New York

1447 Kata
Aurora menepuk lantai dengan sapu lidi. Di lantai banyak lalat yang bergerombol dan mengganggu kenyamanan untuk mereka beristirahat. “Jas, kira-kira dengan tubuh gue yang super aneh, bakal ada cowok yang naksir sama gue gak?” tanya Aurora sembari rebahan dan memainkan ponselnya. Tak kalah saing, Jasmin juga memainkan ponselnya untuk mengikuti postingan dari idolanya. Bicara tentang idola, Jasmin sangat mengidolakan salah satu penyanyi Indonesia yang memiliki suara merdu dan khas. “Jasmin!” teriak Aurora yang merasa tidak diacuhkan oleh Jasmin. “Ra, coba deh, dengerin lagu ini.” Jasmin mengeraskan volume ponselnya agar suara melodi dalam lagu tersebut dapat terdengar oleh Aurora. Ia juga menampilkan lirik lagu di layar ponselnya. Sebuah fitur platform musik yang diciptakan agar menambah kenikmatan dalam mendengar sebuah lagu. “Maksudnya apa, Jas?” “Sebenarnya, lagu ini tentang mantan, sih. Tapi, dari masa lalu sebenarnya kita harus bisa belajar banyak hal. Ya, itu digambarkan dalam lagu ini, Ra.” Aurora merebut ponsel Jasmin agar bisa memaknai lagu dengan baik. Sebuah lagu tentang perpisahan dalam sebuah hubungan yang dikemas manis oleh penulisnya. Sebuah lagu yang diperindah dengan sentuhan aransemen terbaik oleh seorang komposer. “Jasmin, makna lagunya dalam.” Aurora mengelap air matanya. Jasmin tersenyum lalu mengambil ponselnya kembali. Dengan perlahan, Jasmin merebahkan dirinya di atas kasur empuk milik Aurora. Ia berusaha untuk memejamkan matanya, namun gagal. Aurora mengganggu Jasmin dengan tuntutan kata rapat. “Huft, Aurora pikir kerja kantoran apa, pakai rapat-rapat segala, kalai pada akhirnya tetap memakai keputusannya.” “Ada apa, Ra?” tanya Jasmin. “Punya konsep baru. Menurut lu kalau review makanan sambil review music bakalan bentrok, gak?” tanya Aurora sembari membenarkan posisi duduknya. Tiba-tiba terdengar teriakan yang memekikkan telinga. Padahal, Nilam sedang pergi arisan bersama temannya. Lalu siapa yang berteriak-teriak seperti orang korban kemalingan? Aurora berjalan mendekat ke arah jendela. Ternyata, ada banyak warga di perumahannya yang sedang berkumpul seperti terjadi sebuah tragedi. Ada beberapa ibu-ibu yang mencoba untuk memberhentikan mobil yang melintas seakan mencari pertolongan. Aurora bergegas memakai sandal lalu mengajak Jasmin untuk melihat suasana di luar sana. Ternyata, ada seorang anak yang terkapar di jalanan akibat tersetrum arus listrik ketika bermain. “Bapak, Ibu, tunggu sebentar. Biar saya ambil mobil dulu di rumah.” Aurora berlari kembali masuk ke gerbang rumahnya. Ia mengeluarkan mobil berwarna hitam yang telah lama tidak dipakainya. “Bapak boleh pakai mobil saya untuk membawa ke rumah sakit. Tapi, saya takut untuk melintas di jalan raya, sebab masih di bawah umur. Aurora teh takut kena tilang,” kata Aurora memberikan kunci mobilnya kepada ketua RT di perumahannya. “Iya atuh. Anak di bawah umur belum saatnya mengendarai kendaraan bermotor.” Pak RT segera membawa korban ke rumah sakit. Aurora dan Jasmin duduk di tempat paling belakang. Sepanjang perjalanan, Aurora mengamati gedung-gedung yang menjulang tinggi. Gedung itu bisa berdiri kokoh sebab memiliki sebuah fondasi. Selain fondasi yang baik, gedung tersebut dibangun dengan kerangka dari besi yang terbaik. Maka dari itu, gedung-gedung tinggi tersebut bisa berdiri dengan gagahnya. Dari gedung-gedung itu, Aurora meresapi akan pelajaran yang tak ternilai dengan satuan harga. Dari gedung-gedung kota kita belajar mengenai sebuah kegagahan. Manusia dikatakan gagah bukan karena badan yang besar. Melainkan, akhlak yang baik. Fondasi agar manusia bisa berdiri dengan dilingkupi kesuksesan adalah akhlak dan takwa. Sedangkan, rasa cinta terhadap diri sendiri adalah kerangka pembangun kesuksesan. Perjalanan menuju rumah sakit telah terlampaui. Keadaan korban sangat memprihatinkan, sehingga harus dilakukan rawat inap. Selama tiga puluh menit, mereka berada di rumah sakit untuk memberikan dukungan terhadap keluarga korban. Setelah itu, Aurora dan Jasmin mengikuti jejak pak RT dan warga lainnya untuk kembali ke rumah. Di setiap jengkal ban mobilnya melintas di jalanan, akan memberikan goresan yang mungkin tak terlihat oleh mata. Padahal, di setiap gesekan ban akan menimbulkan sebuah luka di aspal. Hanya saja, dalam waktu yang lama. Jalanan yang semula halus, lama kelamaan akan berlubang dengan adanya gaya gesek dari ban mobil. Begitu pula dengan diri manusia, tiap kali disakiti akan memberikan luka yang mungkin tidak akan bisa terlupakan. Oleh karena itu, rasa bahagia sangat dibutuhkan dalam diri. Dari mana asal bahagia? Dari diri sendiri. Bahagia bisa diraih dengan cara mencintai dirinya sendiri. Jangan pernah membandingkan diri sendiri dengan diri orang lain. Setiap manusia memiliki porsinya masing-masing. “Jasmin, tadi sebelum pergi, lu kan ngasih sebuah lagu. Setelah gue resapi ternyata, maknanya dalam. Bukan sekadar tentang masa lalu, tapi juga bercerita tentang arti sebuah cinta terhadap diri sendiri.” Aurora memasang headsheet di telinganya. Mereka masih dalam perjalanan menuju rumah. Tetapi, dunia mereka bukan berada dalam ruang jalanan. Mereka terhanyut dalam lantunan lagu yang membuatnya terbayang akan sebuah kota. Kota yang dipenuhi gedung-gedung tinggi yang kuat, kota dengan penuh sejuta mimpi, tapi memberikan sebuah rasa kesepian. “Ra, lagu ini itu banyak pesan. Terutama mengingatkan kita untuk bisa sayang terhadap diri sendiri. Selain itu, dari lagu ini juga memberikan pesan untuk menggapai mimpi. Sekalipun diri kita merasakan sebuah kesepian dan membutuhkan kasih sayang orang lain. Tapi, rasa bahagia akan didapatkan setelah kita bisa mencintai diri sendiri. Pada dasarnya, bahagia itu bukan dari pasangan. Tapi, dari diri kita sendiri. Usahakan sebelum memiliki pasangan itu kita sudah merasa bahagia. Jangan sampai, setelah mendapatkan pasangan, perasaan kita bertambah luka.” Jasmin memasukkan ponselnya karena harus turun dari mobil. Mobil berwarna hitam itu telah berhenti di halaman rumah Aurora. “Mbak, terima kasih, mobilnya,” kata pak RT sembari tersenyum dan mengembalikan kunci mobilnya. Aurora mengangguk dengan ujung bibirnya tersimpul senang bisa bermanfaat untuk sesama. “Mbak, terima kasih, saya jadi bisa merasakan mobil berase,” kata salah saru tetangga yang rumahnya terletak di belakang rumah Aurora. Ibu itu tertawa bahagia karena—mungkin—belum pernah merasakan menaiki mobil sebelumnya. Aurora membalas ibu itu dengan senyuman. Setelah warga kembali ke rumahnya masing-masing, Aurora dan Jasmin hendak memasuki rumah. Akan tetapi, sebelum membuka ganggang pintu, Nilam telah lebih dahulu membukanya. “Kalian dari mana? Enggak kapok kena tilang polisi?” tanyanya dengan tangan terlipat di depan. “Mama, ih. Aurora habis dari rumah sakit. Tadi, ada anak kecil yang tersengat listrik. Mobil juga yang nyetir Pak RT. Kalau Mama tidak percaya, tanya saja sama Pak RT.” Aurora dan Jasmin bersalaman dengan Nilam. “Ih, tangan kalian belum di cuci. Cuci dulu,” karanya sembari menunjuk keran air yang ada di depan rumah. Setelah mencuci tangan, mereka memasuki rumah dengan langkah gontai. Mereka merasakan lelah yang tak kunjung selesai pada kakinya. Mereka duduk di sofa ruang tengah. Sembari menonton televisi dan memakan camilan roti kelapa. “Jasmin, menurutmu bagaimana tentang konsep baru itu?” tanya Aurora. “Tanyalah ke Mama Nilam,” kata Jasmin dengan santainya menikmati roti kelapa dengan seduhan teh hangat yang telah dibuar oleh Nilam. “konsepnya teh bagaimana?” tanya Mama yang tiba-tiba duduk di samping Aurora. Ia memindah channel televisi luar negeri. Di sana digambarkan dengan jelas latar tempat dari sebuah film. Sebuah latar dengan gedung-gedung tinggi khas Amerika. “Konsepnya bikin review makanan dan review musik.” “Di gabung gitu?” tanya Nilam. Aurora mengangguk. “Menurut Mama asyik gak?” “Susah. Karena beda bidang. Nanti bisa tubrukan.” “Hmm, kalau ... konsepnya dengan background  ala New York bagaimana? Dengan latar gedung-gedung, gitu. Terus, sesekali pakai menu luar negeri.” “Boleh, sih, Ra. Tapi, menurut gue ... jangan dulu. Kita angkat tema budaya Indonesia terlebih dahulu. Tujuannya, untuk mengajak anak muda melestarikan makanan khas Indonesia. Untuk konsep, kita pakai latar perbukitan dan perkebunan teh. Jadi, kita angkat khas Sunda.” “Loh, kenapa?” tanya Aurora. “Konsep New York, bagus sih. Tapi, kalau kita bisa mendapatkan tempat yang sesuai dengan rencana. Tapi, kalau tidak? Akan merusak konsep. Kita ambil amannya dulu, saja. Apalagi, walaupun kita berusaha mandiri. Tapi, tetap saja bakalan keteteran tanpa Mario. Mencari tempat yang sesuai dengan konsep New York masih agak susah, Ra. Memang, di Jakarta banyak gedung-gedung tinggi. Tapi, apa mudah meminta izinnya?” Aurora berdiri untuk mengambil buah pir dari kulkasnya. Ia mengupas menggunakan alat pengupas buah yang dibelinya di online shop beberapa hari yang lalu. “Dunia makin canggih,” kata Aurora sembari berjalan ke arah ruang tengah. Ia membawa satu piring berisi potongan-potongan buah pir. “Jas, benar sih. Kita perlu izin untuk hal itu dan belum tentu diberikan izin. Ya, sudahlah, padahal aku hanya terbawa dengan lagu milik Sivia saja. Konsep selanjutnya boleh khas Sunda.” Aurora duduk sembari menikmati buahnya. Tidak lama kemudian, Bram kembali dari kantornya. Dengan perasaan yang kacau selayaknya diterpa badai puluhan kali. Wajahnya terlihat muram, tidak memiliki pesona. “Papa terancam kena PHK!” teriaknya dengan perasaan yang masih kesal dan marah. Suaranya yang keras dan bernada tinggi itu membuat seisi rumah diam tidak berani mengusik. Apa yang terjadi di perusahaan tempat Bram bekerja?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN