PEREMPUAN MASA LALU

1463 Kata
(3 bulan sebelum reuni)   Pengkhianatan!   Dia tak pernah mengira akan mengalami itu. Sepanjang usia pernikahannya yang tidak bahagia, dia selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Meski dia tidak pernah mencintai perempuan yang telah memberinya tiga anak yang lucu-lucu, tapi dia selalu berusaha memenuhi semua kebutuhan mereka. Bahkan terhadap istrinya, dia memberi kebebasan lebih. Istrinya boleh bekerja selama tidak melalaikan tugasnya mengurus anak-anak.   Namun kebebasan itu ternyata disalahgunakan oleh istrinya. Mungkin istrinya juga merasa jika kehidupan pernikahan mereka penuh kepura-puraan. Tapi berkhianat? Tidak sekalipun Ervan menempuh jalan itu. Pikirannya tak pernah bebas dari satu perempuan. Bagaimana mungkin dia akan mengkhianati istrinya dengan perempuan lain? Sedangkan menikahi istrinya saja sudah seperti pengkhianatan pada perasaannya.   Isak tangis terdengar dari sudut kamar. Sosok dalam kegelapan meringkuk dengan bahu bergetar. Isaknya putus-putus. Seolah dia tak ingin Ervan mendengar suara air mata yang mengalir deras. Namun menahan tangis hanya membuat d**a semakin sesak. Jika waktu bisa diputar ulang, dia mungkin ingin mengulangi kejadian tadi pagi dan membuat saat-saat ini menghilang.   Langkah kaki setengah diseret mendekati sosok yang meringkuk itu. Ketika tubuh tinggi kekar itu berdiri di depan sosok di sudut kamar, bahu yang bergetar itu semakin keras berguncang.   “A-ampun, Pah. Am-pun. Ak-aku berjanji tidak akan mengulangi lagi. Ampun, Pah. Su-sudah. Ak-aku kapok.” Perempuan itu berjongkok, lalu bersujud di hadapan suaminya. Lengan kekar terulur ke arah kepala yang menunduk, rambut perempuan itu ditarik hingga wajahnya menghadap ke arah suaminya.   “Aku sudah berusaha memenuhi semua keinginanmu. Bahkan aku rela menjadi menantu yang tak punya harga diri di hadapan mertua. Demi apa? Demi membuat semua seolah baik-baik saja. Kau pikir aku cinta banget sama kamu? Cuih!” Ervan meludahi muka istrinya. Sungguh dia jijik dengan perempuan yang dinikahi karena perjodohan ini.   “Ak-aku mi-minta ma-ma-af,” ujar istrinya terbata. Dia tidak berani berteriak atau menjerit. Dia takut anak-anak akan mendengar. Dia juga merasa bersalah. Yang tidak dia sangka, reaksi Ervan yang di luar kendali.   “Maaf katamu? Tidak semudah itu kamu minta maaf!”   ‘Plak! Plak! Plak!’   Tamparan keras bertubi-tubi mendarat di pipi istrinya. Lagi-lagi istrinya menahan tangis. Dia terus berdoa jika fajar segera datang dan siksaan ini segera berakhir. Namun waktu berjalan sangat lambat. Detik demi detik seperti adegan slow motion yang tak kunjung menemui akhir.   Melihat istrinya tak berdaya, entah mengapa membuat gairah Ervan bangkit. Selama ini dia selalu menjadi suami yang penurut dan baik hati. Hingga setiap orang yang melihat menyangka jika dia termasuk anggota Ikatan Suami Takut Istri. Dia membiarkan istrinya mengeksploitasi dirinya. Di muka umum dia tidak pernah menolak jika istrinya menyuruh ini itu. Dia juga tidak mengeluh jika istrinya menolak melayaninya. Ervan juga selalu menyerahkan seluruh gajinya pada istrinya dan membiarkan dirinya hanya menerima jatah bulanan.   Ervan menerima semua perlakuan istrinya seolah tak punya kuasa.   Namun kini terbalik. Dia punya kuasa atas istrinya. Dia berhak atas segala perasaan yang ingin diluapkan. Termasuk menyakiti dan memaksa istrinya melayaninya.   Ya, kini Ervan adalah raja. Dan dia menikmati itu. Ditariknya kembali kepala istrinya. Dengan tangan yang bebas, dia membuka risleting celana kainnya dan menarik turun celana dalamnya. k*********a setengah menegang. Dia menyodorkannya ke mulut istrinya.   “Lakukan! Jika tidak kamu tidak bisa lagi mengenali wajahmu sebelum fajar,” ancamnya.   Karena ketakutan, istrinya menuruti kemauan Ervan. Dia membuka mulutnya pelan-pelan dan mulai memasukkan batang kemaluan suaminya itu ke mulut. Ervan memejamkan mata. Dia mencoba menikmati sensasinya dan merasa jika kini dia adalah raja. Dia berhak melakukan apa saja terhadap istrinya. Dan akan dia lakukan.   Ervan mulai mendesah ketika istrinya menyentuhkan k*********a pada dinding mulut. Dia tidak tahu jika istrinya begitu lihai. Titik hujan di luar kamar membuat suhu udara semakin turun. Sambil menunggu sensasi puncak itu datang, Ervan membayangkan seseorang yang sering dia lihat di saat hujan turun.   ***   (23 tahun yang lalu)   Sosoknya yang kuyup di bawah hujan bukan pertama kali ini dia lihat. Namun selalu saja sosok itu begitu memesona dan berkilauan. Butiran air hujan bercampur air mata seperti hujan berlian yang menimpa tubuhnya.   Cantik. Sungguh cantik.   Perempuan seperti dia ternyata begitu memikat ketika hujan turun. Perempuan yang diam-diam dikaguminya. Semakin lama diperhatikan semakin Ervan menyadari jika rasa kagum itu telah tumbuh menjadi rasa cinta. Sayang, Ervan seperti tak punya keberanian untuk mengutarakannya. Dia telah melakukan langkah yang salah dari awal.   Perempuan itu dan tiga perempuan lain selalu bersama-sama. Mereka seperti punya kesepakatan untuk tidak menerima sembarang laki-laki untuk mereka pacari. Ketika Ervan mencoba mendekatinya, salah satu dari tiga perempuan lainnya menghalangi Ervan. Dengan alasan, “Mukamu berminyak. Jijik melihatnya.”   Sungguh alasan yang mengada-ada. Dan perempuan kesukaan Ervan seolah tak enak hati dengan temannya, maka dia pun menjauhinya. Tapi Ervan tidak patah semangat. Dia mencoba cara lain. Didekatinya lagi perempuan yang kelihatan paling baik di antara mereka. Paling lembut juga paling polos. Dan yang terjadi sungguh di luar dugaan. Perempuan polos itu membalas perlakuan Ervan dengan perasaannya.   Perasaan yang terus berkembang sampai mereka sama-sama SMA. Ervan menyadari itu dan dia memanfaatkannya. Semua demi mendapatkan perempuan kesukaannya.   Masih teringat sewaktu mereka SMP, beberapa kali Ervan melihat perempuan kesukaannya itu menangis di sudut sekolah. Ervan tahu, seseorang telah menyakitinya. Namun dia sungguh pengecut, hanya bisa melihat dari jauh saja. Padahal dia bisa saja mendekatinya. Menghibur bahkan memeluknya.   “Cantik!” desis Ervan. Dia mengulurkan tangan seolah menyentuh wajah perempuan itu. Tetes hujan berbaur dengan air mata. Memenuhi wajahnya yang manis.   *** “Feb, are you okay?” Shila melambaikan tangan di hadapan sahabatnya. “Eh, i-iya, Shil. Ada apa?” “Kamu kayak nggak sehat. Mukamu pucat. Ada yang nggak beres?” tanya Shila khawatir. “Aku nggap papa, kok. Emang kenapa?” tanya Febi balik. “Dari tadi kamu ngelamun aja. Dan makananmu nggak kamu makan.” Shila menunjuk pada mangkuk bakso yang masih utuh. Mienya sudah mengembang dan kuahnya sudah dingin. Sementara di hadapannya, semangkuk mie ayam bakso sudah licin tak berbekas. Bahkan kuahnya pun tak kelihatan.   “Kamu laper apa doyan, sih, Shil?” tunjuk Febi pada mangkuk sahabatnya.   “Mumpung lagi di Cilacap, Feb. Kamu, kan tahu udah berapa lama aku nggak ke sini.”   “Dan aku masih penasaran, apa yang akhirnya membuatmu memutuskan untuk datang?”   “Sudahlah, Feb. Jangan membahas itu terus. Seharusnya kamu senang aku akhirnya mau membuka diri. Atau rasa kangenmu itu cuma pura-pura?”   “Ya nggak mungkinlah, Shil. Aku kangen banget sama kamu tahu nggak! Kamu nggak tahu, kan udah berapa lama aku nunggu saat kayak gini. Aku, tuh masih ngerasa bersalah udah ninggalin kamu terminal. Aku nyesel banget, tahu nggak?”   Peristiwa dua puluh tahun lalu berkelebat putus-putus di ingatan mereka. Hujan. Sendirian. Ditinggalkan. Shila menundukkan wajahnya.   “Maaf kalau aku membuatmu mengingat masa menyakitkan itu.” Febi mengelus punggung tangan Shila.   Shila mengangkat wajah dan tersenyum hangat. “Sudah saatnya aku menghadapi dia, kan?” tanyanya. Febi mengangguk.   “Dia juga pasti mengharapkanmu datang. Sudah saatnya kalian bertemu. Dua puluh tahun terlalu lama untuk menyelesaikan masalah.”   “Apa kamu memberi tahu dia tentang kehadiranku?”   Febi menggeleng. “Apa yang terjadi di antara kalian, aku tidak ingin ikut campur dan memperumit keadaan.” “Apa itu artinya aku juga nggak boleh ikut campur tentang urusan asmaramu?” tanya Shila tiba-tiba.   “Whatt??”   “Ayolah, Feb. Kita memang udah lama banget nggak ketemu. Tapi aku masih hapal sama gelagatmu. Kamu itu kalau lagi nyembunyiin sesuatu dariku suka garuk-garuk hidung,” ujar Shila sambil terkekeh membuat Febi tersipu.   “Terus kenapa kamu berkesimpulan kalau aku menyembunyikan soal laki-laki?”   “Karena kamu terus-menerus mendesah dan bolak-balik ngecek HP.”   “Tapi, kan bisa tentang apa aja.” Febi mencoba berkilah.   “Feb ….”   “Oke-oke. Ini memang tentang seseorang. Eits! Tidak! Aku nggak mau cerita. Kamu cukup tahu kalau ada seseorang yang special saat ini. Tentang siapa dia, nanti kamu juga tahu.”   “Apa aku kenal sama orangnya?” Shila masih berusaha menyelidik.   “Sudah cukup. Kita harus pergi sekarang, Shil.” Febi bangkit dari duduknya dan mengeluarkan beberapa puluhan ribu.   “Kita mau ke mana lagi?”   “Aku anter kamu ke hotel, karena aku masih harus mengurus beberapa detail untuk reuni.”   “Tapi aku masih kangen sama kamu, Feb.” Shila terdengar seperti anak kecil yang merengek.   “Oke. Kamu bisa ikut aku. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu ketemu Adhit tiba-tiba,” goda Febi sambil menyerahkan uang kepada penjual mi ayam. Wajah Shila berubah muram tiba-tiba.   “Aku di hotel aja. Mengerami telurku sampai menetas.”   Ucapan Shila membuat Febi tergelak. Dia memeluk Shila sambil berjalan ke arah mobil.   “Ide bagus. Sekalian kamu berlatih di depan cermin, mengatur mimik yang bagus agar tidak terlihat bodoh ketika bertemu Adhit.” Febi merasakan tubuh Shila menegang. “Kamu harus siap, Shil. Saatnya segera tiba.”   Febi benar. Shila harus menyiapkan hati, karena saat bertemu Adhit semakin dekat.   Apa yang harus kulakukan jika nanti bertemu Adhit? ©          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN