhkan kecupan basah di tengkuk leher Cassandra.
Cassandra menggigit kuat bibir bawahnya. Dia tidak menyangka kalau laki laki ini akan mengendalikan dirinya selama tujuh hari penuh tanpa ada celah sedikit pun untuknya pergi. 'Siial!' umpat Cassandra dalam hati. 'Kenapa Madam enggak bilang sama aku. Aku kira hanya malam saja aku akan melayani dia. Arrgh... sialaaaan!'
Cassandra memutar otaknya, dia harus mencari cara agar bisa keluar dari sana, setidaknya beberapa jam saja untuk mempersiapkan kembali beberapa perlengkapannya untuk kembali menjalankan misinya nanti malam.
"Oh saya lupa. Tapi, saya harus pulang pagi ini. Karena saya harus memberi makan kucing peliharaan saya, Tuan muda."
"Benarkah? Heum?" Masih terus mengecup tengkuk leher Cassandra yang begitu harum. "Berapa lama aku harus menunggumu di sini?"
Pertanyaan yang membuat Cassandra ingin menjawab 'selama mungkin' dengan lantang di hadapan William. Tapi, apalah daya, dia tidak akan pernah bisa berkata seperti itu, agar tak mempersulit keadaan.
"Empat sampai lima jam mungkin."
"No problem. Hanya untuk hari ini saja," sahut William.
Setelah beberapa detik menikmati kegiatannya. William akhirnya menyingkir dari Cassandra. Berjalan mendekati kasur dan mengambil sesuatu dari lantai.
Tak ingin berlama lama di sana, Cassandra berniat pergi dari sana. "Saya permisi," katanya lalu melangkah pergi.
"Hei..." panggil William dan menghentikan langkah Cassandra yang sudah di ambang pintu.
'Apalagi sih?' geramnya dalam hati.
Cassandra kembali mengatur emosinya yang nyaris meledak karena ulah William di pagi hari. Lalu berbalik badan. Di saat yang bersamaan, tangan William sudah berhasil memasangkan kemeja biru berlengan panjang yang dia kenakan semalam. "Masih pagi, jangan mengundang hasrat laki laki lain untuk menyentuhmu," katanya sambil mengaitkan satu anak kancing teratas kemejanya.
Cassandra sedikit terkejut, matanya terfokus pada tangan William yang bergerak di depan dadanya.
"Ingat, hanya lima jam paling lama," kata William sambil mengapit jari telunjuk dan jempolnya di dagu Cassandra, membuat kepala Cassandra perlahan mendongak ke atas. "Aku akan meminta orang kepercayaanku untuk mengantarmu pulang, demi keamananmu."
Cassandra menggelengkan kepalanya. "Aku pulang sendiri saja," sahutnya. "Aku punya privasi yang orang lain enggak boleh tahu."
William memiringkan wajahnya dengan sudut alis yang terangkat. Dia mengerti maksud Cassandra, yang tak lain adalah tak ingin di ketahui tempat tinggalnya. Padahal, William sudah tahu itu dengan detail. "Bagaimana kalau kamu kabur?"
Bibir Cassandra mengurai senyum tipis. "Tenang saja, saya akan bertanggung jawab dengan hamburan uang uang yang sudah Tuan muda keluarkan."
Tak tahan melihat bibir ranum Cassandra, segera William mendaratkan kecupaan di sana. Memainkan sebentar bibir bawah Cassandra yang sedikit bervolume.
"Aku pegang kata katamu, Honey," katanya setelah melepaskan tautan bibirnya.