Bibir itu tak mudah dia lupakan. Bibir yang telah memagutnya. Bibir yang bermain-main di putingnya. Bibir yang menyentuh kulit tubuhnya dan yang paling dia sukai, bibir itu juga yang bermain-main di bagian sensitifnya dan mengantarnya menemui puncak kenikmatan. Deira menggigit bibirnya sendiri memperhatikan sosok Dokter Banyu dari kejauhan. Dia berharap bisa bertemu Banyu lagi di reuni ini dan harapannya terkabul.
Setelah permainan mereka semalam dan berakhir dengan perpisahan yang menyebalkan, Deira merasakan panas membakar dadanya dan gairahnya tiba-tiba meluap. Dia membayangkan hal-hal sensual tentang Dokter Banyu. Haruskah dia memohon agar Banyu membawanya ke ranjang saat ini juga? Atau dia harus merayunya pelan-pelan?
Ah, setelah kejadian semalam, Deira tidak tahu apa yang ada di pikiran Banyu Arya. Bisa jadi Banyu malah mencoba menghindarinya. Tapi jika iya, kenapa Banyu datang. Jika memang berniat menghindar darinya, Banyu tidak akan hadir ke reuni ini. Deira punya sedikit harapan.
Deira terkesiap ketika Banyu melihat ke arahnya. Dan tersenyum. Deira mencoba memalingkan wajah untuk menyembunyikan raut wajahnya yang malu karena ketahuan memperhatikan Banyu.
“Kenapa, De? Ada yang aneh dari omonganku tadi?” tanya teman bicaranya. Omongan yang mana? Deira malah tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
“Oh, eh, tidak, kok. Aku hanya teringat sesuatu,” jawabnya penuh basa-basi.
“Oh. Kalau begitu kamu setuju, ya untuk jadi modelku.” Deira mengernyit. Ah, iya, dia seorang fotografer dan punya studio foto di Surabaya. Katanya, sih studionya lumayan terkenal.
“Ah, aku udah lama meninggalkan dunia model. Sejak nikah. Suamiku kurang suka sama dunia seperti itu.”
“Oh, sayang sekali. Padahal kamu berbakat. Aku pernah melihat beberapa pose artistikmu di majalah,” ujarnya.
“Itu masa lalu.”
“Maaf, Rif. Kalau sudah selesai sama Deira, boleh aku bicara sebentar sama dia?” Banyu tiba-tiba menyela pembicaraan mereka.
“Dokter Banyu ..., tentu saja boleh. Kebetulan aku sudah selesai,” kata Arif. “O,ya, ini kartu namaku. Siapa tahu kamu berubah pikiran, tolong hubungi aku, ya.” Arif memberi isyarat menelepon dengan tangannya. Deira tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
“Kamu berniat menghubunginya suatu saat?” tanya Banyu sambil memandangi kepergian Arif.
“Entahlah. Mungkin sedikit bersenang-senang pada profesi lama. Lagi pula senang aja masih ada yang mau memotretku. Yaa.. usiaku, kan udah nggak muda lagi. Kalau Arif berniat motoin aku, itu artinya aku masih menarik, kan?”
“Dee, kamu, tu selalu menarik perhatian laki-laki.”
“Oh, ya?”
“Kamu tahu, kok kalau itu benar,” ujar Banyu sambil tersenyum menggoda.
“Apa artinya aku ini masih menarik buatmu?” tanya Deira balas menggoda.
Banyu tersenyum penuh arti. “Apa kejadian semalam tidak cukup jadi bukti?”
Deira memalingkan wajah. Bayangan tubuh Banyu di tubuhnya membuat gairahnya naik. Banyu mendekatkan wajahnya ke telinga Deira dan berbisik padanya,” Apa kamu ingin mengulangi kejadian tadi malam? Kali ini dengan kesadaran penuh.”
Deira membelalakkan mata. Tak percaya dengan pendengarannya. Dia pikir, setelah menikah Banyu Arya adalah sosok yang tidak mudah tergoda. Namun pendengarannya barusan bilang, jika Banyu sedang berusaha menggodanya. Bagaimana ini? Seharusnya tidak begini kejadiannya. Dia ingin tentu saja, sangat ingin mengulang kejadian semalam. Tapi bagaimana Banyu seolah bisa membaca keinginannya itu?
“Jangan bercanda, Bee. Semalam itu kecelakaan. Dan kita nggak seharusnya mengulangi hal semacam itu. Kita berdua udah sama-sama punya pasangan.”
“Terus kenapa? Apa artinya kamu memilih meniduri laki-laki berondong nggak dikenal dibandingkan aku?” tanya Banyu menyelidik.
“Apa? Apa maksud omonganmu?”
“Aku mengikutimu semalam, Dee. Aku tahu kamu check in di hotel melati sama laki-laki yang masih anak-anak. Seleramu boleh juga, ya. Sudah bosan sama yang matang?” tanya Banyu sedikit melecehkan.
“Berengsek kamu, Bee!” Deira mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. Dia ingin menampar Banyu, tapi dia tidak ingin memancing keributan. Jika sampai terdengar Mas Rio, urusannya bisa panjang.
“Aku nggak ngerti apa yang terjadi sama pernikahanmu. Dan aku juga nggak mau tahu. Yang aku mau sekarang cuma sedikit bersenang-senang denganmu selama di sini. Ayolah, Dee. Kita dulunya pasangan. Tidak ada salahnya sedikit bernostalgia, kan?”
Habis sudah kesabaran Deira. Banyu membuatnya seperti perempuan tak punya harga diri. Dengan menahan amarah, Deira berlari meninggalkan Banyu dan berniat meninggalkan acara reuni yang belum selesai.
“Deira! Deira mau ke mana?” Febi mengejarnya dan berusaha menahannya pergi.
“Acaranya belum selesai. Kita belum foto-foto. Jangan pergi dulu.”
“Maaf, Feb. Aku harus pulang. Ada keperluan yang mendesak.” Deira berusaha menghindar.
“Sebentar lagi aja. Nggak asyik kalau fotonya nggak ada kamu. Sayang banget, ihh. Tunggu sebentar setelah aku bisa nemuin Adhit kita langsung foto. Oke?” Febi menatap dan memohon pada Deira.
“Tapi, Feb ….”
“Deira nggak akan ke mana-mana, Feb. Nih, tangannya udah kupegangin,” kata Banyu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Deira dan menggenggam erat tangan Deira. “Cari aja dulu Adhitnya. Tadi kayaknya dia berlari ke belakang perpustakaan.”
“Iya kata Ervan juga gitu. Makasih, ya, Yu. Tunggu sebentar aku nggak akan lama.” Febi pun berlari meninggalkan mereka berdua.
“Apa-apaan, sih ini. Lepasin, Bee!” Deira menghentakkan tangannya, berusaha melepaskan genggaman tangan Banyu dari tangannya.
“Aku udah janji nggak akan ngelepasin kamu. Jadi bekerja samalah, Dee. Nggak akan lama, kok. Setelah foto-foto kita berdua bebas.”
“Kita? Apa maksudmu dengan kita?”
“Aku punya rencana, Bee. Dan sebaiknya kamu ikuti karena itu menyenangkan,” bisik Banyu di telinga Deira. Perlahan dan tak kentara, Banyu mengecup ujung kepala Deira lembut. Membuat pertahanan Deira lemah dan hatinya tersentuh.
***
Hujan yang tiba-tiba membuat Adhit sedikit gelisah. Telah terjadi sesuatu dengan Shila, pikirnya. Dia sedikit terburu-buru ketika harus memberikan sepatah dua patah kata di beberapa segmen acara. Matanya terus melihat keluar. Hujan yang turun dengan deras, lalu berubah menjadi gerimis, lalu berubah lagi menjadi mendung yang menggumpal. Hatinya kalut. Bagaimana dengan Shila? Apa yang sudah terjadi sebenarnya. Ketika dia tinggalkan, Shila baik-baik saja. Sedikit saja pandangannya lengah, Shila sudah kabur dari ruangan dan hujan mulai menderas.
“Feb, kamu bisa handle acara sisanya, kan? Aku ke belakang sebentar, ya.”
“Jangan lama-lama, ya, Dhit. Bentar lagi closing. Emang nggak bisa ditahan?”
“Nggak. Udah kebelet banget,” katanya sedikit berteriak dan berlari.
Adhit tahu ke mana dia harus pergi. Hanya ada satu tempat yang akan menjadi tujuan Shila di masa lalu. Dan sekarang dia pasti akan menemukan gadisnya di sana. Kebun milik Klub Botani sudah berubah. Kebun yang dulunya hanya sepetak tanah yang diubah menjadi kebun untuk menumbuhkan aneka bunga, kini sudah berubah menjadi green house yang modern, lengkap dengan pengatur suhu untuk menumbuhkan umbi-umbi dari negara empat musim.
Dia melihat Shila sedang duduk di salah satu bangku taman. Dan Shila tidak sendirian. Seseorang sedang duduk bersamanya dan mereka berdua diam membisu.
“Cila?” tegur Adhit. Shila menoleh, seseorang di samping Shila pun menoleh. “Feri?” tanya Adhit heran. Feri berdiri dan tersenyum.
“Aku nggak ngapa-ngapain, kok. Hanya mengambil peranmu sebentar. Sama seperti dulu,” katanya sambil tersenyum.
Adhit mengangguk. “Aku ambil alih sekarang.” Feri berjalan mendekati Adhit dan menepuk bahunya.
“Selesaikanlah segera,” bisiknya. Lalu Feri berjalan menjauhi Adhit.
Setelah kepergian Feri, Adhit duduk di samping Shila dan memandangi bunga-bunga krisan yang sedang bermekaran di GH.
“Sudah dua puluh tahun, ya. Banyak yang berubah dari tempat ini,” katanya memulai pembicaraan.
“Dhit …, apa betul yang dikatakan orang-orang kalau istrimu sudah meninggal?” tanya Shila langsung. Dia tak ingin menunda pembicaraan.
“Cila …, kamu tahu dari mana berita itu?”
“Tidak penting tahu dari mana. Jawab jujur, Dhit. Apa betul dia meninggal tidak lama sebelum aku menikah? Please, Dhit.”
Adhit mengangguk. Tak ada gunanya menyembunyikan apa pun dari Shila untuk saat ini. “Ya, itu betul. Tepatnya tiga bulan sepuluh hari sebelum tanggal pernikahanmu.”
“Kenapa, Dhit? Kenapa? Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku? Kenapa kamu nggak pernah menghubungi aku?”
“Karena kamu menghilang.”
“Enggak. Aku nggak sepenuhnya menghilang. Kamu bisa bertanya sama Mama dan Papa. Mereka sudah kembali ke Cilacap waktu itu.”
“Mereka nggak mengizinkan aku ketemu kamu, Shil,” jawab Adhit sedih.
“Kamu bohong.” Shila menatap Adhit tak percaya.
“Aku nggak bohong. Mamamu berpikir kalau kita ketemu, kondisimu yang sudah stabil akan kembali terganggu. Mamamu juga bilang kalau kamu sudah bertemu penggantiku dan akan segera menikah. Aku bisa mengerti perasaan mamamu, jangan salahkan dia.”
Hujan kembali turun. Shila menangis sejadinya. Dia tak mengerti betapa takdir sangat tidak berpihak pada mereka berdua. Adhit merengkuh bahu Shila yang terguncang dan merebahkan kepalanya di bahu Adhit.
“Maafkan aku, Cila. Maafkan aku,” katanya sambil menciumi ujung kepala Shila.
Di balik hujan, perasaan mereka kembali. Seolah hujan membawa seluruh kenangan dua puluh tahun lalu ke hadapan mereka. Di balik hujan yang kian rapat, mereka menyembunyikan sesuatu. Perasaan rindu yang telah lalu, kenangan-kenangan, dan hasrat yang terlepas tak terkendali.
Semoga hujan kali ini akan membawa pergi ciumanmu padaku, Dhit. Dan menyembunyikannya. ©