Terjebak Cinta Dalam Rumus Matematika

1072 Kata
Dua minggu telah berlalu. Aurora dan Jasmin telah kembali ke Jakarta. Dalam waktu empat belas hari itu, Aurora belum juga mendapatkan informasi tentang pemilik akun itu. Sekarang, Aurora dan Jasmin sedang pergi ke salah satu kafe ternama di Jakarta. Di sana, mereka memenuhi kewajiban sebagai pelajar. Tetap mematuhi protokol kesehatan, mereka bertemu dalam rangka pembelajaran kelompok bersama teman-teman dan guru. Hari ini, mereka melanjutkan materi yang belum juga selesai. Dari awal pembelajaran dimulai, sang guru telah memberikan informasi, bahwa kelompok hari ini digabung bersamaan dengan satu kelompok kelas sebelah. Aurora harus menerima menjadi satu ruang dengan Langit. “Baik, karena kelompok kota gabungkan antara dua kelas. Jadi, saya akan memasangkan kalian agar saling mengenal satu dengan lain.” Bagaimana Aurora tidak kesal? Jika Aurora harus dipasangkan dengan Langit. Entah, setiap kali bertemu dengannya, perasaannya selalu tidak tenang. Cintakah? Entah, Aurora tidak yakin dengan itu. Selama ini, Aurora belum pernah merasakan hati yang bergetar hebat seperti ini. Ia juga belum pernah merasakan jantung yang berdetak sekeras ini. Apa benar, dengan istilah benci jadi cinta? “Sekarang, kalian diskusikan mengenai materi halaman seratus dua puluh lima bersama pasangan masing-masing dalam waktu satu jam.” Aurora duduk bersebelahan dengan Langit di salah satu meja. Mereka bebas untuk mencari meja yang diinginkan dengan syarat tetap mematuhi protokol kesehatan. “Ra, kenapa tidak membalas pesanku beberapa hari yang lalu?” “Itu tidak penting untuk dibahas saat ini. Lebih baik, kamu rumuskan permasalahan dari kasus itu.” Aurora membuka tas gendongnya untuk mencari pensil dan penghapus serta selembar kertas folio untuk menganalisis permasalahan yang terjadi pada soal matematika. Langit masih saja terdiam di tempat duduknya. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah wajah Aurora. Bukan senang dengan tatapan laki-laki yang berada di depannya, Aurora merasa muak dengan wajah tampannya. Tidak, Aurora sama sekali tidak membenci Langit. Akan tetapi, entah kenapa Aurora merasa muak melihat wajahnya. Mungkin, karena Langit selalu berusaha terlihat keren di mata Aurora. Seakan-akan, Langit tidak bersikap menjadi dirinya sendiri. “Bisa enggak, lu jangan natap gue layaknya p*****l?” tanya Aurora. “Gue belum setua itu, kali. Oh iya, kenapa gue gak boleh natap? Lu takut terpesona sama ketampanan gue, ya?” jawabnya songong. Aurora memalingkan kepalanya. Ia memilih untuk segera kembali fokus dengan kegiatannya. Aktivitas yang jauh lebih baik daripada melayani seseorang yang tidak memiliki kosa kata yang berbobot. Setiap omongannya hanya sebuah rayuan maut yang belum bisa memikat hati Aurora. “Langit, sekarang kerjakan, nih!” perintah Aurora kepada rekan kerjanya yang tidak bernalar itu. Sedari tadi, ia sama sekali tidak mencoba untuk merumuskan permasalahannya. Langit hanya fokus menatap Aurora yang tidak berhenti memancarkan pesonanya, walaupun Aurora hanya berdiam. Tetap saja, pesonanya terpancar dengan sempurna. “Kalau gue merumuskan cinta gue ke lu, bagaimana?” tanyanya. “LANGIT! GUE TAHU LU TAMPAN, TAPI BUKAN BERARTI LU BOLEH SONGONG.” Teriak Aurora yang sudah bisa menahan dengan kekesalannya terhadap Langit. “Oke, I’am sorry. Gue bakal kerjakan dan terima kasih atas pengakuan lu kalau gue tampan,” jawabnya sembari tersenyum bangga. Langit mengerjakan tugasnya lalu meminta saran pada Aurora. Sebenarnya, Langit tahu pasti dengan rumus itu. Tetapi, ia hanya ingin menggunakan peluang terbesarnya agar bisa menikmati kedekatan dengan Aurora yang bakal sulit untuk terjadi kedua kalinya. Aurora menunduk sembari menyesali bibirnya yang tanpa sengaja mengakui ketampanan seorang Langit. Ia menggelengkan kepalanya pelan lalu melanjutkan tangannya yang harus bergerilya mencari jawaban di atas kertas putih. “Ra, mau gak lu jadi pacar gue?” tanya Langit tiba-tiba yang membuat Aurora melongo tidak percaya. Di saat situasi sedang rumit seperti saat ini, ia harus dilanda kebimbangan akibat ulah dari Langit. Aurora tidak menjawab. Ia memilih untuk melanjutkan mencari jawaban dari soal matematika yang terkesan sulit itu. Entah bagaimana bisa, Langit telah duduk di samping Aurora sembari mengamati pergerakan jemari Aurora. Hal itu benar-benar membuat Aurora merasa gugup dan seolah tidak bisa berpikir jernih. “Ra, lu kenapa malah muter-muter gitu menyelesaikannya?” tanya Langit dengan suara beratnya itu. Suara yang benar-benar membuat Aurora semakin merasa gugup. “Bu, boleh sambil makan, gak?” tanya Langit pada guru matematika yang sedang duduk dengan setumpuk pekerjaannya. Guru iru mengangguk lalu kembali kepada laptopnya. Langit beranjak memesan seblak level tiga sebanyak dua porsi dan es jeruk manis. Setelah itu, ia kembali le meja untuk melanjutkan diskusi. “Maksud lu apa?” tanya Aurora. “Itu sebenarnya hanya perlu mencari keliling dan luas bangun persegi panjang. Hanya saja, di gambarkan dengan empat bangun segitiga.” Aurora melongo dengan penuturan Langit. Langit menuliskan rumus keliling dan luas persegi panjang di kertas itu. Kemudian, ia menggambarkan gambar persegi panjang yang sama persis dengan soal. Kemudian, dengan kecepatan berhitungnya, Langit menuliskan ukuran-ukuran sisi bangun. “Tolong geser,” kata Aurora yang tidak bisa bernapas akibat terlalu gugup. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan membawa dua mangkuk seblak dan dua gelas es jeruk manis. Sebuah menu kesukaan Aurora. Saking senangnya, Aurora menikmati hidangan yang telah dipesan oleh Langit dengan semangat. Sampai akhirnya, bercak merah kembali hadir di kulit jemarinya. Dua menit yang lalu, Aurora tidak sengaja menatap Langit sedang bersendawa serta menguap akibat pedasnya cabai yang berada di dalam mangkok. Aurora buru-buru meminta izin kepada guru untuk pergi kw toilet. “Beruntung cuman kulit yang berubah, bukan tubuh gue yang melar.” Aurora keluar dari kamar mandi. Betapa terkejutnya dirinya melihat Jasmin berdiri di depan pintu kamar mandi. Aurora mencoba untuk bersikap seperti biasanya, tetapi sorot mata Jasmin yang seakan meminta penjelasan akan sesuatu. “Jasmin, lu mau ke toilet?” “Bukan. Maksud lu tentang warna kulit apa, Ra?” “Jasmin, warna kulit? Ya, ini, yang lu lihat.” Jasmin pergi meninggalkan Aurora tanpa sepatah kata pun. Aurora menatap punggung Jasmin dengan lekat. “Apa Jasmin dengar perkataanku?” lirihnya. Aurora memilih untuk segera kembali ke depan, sebelum seluruh temannya mencurigainya. Sesampainya di meja ternyata waktu pembelajaran telah usai. Presentasi dilakukan secara daring pada saat pertemuan selanjutnya. Aurora dan Jasmin pulang bersama. Seperti biasanya. Akan tetapi, sikap Jasmin tidak seperti biasanya. Ia cenderung diam tak berucap apa pun. Matanya tertuju ke arah jendela taksi. Sekalipun tidak pernah melirik wajah Aurora yang berada di sebelahnya. Sebenarnya ada apa dengan Jasmin? “Jasmin, gue salah apa?” “Gak ada. Gue lagi lelah. Tolong diam dulu.” Aurora menghela napasnya. “Maaf, kalau gue ada salah. Tolong jangan berdiam seperti ini. Kalau ada masalah, tolong bicarakan dengan baik.” “Lu ... jahat, Ra!” teriaknya tepat di telinga Aurora.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN