.ERVAN.
Kepada perempuan hujanku, yang datang bersama tangisan. Aku di sini. Masih berdiri di sini untuk melihatmu menangis. Kepada perempuan hujanku, yang termenung berurai air mata. Aku di sini. Menjulurkan tangan ke arahmu tanpa berani untuk mendekat. Setelah dua puluh tahun berlalu, aku masihlah pemuda patah hati yang tak mampu menyambung ranting yang patah agar tegak kembali. Banyak kesempatan untukku sebenarnya. Namun aku terlalu pengecut untuk mendekat, duduk di sampingmu, dan membelai surai sebahumu.
Melihatmu duduk di sana, tempat yang sama dengan dua puluh tahun lalu, rasanya seperti memutar kembali film lama di kepalaku. Tubuh mungilmu bergerak naik turun, menahan tangis yang melebatkan hujan. Seharusnya aku mengambil tempat di sisimu, selagi tempat itu kosong. Namun aku hanya mampu bersembunyi di balik tembok. Aku tahu, kejadian yang sama akan terulang kembali. Dia datang mendekatimu, merebahkan kepalamu di dadanya, lalu menciummu. Lalu hujan pun berhenti turun. Kamu tersenyum, matahari bersinar lagi.
“Van, dari mana aja kamu? Aku mencarimu ke mana-mana. Hujannya deras sekali, ya.” Suara lembut seorang perempuan menyambut kedatanganku di aula. Perempuan tak berguna yang seharusnya bisa kumanfaatkan untuk mencapai tujuanku.
“Iya, hujan yang tiba-tiba. Aku abis dari kamar mandi. Ada apa kamu nyariin aku?”
“Itu, Adhit mau minta tolong untuk menyerahkan bingkisan sama anak kurang mampu. Bingkisan sekaligus uang dari angkatan kita.”
“Kenapa harus aku. Yang lainnya, kan ada.”
“Yang menerima bingkisan kebetulan anak basket. Menurut Adhit akan sedikit dramatis jika kamu yang anggota basket yang menyerahkannya. Tadinya mau Feri, tapi dia udah pulang kayakna. Nggak kelihatan soalnya,” jelas Febi panjang lebar. Ah, menyusahkan saja. Padahal aku berniat kembali ke belakang perpustakaan untuk melihat apa yang terjadi pada Shila. Aku kembali ke aula hanya untuk mengambil air minum. Setelah menangis begitu hebat, pasti Shila haus.
“Okelah,” kataku akhirnya. Percuma berkelit, Febi akan mengejarku dengan berbagai pertanyaan dan aku sedang malas untuk mengarang seperti biasanya.
Febi menyuruhku duduk di kursi deretan depan, menunggu giliran. Kulihat Adhit sedikit gelisah di atas panggung. Dia tahu, hujan yang turun pasti karena terjadi sesuatu dengan Shila. Adhit pasti ingin segera menemuinya. Namun apa daya, dia ketua panitia reuni yang kehadirannya selalu dibutuhkan sampai acara selesai. Aku tersenyum sendiri. Setelah giliranku memberi bingkisan, aku akan langsung menemui Shila. kali ini harus berhasil.
“Van,” bisik Febi sambil menunduk ke arahku. Giliranku tiba.
Aku bergegas menyelesaikan acara basa-basi ini. Menjabat dan memeluk anak yang menerima bingkisan. Berfoto bersama, lalu turun dari panggung. Ketika perhatian Febi masih terpusat pada acara yang sedang berlangsung di panggung, setengah berlari aku menuju belakang perpustakaan. Segelas air mineral berada di tanganku.
Sial! Umpatku dalam hati.
Di belakang perpustakaan, lagi-lagi aku dicurangi. Tempat yang seharusnya diperuntukkan untukku ternyata sudah diisi seseorang. Siapa dia? Bukan Adhit. Lalu siapa?
Ah, sungguh sial. Ternyata Feri ada di sini. Dia tidak pulang. Feri, kapten basket ketika kelas dua, dia sedang duduk di samping Shila dan sedang mengatakan sesuatu yang membuat Shila menangis sesenggukan. Ngomong apa, sih? Dari tempatku berdiri, sulit untuk mendengar pembicaraan mereka. Tapi jika terlalu dekat, aku bisa ketahuan.
Shila menangkupkan kedua tangan di wajahnya cukup lama. Kelihatanyya dia berusaha menguasai diri dan mengatur napasnya. Ketika kedua tangan itu terbuka, dia mencoba untuk tersenyum dan seperti mengatakan jika dia baik-baik saja. Hujan sedikit reda, tapi mendung masih tebal. Pasti hatinya masih berduka. Pasti karena sesuatu tentang Adhit, selalu begitu.
Tidak ada gunanya aku berlama-lama di sini. Sepertinya Feri juga belum mau beranjak dari sisi Shila. Aku ingat waktu kelas dua Feri pernah menyatakan perasaannya pada Shila, tapi sayang dia bertepuk sebelah tangan. Meski waktu itu Shila dan Adhit sedang break, Shila tidak bersedia menerima perasaan dari cowok lain. Aku menyadari satu hal, harus ada perempuan lain yang mengambil tempat Shila di sisi Adhit. Dengan begitu Shila akan terlepas dari Adhit.
Seperti dulu aku menyusun rencana untuk memisahkan mereka berdua, dan berhasil, sekarang pun akan kususun rencana untuk membuat Shila sendirian. Tanpa Adhit. Tanpa suaminya. Tanpa keluarganya. Dan pada saat itu terjadi, Shila akan berjalan ke arahku dengan suka rela.
Aku tersenyum membayangkan rencana yang mulai tersusun rapi di kepala. Sambil berjalan kembali ke aula, aku mendendangkan sebuah lagu lama.
I'm drivin' around in my car
I'm drivin' too fast
I'm drivin' too far
I'd like to change my point of view
I feel so lonely
I'm waitin' for you
But nothing ever happens and I wonder
***
Mata mereka bersirobok. Hastuti mengalihkan pandangannya. Mencoba bertingkah seolah dia salah tingkah ketika pandangannya bertemu dengan pandangan Wijat. Namun dalam hati dia berdoa agar Wijat punya keberanian untuk mendekatinya. Jika hal itu tidak terjadi, terpaksa dia yang akan mendekati laki-laki itu.
Doanya terkabul, dari ujung matanya dia bisa melihat Wijat sedang berjalan ke arahnya. Hastuti mengulum senyum dan mempersiapkan diri.
“Hai, Tutik, ya?” sapa Wijat. Hastuti memalingkan wajah, memandang pada lelaki di hadapannya.
“Ya?”
“Ini aku, Wijatmoko. Dulu kita sekelas dan aku selalu ngisengin kamu.” Wijat sedikit salah tingkah ketika memperkenalkan diri.
Wajar saja, untuk seorang lelaki yang dulunya b******k dan sering mempermainkannya seperti umpan ikan, Wijat tidak seharusnya punya keberanian untuk menyapa Hastuti. Namun lelaki alpha seperti Wijat pasti melihat Hastuti sekarang dengan cara berbeda. Bagi Wijat, Hastuti adalah tantangan baru yang harus dimenangkan. Dan bagi Hastuti, Wijat adalah permainan lama yang dimainkan dengan cara yang baru.
Hastuti tersenyum dan mengulurkan tangan. “Halo, apa kabar?” sapanya, membuat Wijat sedikit tergeragap. Pasti dia tidak menyangka jika Hastuti akan bersikap seramah ini.
“Kabar baik,” balas Wijat sambil menyambut uluran tangan Hastuti.
“Sudah makan?” tanya Hastuti basa-basi.
“Ya, sudah.” Wijat masih canggung untuk memulai percakapan. Ini Hastuti, perempuan yang sering dia sakiti dulu.
“Tutik, anu ....”
“Mana yang lainnya? Gengmu dulu?” tanya Hastuti sambil memandang ke belakang tubuh Wijat. Mencari-cari sosok yang mungkin dia kenal.
“Oh, mereka? Ada. Tadi aku sempat berbicara dengan mereka semua. Ragil, Pras, dan Eko. Mereka semua nggak enak mau nyapa kamu.”
Hastuti mengernyitkan kening. “Nggak enak sama aku? Kenapa?”
“Karena dulu mereka suka ngisengin kamu. Aku dan mereka, kami merasa bersalah dan nggak enak hati.”
“Wijat, wijat. Itu dua puluh tahun lalu. Kita sudah mulai tua sekarang. Buat apa mengingat hal-hal yang nggak perlu diingat?” tanyanya sambil tersenyum. Wijat mengembuskan napas lega.
“Syukurlah kamu tidak dendam.”
“Enggaklah.”
“Kalau gitu, mau ikut aku?”
“Ke mana?”
“Ketemu sama gengku dulu. Mereka harus minta maaf sama kamu.”
“Harus?”
“Kamu nggak mau?”
Hastuti diam sejenak seolah berpikir. “Mmm, ayolah. Aku juga nggak ingin terlihat seperti menyimpan dendam,” katanya sambil tersenyum manis sekali pada Wijat.
Tentu saja itu bohong. Aku masih sangat dendam pada kalian dan tidak akan berhenti mendendam sebelum membalas perlakuan kalian padaku. Tapi saat ini aku harus bersikap baik, bukan? Membuat kalian percaya dan membuat kalian jatuh pada perangkapku. Dimulai darimu, Wijat.
Ya, permainan pembalasan dendamku akan segera dimulai. ©