LOCKER YANG TERBUKA

1554 Kata
Dua puluh tahun yang lalu, Adhit meninggalkanku di terminal kota. Dalam hujan lebat, dalam tangisan kuat. Dia tak mengatakan alasannya. Dia hanya bilang, “Jangan pernah temui aku lagi.”   Aku yang memang bodoh karena mencintai dia, percaya begitu saja pada semua perkataannya. Aku akan terus mencintai dia jika dia bilang mencintai aku. Aku akan terus di sisinya jika dia tidak akan meninggalkan aku. Aku akan pergi jika dia meminta pergi. Karena cinta aku menjadi budaknya. b***k pada perasaan yang sudah membuatku terikat padanya. Dan ketika dia memintaku jangan menemuinya lagi, aku menurut. Tanpa pernah mencoba mencari tahu ada apa sebenarnya.   Aku memilih merasa sakit hati sendiri. Menangis sendiri. Dan mencoba pulih sendiri. Kendati proses untuk pulih begitu berat dan akhirnya aku kehilangan perasaanku sendiri. Padahal bisa saja aku mendatangi rumahnya dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tidak. Aku memilih menangis dan membuat hujan turun berhari-hari. Setidaknya aku ingin menyampaikan pesan pada Adhit jika aku terluka. Sesungguhnya aku takut, jika mencari tahu aku akan lebih sakit hati mendengar alasan Adhit meninggalkanku.   Baru beberapa bulan setelah perpisahan kami, aku mendengar kabar jika Adhit menikahi seseorang. Lagi-lagi aku terluka. Aku tak menyangka jika dia berkhianat dan mencampakkan aku karena perempuan lain. Mengapa tidak kelihatan tanda-tandanya sebelumnya? aku merasa kita berdua baik-baik saja. Ah, tentu saja aku merasa demikian karena Adhit membuatku begitu. Dan aku membutakan mata dan hatiku untuk melihat kenyataan tentang kepopulerannya.   Adhitya Dharmawan, Sang Ketua OSIS. Murid terpandai sekaligus terpopuler satu sekolah. Setiap cewek di SMA kami pasti berharap bisa pacaran dengannya. Dan ketika dia memilih aku yang biasa-biasa saja pasti banyak cewek-cewek yang mencibir dan menyayangkan pilihannya. Mungkin pada akhirnya, Adhit menyadari kenyataan itu. Aku terlalu biasa untuk sehidup semati dengannya. Dan akhirnya dia memilih seseorang yang memang pantas untuk berada di sisinya.   “Kamu datang?” Suara seseorang di belakang membuatku membalikkan badan. Aku tersenyum dan memandangnya. Suaranya masih sama, sosoknya sedikit berbeda. Rambut putih hampir menutupi kepalanya. Di usia seperti sekarang, bukankah rasanya terlalu cepat rambutnya memutih? Wajahnya kini ditumbuhi bulu-bulu halus yang beberapa hari tak dicukur. Menambah kesan jantan dan lebih dewasa.   Aku berusaha menguatkan hatiku dan menahan kakiku untuk tidak menghambur ke pelukannya. Ternyata aku begitu merindukannya. Sangat! Kenangan-kenangan manis dan pahit kita selama di SMA berhamburan keluar dari locker yang tadi tertutup rapat. Aku menghela napas panjang, gelas dalam genggamanku sedikit bergetar.   “Kamu gemetar? Kita duduk?” tanyanya sambil mengulurkan tangan. Aku memandang tangannya. Ragu. Haruskah kuterima? Atau kutepis? Apa yang sebaiknya kulakukan? Aku bukan Shila anak SMA lagi. Aku kini lebih dewasa dan sudah berkeluarga. Kendati kedatanganku ke sini adalah untuk menemuinya dan menyelesaikan perasaanku, tetap saja aku harus menjaga perasaan suamiku. Dan anak-anakku tentunya.   Aku menundukkan pandangan sejenak lalu mengangkat wajah lagi. “Aku grogi. Jujur, ini bukan pertemuan yang mudah.”   “Aku mengerti. Aku senang kamu akhirnya mau datang. Sudah lama aku ingin bertemu dan bicara padamu.” Dia tak pernah melepaskan pandangannya dariku. Sikapnya sungguh tenang.   “Kamu yang dulu memintaku menjauh, Dhit. Ingat?”   “Aku ingat. Padahal aku punya beberapa kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Tapi nggak pernah kulakukan.”   “Apa akan mengubah sesuatu? Penjelasanmu itu?” Pertanyaan ini seharusnya untukku. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan.   “Hubungan kita? Hhh, mungkin tidak. Kecuali kita bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki segalanya.”   “Itu tidak mungkin.”   “Ya, tidak mungkin.”   “Jadi apa, yang ingin kamu katakan?” Kakiku mulai tak kuat menopang tubuhku, rasanya aku akan segera ambruk.   “Banyak. Dan ..., sebaiknya tidak di sini. Kamu punya waktu? Berapa lama kamu ada di Cilacap? O, ya, kamu datang sendirian atau dengan keluargamu.” Pertanyaan yang bertubi.   Aku tersenyum. “Aku datang sendiri, tanpa keluarga. Cutiku hanya seminggu, jadi Rabu atau Kamis aku harus kembali ke Batam.”   “Kamu tinggal di Batam?”   “Tinggal dan bekerja di sana.” Dia manggut-manggut dan masih tetap memandangiku. Kami kehabisan kata-kata.   “Dhit?”   “Cil?”   Kami memanggil nama masing-masing bebarengan, kemudian saling pandang. Aku salah tingkah, lalu memalingkan wajah. Adhit terkekeh.   “Sama sepertimu, aku juga grogi, Cil. Tapi aku senang. Senang banget bisa melihat kamu lagi. Hhh, kamu nggak akan tahu bagaimana perasaanku sebenarnya.”   “Dhit, aku tidak ingin memperpanjang basa-basi. Kedatanganku sebenarnya untuk mencari tahu tentang apa yang terjadi dua puluh tahun lalu.” Aku memandangi Adhit yang balik memandangiku dengan penuh tanya.   “Aku nggak pernah sembuh, Dhit. Shila yang kamu kenal dulu sudah nggak ada. Dan aku kurang nyaman dengan Shila yang sekarang. Jadi aku memutuskan untuk menemui dan mencari tahu. Aku ingin berdamai dengan masa lalu, Dhit.”   “Cila ..., maafkan aku. Sungguh aku minta maaf. Kamu harus percaya kalau puluhan tahun aku hidup dengan rasa bersalah.”   “Aku harus tahu alasanmu meninggalkanku,” kataku akhirnya. Kurasakan darah meninggalkan wajahku dan tenggorokanku terasa kering. Ah, kenapa aku bersikap menyebalkan seperti ini, sih? Sesungguhnya aku tidak ingin bersikap dingin di hadapan Adhit. Tapi membayangkan dia pergi karena perempuan lain membuat perasaanku tak enak.   “Itu juga yang ingin kuceritakan, Cil. Alasanku menyuruhmu menjauh dariku. Tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku menyuruhmu pergi bukan karena tidak mencintaimu lagi. Bukan! Kamu tahu kalau perasaanku padamu selalu sama. Percaya atau tidak, sekarang pun masih sama.”   Aku memandangnya tak percaya. Rayuan macam apa ini?   “Kita tidak berada di umur SMA lagi, Dhit. Jangan mencoba merayuku.”   “Oh, tidak. Bukan begitu maksudku. Maafkan aku. Ah, kita harus meluangkan waktu khusus untuk bicara tentang ini, Cila. Dan sebaiknya tidak di sini,” katanya sambil melihat ke sekeliling. Aku mengikuti arah pandangannya. Beberapa orang terlihat memalingkan wajah ketika aku memandang ke arah mereka.   Adhit benar, di sini bukan tempat yang tepat untuk bicara. Terlalu banyak orang yang penasaran. Dan jika nanti pernyataan Adhit membuatku menangis, aku pasti malu.   “Setelah reuni. Kapan reuni ini berakhir?”   “Entahlah. Aku ketua panitianya dan sepertinya akan memakan waktu cukup lama.”   Kami berdua saling pandang lagi. Sesungguhnya aku rindu padanya, tapi entah kenapa rasa dingin itu kini tidak saja mengalir di wajahku tapi juga menjalar ke hatiku.   “Maaf sebelumnya. Aku menyela pertemuan kalian. Tapi Shila, boleh aku pinjam Adhit sebentar?” Febi menyeruak di antara kami. Sebenarnya aku terselamatkan. Untuk sementara aku punya waktu untuk mengatur napas.   Aku mengangguk. “Dia bukan milikku. Ambil saja sesukamu,” kataku sambil meninggalkan mereka. Aku langsung menyesal bersikap seperti itu. Entah kenapa aku begitu.   Aku mencoba menenangkan diri dengan menambah minumanku. Sambil bersandar ke dinding dekat meja prasmanan aku mencoba mengatur perasaanku lagi.   “Shila?” tegur seseorang. Aku mengangkat wajah. Perempuan dengan wig pendek yang manis sekali sedang tersenyum padaku. Aku mengernyit, mencoba mengenali siapa dirinya.   “Ini aku, Tutik. Kita pernah satu klub di klub botani atau apalah itu namanya,” ujarnya masih tetap tersenyum. Mataku membelalak dan mulutku terbuka. Takjub dengan perubahan penampilannya.   “Hah, Tutik, Hastuti? Ya ampun, kamu berubah sekali. Cantik banget sekarang. Apa kabar?” Kuraih Hastuti untuk memeluk dan mencium kedua pipinya.   “Merasa lebih baik dari dua puluh tahun lalu. Kamu nggak berubah, Shil. Tetap baik sama aku.”   Aku tergelak. “Memangnya aku punya alasan buat berbuat jahat?”   “Ayo kita duduk. Kamu sudah makan? Kita makan sambil ngobrol, yuk!” ajaknya sambil menarik lenganku menuju meja prasmanan yang menghidangkan makanan utama.   “Kamu tinggal di mana sekarang?” tanyaku memulai percakapan dengan Hastuti. Kami duduk di kursi yang disediakan sambil menikmati hidangan.   “Jakarta. Kamu?”   “Batam. Kerja di mana?”   “Event organizer.”   “Wah, asyik, tuh. Dugem terus lah, ya?”   Hastuti tergelak. “Mau gimana lagi? Deal-deal penting justru terjadi setelah dugem. Omong-omong, kamu dah nikah, Shil?”   “Udah, dong. Anakku cewek dua.”   “Syukurlah, kamu bisa move on. Tadi aku sempat lihat kamu sama Adhit ngobrol. Dan kalian nggak kelihatan akrab.”   Aku mendengus. Risi sebenarnya membicarakan tentang Adhit pada seseorang yang tidak terlalu akrab.   “Jadi harusnya gimana? Kita udah sama-sama tua, Tik. Dan udah sama-sama punya keluarga juga.”   “Apa kamu tahu kalau istri Adhit sudah meninggal?” tanyanya hati-hati. Aku mengangkat wajah. Ini kabar baru buatku.   “Jadi kamu belum tahu, ya? Wah, maafkan aku kalau begitu. Kita bahas hal lain saja. Kamu mau nambah, Shil? Atau mau minum? Tunggu, ya, aku ambilkan.” Hastuti berdiri dan hendak pergi meninggalkanku.   “Tik, kamu kata siapa istri Adhit sudah meninggal?” tanyaku sambil memegang lengannya, berusaha mencegahnya pergi.   “Kabar beredar cepat, Shil. Di grup WA gosip-gosip bermunculan kayak jamur di musim hujan.” Aku memandang Hastuti. Kabar ini benar-benar mengubah banyak hal.   Sejak kapan? Karena apa? Bagaimana bisa? Dan ..., bagaimana perasaan Adhit? Kenapa aku tiba-tiba peduli?   “Aku ambilkan minum dulu, ya. Mukamu pucat,” kata Hastuti sambil melepaskan pegangan tanganku. Aku mengangguk.   Istri Adhit sudah meninggal. Dia duda. Apa yang kupikirkan sebenarnya? Tidak, tidak. Ini tidak akan mengubah yang sudah kurencanakan. Aku harus tetap fokus, aku harus kuat!   “Aduh, Shil. Sorry, ya, kamu jadi aku tinggal-tinggal. Aku sampai nggak sempat nyapa kamu dari tadi. Abis giman lagi, banyak banget yang harus kutemui. Eh, kamu sudah makan dan minum, kan?” Febi mengempaskan tubuhnya di sisiku.   “Feb, apa benar kalau istri Adhit sudah meninggal?” tanyaku tiba-tiba.   “Eh, kamu tahu dari siapa? Adhit yang bilang?”   “Bukan. Kata Hastuti. Bener, Feb?” tanyaku serius. Febi mengangguk.   “Sudah lama. Tahun 2014 kalau tidak salah.”   “Apa? Itu, kan ....”   “Iya, Shil. Tahun yang sama dengan pernikahan kamu. Beberapa bulan sebelum kamu menikah.”   Aku merasakan pukulan berat menghantam belakang kepalaku. Mataku mendadak buram dan hatiku berdenyut tak karuan. Aku harus pergi meninggalkan tempat ini.   “Shil, kamu mau ke mana?” Febi meneriakiku. Namun tak kupedulikan. Aku berlari keluar aula.   Di pintu keluar aku menyenggol seseorang. “Maaf.”   “Shila? Kamu nggak papa?”   Aku memandangnya sesaat. “Feri?”   “Wah, kamu berubah banget sekarang. Apa kabar?” Dia mengulurkan tangan. Aku menyambutnya. Kami bersalaman sebentar.   “Sori, Fer. Aku buru-buru. Nanti aku balik lagi.”   “Shila, minta nomor WA-mu, dong!” serunya. Aku hanya melambai. Saat ini aku butuh tempat untuk menyendiri. Benar-benar sendiri.   Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa hatiku sakit? Mengapa aku tidak bisa menerima kenyataan jika sebenarnya Adhit sudah tidak beristri lagi sebelum aku menikah? Apa yang kuharapkan?   Tolong, tolong jangan bilang kalau sebenarnya aku masih mengharapkan Adhit. Tidak mungkin!   Hujan? Kenapa hujan turun?   Kuusap pipiku. Sebutir air mata mengalir turun, diikuti butiran yang lain. A-aku, menangis? ©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN