BENCI DAN GAIRAH

1254 Kata
“Dee?” Tergeragap Banyu memandang perempuan yang sedang menatapnya tajam. “Kamu bohong. Kamu bukan pacarnya, kan? Ayo sana pergi! Jangan ganggu kami!” usir salah seorang lelaki. “Aku memang pacarnya, kok,” jawab Banyu tanpa melepaskan pandangan dari mata Deira. Mata yang menatapnya dengan kemarahan yang menyala, kesakitan, kesedihan, dan juga kerinduan. “Buktikan kalau memang kamu pacarnya!” tantang laki-laki yang lain. Banyu memutar otak. Dia ingin menyelamatkan Deira dari laki-laki gatal ini. Namun melihat raut muka Deira, dia nggak yakin kalau perempuan ini minta diselamatkan. “Kamu harus menunjukkan bukti kalau kamu itu pacarku,” kata Deira datar. Tatapannya berubah menantang. Pilihan ada di tangan Banyu. Pergi meninggalkan Deira dan tidak peduli pada nasibnya atau tetap di sini, membuktikan kalau dia pacar Deira. Banyu memandang Deira yang kini sedang menunggunya melakukan sesuatu. Kedua alis Deira terangkat sesaat. Banyu berdiri, bergerak selangkah mendekati Deira. Dia menunduk dan mengangkat dagu Deira, lalu melumat lembut bibirnya. Rasanya masih sama seperti rasa bibir Deira puluhan tahun silam. Deira awalnya terkejut, tapi ciuman lembut Banyu sungguh menghanyutkan. Masih sama seperti ciuman-ciuman mereka dulu. Dengan sensasi yang berbeda tentunya. Tanpa sadar dia melingkarkan kedua tangannya ke leher Banyu. Mereka terus berciuman penuh gairah hingga tak menyadari kedua laki-laki yang tadi menggoda Deira sudah pergi. Suara drum yang dipukul terus-menerus membuat keduanya tersadar dan saling melepaskan diri. Meski terhanyut, Deira tak serta-merta bersikap lebih lunak. Dia masih tetap tidak suka pada Banyu mengingat penghinaannya dulu. Setelah napasnya normal kembali, Deira merapikan baju dan rambutnya. Dengan anggun dia berdiri hendak meninggalkan Banyu. Namun langkahnya terhenti oleh jari Banyu yang mencengkeram pergelangan tangannya. “Mau ke mana, Dee?” “Bukan urusanmu,” jawabnya ketus sambil menepis tangan Banyu dan berjalan cepat keluar pub. “Tunggu, Dee!” Banyu meninggalkan sejumlah uang di meja dan mengejar Deira.   “Dee, tunggu dulu. Jangan buru-buru. Kita bisa bicara sebentar, kan?” Banyu meraih tangan Deira ketika sudah berhasil mengejarnya. Dia membalikkan tubuh Deira hingga menghadapnya. ‘Deg!’ Di keremangan suasana pub, wajah Deira tidak terlihat jelas. Namun di pelataran parker yang lebi terang, Banyu bisa menatap wajah Deira lebih jelas. Cantik, kata Banyu dalam hati. Kecantikan yang sangat matang. Riasan sempurna membuat kecantikan Deira semakin terpancar. Entah kenapa dadanya kini bergemuruh lebih keras. “Mau bicara apa, Tuan Banyu Arya Pratama? Cepat sedikit! Waktuku tidak banyak. Aku harus mencari pengganti laki-laki yang kamu usir tadi. Seperti katamu dulu, aku perempuan yang nggak gampang dipuaskan,” kata Deira satir. Banyu salah tingkah. Entah benar atau tidak ucapan Deira, tapi kata-katanya sudah membuat Banyu tidak enak hati. “Apa kabar, Dee?” tanyanya akhirnya. “Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan bersemangat.” Kalau kamu bertanya tentang gairahku, dia sangat menggebu sejak melihatmu, Bee. “Ya, kamu terlihat luar biasa.” Banyu memandangi Deira dari atas sampai bawah. Dia menelan ludah. “Sudah selesai menilainya?” “Dee ….” “Aku sibuk. Sorry.” Deira membalikkan tubuh hendak berlalu, namun Banyu meraih pundah Deira dan membalikkan tubuhnya. Ketika tubuh Deira sudah menghadapnya, Banyu mencium bibir Deira yang sedikit terbuka. Kali ini dia menekan tubuhnya ke tubuh Deira dan satu tangannya mengelus punggung Deira yang terbuka. Dia bisa merasakan tubuh Deira yang tegang, mungkin tidak mengira Banyu akan melakukan tindakan seperti ini. Namun Deira tidak menolaknya, sebaliknya, dia membalas ciuman Banyu dengan tak kalah ganasnya. “Kamu tidak seharusnya melakukan ini,” kata Deira terengah ketika dia melepaskan diri dari bibir Banyu. Dia berusaha meraih oksigen sebanyak-banyaknya. “Kenapa?” tanya Banyu sambil berusaha menyentuh bibir Deira lagi. Namun Deira menghindar. “Karena memang tidak boleh.” “Siapa yang melarang?” tanya Banyu sambil mendekap Deira erat dan kembali menciuminya. Dia mendorong tubuh Deira ke mobil terdekat dan menghimpitnya erat. “Di sini terlalu terbuka, Bee. Kita bisa ketahuan,” bisik Deira sambil melepaskan diri sesaat dari bibir Banyu lalu bergegas menciumnya kembali. “Kamu ingin tempat yang sedikit tertutup? Mobilku di parkir nggak jauh dari sini.” Banyu menciumi leher Deira. “Ini mobilku. Tunggu, aku buka dulu pintunya.” Deira mencari-cari kunci di dalam sling bag-nya dan ketika ketemu dia buru-buru menekan tombol unlock. Banyu membuka pintu belakang mobil dan mendorong Deira masuk. Setelah Deira rebah di bangku belakang mobil, Banyu pun menindihnya. ***  “Kita nggak seharusnya melakukan ini,” kata Deira sambil membereskan pakaiannya. “Apa lagi tanpa pengaman.” Ceroboh! Deira merutuk dalam hati. “Maaf. Aku …., aku terbawa suasana. Mungkin juga karena bir yang kuminum tadi. Nggak seharusnya aku ….” “Sudah terjadi. Mau gimana lagi?” Deira memandang Banyu. Bukan tatapan yang lembut. Ada kemarahan pada tatapan itu. “Maafkan aku, Dee.” “Sebaiknya kamu keluar dari mobilku, Bee. Aku harus pulang. Kamu tahu gimana Mas Rio, kan?” usir Deira. Banyu mengenakan celananya cepat-cepat dan merapikan kaos polonya. “Kita akan ketemu lagi?” tanya Banyu sebelum meninggalkan mobil Deira. “Sebaiknya tidak,” jawab Deira datar. Banyu membuka pintu dan keluar dari mobil. Sebelum menutup pintu dia melongok kembali dan menatap Deira penuh arti. “Ada yang harus aku jelaskan padamu, Dee.” “Sudah selesai. Nggak ada yang harus dijelaskan. Selamat tinggal, Bee.” Deira tersenyum dingin. Banyu mengangguk dan menutup pintu, lalu berjalan menjauhi mobil Deira. Deira mengamati sosok Banyu yang menghilang di balik mobil-mobil yang terparkir. Dia mengembuskan napas lega dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Perasaannya campur aduk. Tubuhnya berkhianat! Sekalipun perasaannya bilang dia harus menjauhi Banyu, tapi tubuhnya menikmati segala sesuatu yang terjadi. Sudah lama dia merindukan sentuhan Banyu. Dan kebersamaan mereka tadi seolah bisa melepas rasa rindunya sedikit. Dan kini, Deira mengharap lebih. Deira ingin terus dicumbu Banyu. Dia kehausan. Dia kelaparan. Tubuhnya mendadak gatal. Tanpa sadar Deira mulai menggaruk di sembarang tempat. “Tidak bisa begini. Aku harus mencari penawarnya,” katanya sambil berpindah ke kursi di belakang kemudi. Sambil melajukan mobilnya keluar dari area parker, Deira memutar otak. Rasa gatalnya harus dituntaskan dan dia tidak mungkin kembali masuk ke dalam pub setelah insiden tadi. Tidak banyak tempat yang dia tahu di kota ini. Tidak ada nama yang bisa dia hubungi. Kalau asal mencari, bisa-bisa lelaki satu malamnya adalah kenalan Mas Rio. Reputasinya bisa hancur jika itu terjadi. Sambil mengemudikan mobilnya lambat-lambat, Deira memperhatikan orang-orang yang berdiri di sepanjang jalan. Mungkin dia bisa memanfaatkan salah satu dari mereka. Dia tidak keberatan jika harus membayar. Seorang pemuda setengah mabuk yang berjalan sempoyongan menarik perhatiannya. Pemuda mabuk cenderung lebih mudah dibujuk tanpa syarat apa-apa. Namun dia harus memastikan kalau pemuda itu sehat dan aman dibawa. Deira menepikan mobilnya dan membuka kaca di sisi penumpang. “Butuh tumpangan pulang?” tanyanya ramah. Pemuda itu mendekat ke arah mobil. “Hallo Tante cantik. Sendirian aja, nih?” “Kamu juga kenapa sendirian?” tanyanya balik. Pemuda itu celingukan. Dia terlihat bingung. “Aku lagi nyari mobilku,” katanya sambil menggoyangkan sebuah kunci dan gantungannya ke arah Deira, sehingga bisa terlihat jelas lambing mobilnya. Deira tersenyum, sepertinya dia menemukan apa yang dicari. “Mau Tante bantu nyari?” tanya sambil tersenyum menggoda. “Tante, kok baik banget, sih? Maulahhh. Aku cape jalan kaki dari tadi.” Dasar pemuda mabuk! Jelas aja dia kecapean. Dia cukup jauh dari area parkir dan masih terus berjalan entah mau sampai mana. Deira pun membuka pintu dan menyuruh pemuda itu masuk. Penampilannya lumayan meski tampangnya masih terlihat kekanakkan. Dengan sedikit rangsangan, Deira yakin bisa membawanya ke tempat tidur. Setelah pintu tertutup, Deira pun melajukan mobilnya. Dia harus segera menemukan tempat yang tepat untuk melepaskan gairahnya yang meluap. ©     
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN