Reuni?Hah! Kumpul-kumpul nggak jelas cuma buat pamer.
Setidaknya itu yang ada dalam pikiran Banyu ketika duduk sendirian di dalam pub yang sedang ramai dibicarakan warga gaul Cilacap. Dia tidak menyangka jika Cilacap kini punya tempat nongkrong dengan venue dan live music yang mengasyikan. Sambil menggoyang-goyangkan gelas bir-nya, pikiran Banyu menimbang-nimbang apa sebaiknya dia datang ke acara reuni besok atau tidak? Dia memang belum mengkonfirmasikan kedatangannya, tapi itu tidak akan jadi masalah, bukan? Penambahan satu peserta tidak akan mempengaruhi apa-apa, apa lagi jika tujuan kedatangannya hanya untuk melepas kangen dengan teman SMA.
Namun mengingat kemungkinan dia akan bertemu dengan Deira, membuat Banyu malas datang ke reuni. Perempuan itu bukan hanya meninggalkan kenangan manis di hatinya tapi juga meninggalkan kenangan pahit yang membekas cukup dalam. Secara langsung, bukan Deira yang menorehkan kenangan pahit itu. Tapi kakaknya, Mas Rio. Tetap saja, bertemu kembali dengan cinta pertamanya itu akan membangkitkan kenangan akan perlakuan Mas Rio tepat sebelum mereka lulus SMA.
Lagi pula, reuni hanya untuk mereka yang sukses lahir batin. Bukan berarti aku bukan orang sukses. Sebagai dokter, tentu saja profesiku sangat membanggakan. Banyak orang bisa menjadi Sarjana Teknik dalam satu angkatan, tapi jadi dokter? Paling satu dua.
Pikiran Banyu berkelana semakin dalam, bersamaan dengan hilangnya buih-buih pada gelas bir.
***
(20 tahun yang lalu)
Bola kuning baru saja masuk ke dalam lubang ketika seorang laki-laki berdiri tepat di sampingnya. Banyu menghentikan aktivitas menyodok bola bilyar dan menengadahkan muka untuk melihat siapa yang datang.
“Eh, Mas? Main bilyar juga?” sapanya ketika menyadari siapa yang datang. Kakak sulung Deira.
“Enggak, Yu. Aku cuma mampir. Engg, bisa kita ngomong sebentar, Yu?” Mas Rio kelihatan salah tingkah ketika mengajak Banyu ke tempat yang lebih sepi untuk bicara empat mata.
“Boleh, Mas. Kita ke pojokan sana aja. Mas mau minum apa? Biar saya pesankan.”
“Enggak usah, Yu. Aku nggak lama. Aku cuma mau menyampaikan pesan Bapak.”
Dada Banyu mulai bergemuruh mendengar alasan kedatangan Mas Rio. Dia merasa pembicaraan mereka cukup serius dan pasti menyangkut hubungannya dengan Deira. Banyu mengambil soft drink di show case untuk membantunya meredakan ketegangan. Dia mengambil dua, untuk Mas Rio satu meski tadi Mas Rio bilang tidak perlu.
“Mas mau ngomong apa? Kayaknya serius banget,” kata Banyu sambil menyodorkan botol soft drink yang sudah terbuka. Mas Rio terpaksa menerimanya.
“Gimana hubunganmu sama Ira?” tanya Mas Rio setelah jeda cukup lama.
“Kami baik-baik saja, Mas. Malah rencananya mau sama-sama kuliah di Semarang.”
“Kamu jadi ambil kedokteran?”
“Jadi, Mas.”
“Ira nggak mungkin ambil kedokteran. Minatnya nggak ke sana,” ujar Mas Rio sambil menyesap soft drink-nya. Banyu tersenyum dalam hati. Deira lebih mahir main ‘dokter-dokteran’ daripada jadi dokter.
“Yu, kamu serius sama Ira? Aku lihat kalian berdua lengket banget.”
“Sejauh ini nggak ada perempuan lain, Mas.” Deira sudah cukup. Deira paket komplit. Satu Deira saja tak pernah habis dan terpuaskan. Banyu tidak berniat mencari yang lain.
“Tapi kalian ‘beda’. Bapak nggak suka. Kamu tahu, kan Ira itu satu-satunya anak perempuan di keluarga kami.”
“Perjalanan kami, kan masih jauh, Mas.”
“Apa pun bisa terjadi selama kalian kuliah. Bapak khawatir.”
Seandainya Mas Rio tahu apa yang sudah terjadi, apa mungkin Mas Rio masih bisa bicara seperti ini? Di sini saja, dia dan Deira sudah sering melakukan hal yang dilarang. Hubungan suami istri.
“Kamu harus putus sama Ira, Yu. Itu amanat Bapak,” kata Mas Rio dingin.
“Tapi, Mas ….”
“Kamu tahu kios orang tuamu di pasar, kan? Kamu nggak mau, kan biaya kuliahmu tersendat gara-gara orang tuamu kehilangan kios?”
Banyu tersentak. Dia memang sempat mendengar jika bapaknya menggadaikan kios di pasar kepada orang tua Deira. Jika sampai kios itu diambil karena orang tuanya telat bayar hutang, dari mana lagi sumber penghasilan keluarganya? Sedangkan kakaknya selama ini hanya bekerja membantu orang tua mereka di pasar. Hati Banyu teriris. Darah muda Banyu mendidih dan merasa terhina. Dalam sekejap cintanya pada Deira lenyap.
Deira tak terima ketika Banyu memutuskannya. Dia merasa mereka tak ada masalah apa pun.
“Kenapa kamu tiba-tiba peduli soal perbedaan agama, sih? Kita jalani aja yang udah kita jalani selama ini. Kita saling ngebutuhin, Bee. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu!”
“Kamu cantik. Aku tahu kamu ngebutuhin aku cuma buat muasin napsumu. Kamu bisa cari orang lain selain aku, Dee.”
“Apa kamu bilang? Kita melakukannya karena suka sama suka, Bee! Kamu cinta aku, kan?”
“Karena kamu yang selalu minta. Aku cuma nurutin kamu aja!”
“Kamu jahat!”
“Maafkan aku, Dee. Carilah laki-laki lain untuk memuaskan kamu.”
‘PLAK!’
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Banyu. Dia bisa melihat kesakitan teramat sangat pada tatapan mata Deira sebelum dia berlari meninggalkannya.
***
Gelas bir-nya sudah hampir kosong. Musik yang tadinya mengalun santai sudah mulai menghentak. Beberapa pasangan terlihat bergoyang mengikuti alunan musik. Ingatan Banyu kembali ditarik dari masa lalu. Pertemuan terakhir dengan Deira menyisakan sedikit penyesalan dalam dirinya. Tidak seharusnya dia menyakitinya seperti itu. Deira telah kehilangan keperawanan olehnya. Bagaimana dia bisa menghadapi masa depannya?
Namun Deira cantik. Sangat cantik. Dengan kecantikan seperti itu, laki-laki manapun akan bersedia menikahinya tanpa syarat. Seandainya besok dia datang reuni dan bertemu Deira, perasaan mereka pasti biasa-biasa saja. Dan sesuai janjinya kepada Mas Rio, sampai sekarang Deira tidak pernah tahu alasan Banyu memutuskannya.
Seandainya Mas Rio dan orang tua Deira mau bersabar, mungkin semuanya akan baik-baik saja. Toh, akhirnya dia menikahi perempuan beda agama dan ikut keyakinan istrinya. Dan mereka bahagia sekarang.
Banyu membuka layar ponsel dan memandangi layarnya. Sengaja dia setting wallpapernya dengan foto anaknya yang masih berusia sepuluh bulan.
“Rama,” desisnya. Buah pernikahannya dengan Evita itu kini sedang lucu-lucunya. Jika saja Rama tidak demam, pasti saat ini Banyu sudah mengajaknya ke Cilacap untuk mengunjungi kakeknya yang tiba-tiba sakit.
Banyu masih senyum-senyum memandangi foto Rama ketika didengarnya sebuah keributan dari meja yang tidak jauh darinya. Dua orang laki-laki muda sedang menggoda seorang perempuan yang sepertinya berusia cukup jauh dari mereka. Kedua lelaki itu sepertinya mabuk dan mereka mulai melakukan tindakan yang sedikit melecehkan. Dari mejanya Banyu bisa memperhatikan jika perempuan itu merasa tidak nyaman dengan gangguan yang dialami. Musik terdengar ingar dan orang-orang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tidak ada yang memperhatikan kejadian ini selain Banyu. Dan di sebuah pub, hal seperti ini dianggap biasa.
Ketika dilihatnya tangan salah seorang laki-laki itu mulai tidak sopan meraba bagian tubuh perempuan dan berulang kali dicoba ditepis, naluri melindungi dalam diri Banyu mulai bangkit. Dia berjalan mendekati meja perempuan itu.
“Maaf karena terlalu lama meninggalkanmu, Sayang,” ujarnya sambil duduk di samping perempuan itu. Dia berdoa perempuan bergaun merah ketat ini benar-benar sendirian. Banyu malas jika harus menimbulkan masalah baru.
“Siapa kamu? Kami duluan duduk di sini sama mbak ini!” Salah satu dari laki-laki itu membentak Banyu. Napasnya bau alkohol.
“Aku? Pacarnyalah,” kata Banyu percaya diri sambil menoleh ke arah perempuan berambut lurus sepunggung di sampingnya.
Perempuan di sampingnya memandang Banyu dengan tatapan yang sulit dilukiskan. Seketika darah Banyu mendesir dan dia menyesali keputusannya untuk menolong perempuan itu. ©