Pelabuhan Keresahan

1147 Kata
“Jahat? Maksud kamu apa, Jas?” tanya Aurora yang sedang berdiri di depan kafe. Semua siswa yang mengikuti pembelajaran hari ini telah kembali ke rumah masing-masing. Aurora dan Jasmin masih sibuk dengan adu mulutnya yang belum juga memberikan titik terang. Berkali-kali satpam penjaga kafe telah menegurnya untuk segera pergi dari sana. Akan tetapi, kaki mereka masih enggan untuk pergi. “Kenapa lu bohong sama gue?” tanya Jasmin. “Bohong?” jawabnya. Jasmin membenarkan rambutnya yang diikat seperti kuda poni. “Ra, apa maksud perkataanmu di toilet tadi?” Aurora tidak menjawab. Ia mengajak Jasmin untuk pergi dari halaman kafe. Dengan rayuannya, Jasmin mau untuk pulang ke rumah Aurora. Mereka menaiki taksi untuk kembali ke rumah. Setelah adanya peristiwa ketilang waktu mereka ke Yogyakarta, membuat Bram tidak mengizinkan Aurora mengendarai mobil atau sepeda motornya. Pada saat mereka hendak menghentikan taksi, tiba-tiba terjadi sebuah kecelakaan yang menimpa seorang pelajar. Aurora dan Jasmin bergegas untuk melihat kondisi sang korban. Mereka terkejut karena sosok laki-laki yang tergeletak di jalan itu adalah sahabat Langit yang bernama Aksa. Aurora dan Jasmin bergegas untuk mengantarkan Aksa ke sebuah klinik terdekat. Karena insiden ini membuar Aurora dengan terpaksa menghubungi Langit. “Langit, tolong datang ke klinik Pratama Merdika. Aksa kecelakaan.” Aurora mematikan sambungan teleponnya. Ia berjalan ke arah resepsionis untuk membayarkan biaya pengobatan Aksa. Sebab, jika tidak segera mengurus biaya, bisa saja akan memperlambat pengobatan dari dokter. Tidak lama kemudian, Langit telah sampai di klinik. Ia menanyakan perihal apa yang menimpa pada sahabatnya. “Ra, apa yang terjadi?” “Tadi, Aksa berhenti di tepi jalan. Tiba-tiba ada sebuah mobil yang dengan laju tinggi menabrak Aksa. Tapi, sekarang lagi ditangani oleh dokter.” Beberapa menit kemudian, dokter keluar dari ruangan tindakan. Ia mengatakan bahwa Aksa tidak mengalami luka yang parah. Hanya terdapat beberapa luka ringan yang menimpa pada kaki dan lengannya. Aksara pun diperbolehkan pulang untuk menjalankan rawat inapnya. “Kamu yang waktu itu, kan?” tanya Aksa saat terbangun dari ranjang klinik. “Oh hai, gue Aurora. Sebelumnya kita pernah bertemu. Kebetulan, ketemunya juga barengan sama si tengik dan anak kecil itu.” “Enak aja lu ngatai gue tengik!” teriak Langit. “Cukup! Kita lagi ada di klinik. Bisa mengganggu ketenangan dan kenyamanan pasien kalau ribut-ribut di sini. Lebih baik, lu anter Aksa pulang, Langit.” Jasmin mengajak Aurora untuk kembali ke rumah. “Tunggu ... Apa kamu juga yang membayar biaya klinik?” Aurora tersenyum sembari mengangguk. Kemudian, ia menggandeng lengan Jasmin untuk segera pulang. Sebelum Bram sampai di rumah, mereka berusaha untuk terlebih dahulu berada di dalam rumah. “Ra, lu hutang cerita sama gue,” katanya ketika mereka telah sampai di lantai dua rumah Aurora. Lebih tepatnya kamar pribadi milik sahabatnya. “Gue ... Gue gak tahu pasti dengan alasannya. Tapi, ini benar terjadi, Jas. Setiap kali gue makan pedas dan melihat orang lain yang sedang bersendawa atau menguap, tiba-tiba badan gue berubah menjadi dua kali lipat atau kulit gue bakal bergradasi dengan warna merah menyala.” Jasmin membelalakkan matanya. Ia tidak percaya dengan kejadian aneh yang terjadi pada tubuh sahabatnya. “Ra, mana mungkin? Kamu jangan mengada-ada,” katanya remeh. “Lu ... Maunya apa? Gue bilang jujur, lu enggak percaya. Apalagi, kalau gue bohong.” “Oke, kalau begitu, lu harus konsultasi ke dokter kulit atau siapa, biar jelas dengan kulit kamu. Siapa tahu alergi pedas.” Aurora tersenyum lalu berjalan ke arah meja. Ia membuka laci meja untuk mengambil sesuatu. “Gue sudah pernah cek, hasilnya aman.” Aurora memberikan sebuah amplop dari rumah sakit. Beberapa minggu yang lalu, Aurora sempat pergi untuk mengecek keadaan tubuhnya. Akan tetapi, semua pemeriksaan aman dan tidak terdeteksi riwayat penyakit. “Terus?” “Nabrak, Jas.” “Aurora, gue lagi serius!” bentak Jasmin. “Iya, kan, benar kalau kita hanya jalan lurus terus tanpa berbelok pasti bakal nabrak, kan? Untuk masalah itu, aku biarkan saja. Asalkan tubuhku tetap sehat dan tidak terjadi apa-apa.” “Ra, jangan santai-santai. Itu peristiwa aneh, tahu. Gila apa? Kulit lu bergradasi kek terjadinya peristiwa aurora di Selandia?” “Ya, gue gak tahu sebabnya. Sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Oh iya, jangan pernah bilang ke siapa pun tentang hal ini. Gue tidak ingin viral karena hal ini. Gue mau terkenal karena prestasi, tolong jaga rahasia.” Aurora mengambil ponsel dari sakunya. Ia membuka kolom komentar di salah satu konten yang sudah diunggahnya. Di sana telah banyak pengikutnya yang memberikan komentar. Bukan hanya turut meramaikan komentar, tapi mereka juga memencet tombol tanda suka. Kontennya yang dibuat ketika di Yogyakarta waktu itu memiliki ribuan juta kali ditonton oleh warga internet. Sebuah kebanggaan bagi Aurora dan Jasmin. Hal itu sebagai pembuktian bahwa mereka juga mandiri tanpa bantuan Mario. “Jas, lihat deh. Konten kita yang di warung bakso itu membludak penonton.” Jasmin mendekat untuk membuktikan sendiri dengan perkataan Aurora. Setelah itu, ia memfoto layar laptop milik Aurora untuk dijadikan bahan konten status w******p. ‘Kebanggan terbesar Jasmin!’ itulah sebuah kalimat yang dijadikan pengantar dalam unggahannya. “Gila, ya, Jas. Apa-apa dibuat status,” ledek Aurora. “Heh mending juga ini. Lah, lu, seorang Aurora kalau membuat sebuah postingan pasti berunsur kegalauan, keresahan, kekecewaan. Alay, Ra! Kita harus bijak dalam memainkan sosial media. Gue memang gila dengan sosial media. Tapi, gue tahu mana yang pantas dan tidak untuk dijadikan konten. Nah, ini gue bukan sombong. Tujuannya biar orang lain termotivasi agar bisa semangat dalam mengejar prestasi. Boleh saja, sosial media dijadikan tempat untuk mencurahkan keresahan, tapi lebih baik berlabuh kepada Allah, Ra. Lebih aman.” Jasmin mengambil handuk miliknya yang berwarna merah muda. Kemudian, ia berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri dari bakteri. Di era new normal ini seharusnya kita bisa lebih bijak dalam menjaga kesehatan. Utamakan kebersihan badan adalah modal paling penting agar terhindar dari paparan virus. “Maksud perkataan lu sebelum mandi apa? Pakai ngatain gue alay segala.” “Jangan tersinggung. Sekarang itu banyak orang memakai sosial media. Tapi, tidak bisa mengontrolnya. Bahkan, segala macam masalah dijadikan konten. Mereka pikir dengan dipublikasikan di hadapan publik akan menyelesaikan dari keresahan? Enggak, kan? Justru, hal itu akan memperkeruh permasalahan karena adanya campur tangan orang lain. Kalau mau mencurahkan rasa gelisah, resah, kecewa, dan lainnya, lebih baik mengadahkan tangan kepada Allah. Ya ... intinya harus pintar dalam memainkan sosial media.” Jasmin menutup gorden. Sebab, sinar matahari di tengah hari berhasil masuk ke dalam ruangan. Sehingga membuat mata menjadi silau dan tidak nyaman. Apalagi, paparan sinar matahari di siang hari tidak baik untuk kesehatan kulit. Jadilah seseorang yang peduli dengan kesehatan diri sendiri. “Jasmin!” teriak Aurora. “Jas, gue mau curhat. Kenapa hari dan jantung gue tidak nyaman ketika bertemu seseorang yang berbeda lawan jenis?” “Lu cinta sama dia. Ra, komentar buruk itu masih ada gak?” “Dasar kaku tentang cinta,” ledek Aurora sembari tertawa puas. “Sampai mengalihkan pembicaraan,” sambungnya. Plak!  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN