TAK DISANGKA

1158 Kata
Karena kelelahan, Deira bangun kesiangan. Ketika dia keluar kamar untuk mengisi perutnya yang berbunyi nyaring, dia melihat Mas Rio dan Mba Raras sedang duduk di ruang tamu bersama seorang pria. Muka mereka semuanya masam. Mas Rio terlihat sangat serius memandangi ponsel yang Deira tahu jika itu bukan ponsel miliknya. Entah apa yang dilihatnya di ponsel itu dan siapa yang bersama Mas Rio, Deira tidak ambil peduli. Dia berjalan begitu saja menuju dapur.   Belum juga dia sampai di depan kulkas untuk mengambil air dingin, Mbak Raras sudah menyusulnya.   “Ira, kamu dicari Mas-mu. Cepetan sana temuin dia.” Mbak Raras menepuk pundak Deira lembut.   “Ira minum dulu, Mbak. Haus.”   “Cepetan. Udah ditunggu. Ntar Mas-mu tambah marah.” Suara Mbak Raras terlihat cemas.   Apa tadi katanya? Tambah marah? Memang sebelumnya marah karena apa? Masa iya gara-gara Deira pulang telat semalam? Ah, berlebihan memang Mas Rio ini.   Deira pun menderap-derapkan langkahnya tanda tidak suka dengan sikap Mas Rio yang memperlakukannya seperti anak kecil. Lain kali, jika dia akan ke Cilacap lagi sendirian, dia nggak akan pulang ke rumah Mas Rio. Aturannya ketat dan banyak banget. Kalah asrama putri!   “Mas manggil Ira?” tanya Deira ketika dia sudah tiba di dekat kakak pertamanya itu.   “Duduk. Ada yang mau Mas tanya sama kamu.”   “Apa, Mas?” tanya Deira setelah dia duduk di kursi kosong berhadapan dengan tamu Mas Rio.   “Ini. Tolong bilang kalau ini bukan kamu.” Mas Rio memberikan ponsel yang sedair dipegangnya kepada Deira. Dengan ragu, Deira pun menerima ponsel itu.   “Apa ini?” tanyanya setelah ponsel berada di genggamannya.   “Buka saja. Nggak di password, kok.”   Deira pun membuka ponsel dan melihat sebuah foto. Agak buram karena diambil pada malam hari dan dari jauh.   “Siapa ini, Mas?” tanya Deira pura-pura tidak tahu. Sebenarnya dia tahu kalau itu adalah foto dirinya saat diseret masuk kamar oleh Banyu. Bagaimana orang ini bisa mendapatkannya, ya. Padahal hotel paviliun itu Cuma hotel kecil jauh dari kota.   “Menurut kamu siapa? Jangan berbelit-belit, Ira. Itu kamu apa bukan? Mas tidak mentolerir kalau ternyata perempuan dalam foto itu adalah kamu.”   “Fotonya buram. Ira nggak bisa mastiin itu Ira apa bukan.”   “Kamu, kan bisa merasa di mana tadi malam. Ada di hotel itu apa enggak? Kalau iya, apa benar laki-laki yang sama kamu itu Banyu? Mantan pacar kamu dulu?”   “Deira nggak bisa memastikan. Mas tanya saja sama yang ngambil foto ini,” tunjuk Deira pada laki-laki di hadapannya. “Deira mau berkemas, Mas. Siang nanti Deira mau pulang ke Semarang.” Deira pun segera berdiri dan bersiap meninggalkan Mas Rio.   “IRA!” panggil Mas Rio kasar. “Duduk!” perintahnya.   “Mas, Ira bukan anak SMA tujuh belas tahun yang bisa Mas bentak-bentak seenaknya, ya. Ira udah dewasa, Mas. Ira tahu yang harus Ira lakukan. Mana yang baik dan enggak buat Ira,” sahut Deira dengan suara meninggi. Dia masih berdiri menghadap Mas Rio. Duduk hanya membuatnya terlihat lemah dan seperti pesakitan.   “Kamu benar, tapi jangan melakukan perbuatan yang bikin malu keluarga! Dan selama kamu di rumah ini, kamu ikut aturan Mas!” bentak Mas Rio sambil berdiri menghadap Deira.   “Aturan bagaimana? Semua aturan Mas itu mengekang Ira! Lama-lama Ira malas pulang ke rumah ini!”   “Semua demi kebaikanmu, Ira! Dan berhubungan sama Banyu itu nggak pernah membawa kebaikan buat kamu. Sejak SMA! Kamu jadi nakal waktu pacaran sama Banyu. Bolos sekolah, motor-motoran, dan prestasimu anjlok! Seharusnya kamu bisa sekolah kedokteran seperti mas-mu yang lainnya!”   “Jangan bawa-bawa nama Banyu, Mas! Dan kenapa Mas begitu benci sama dia?” tanya Deira berusaha mencari kebenaran dari Mas Rio. Selalu dan selalu jika menyangkut Banyu, Mas Rio sering marah-marah nggak jelas.   “Karena dia bikin kamu jadi rusak! Ira ..., Banyu itu nggak baik buat kamu. Mas tahu apa yang sudah dia lakukan sama kamu. Kamu sering bolos dan diam-diam menghabiskan waktu di rumahnya.” Kalimat terakhir diucapkan Mas Rio dengan sedih. “Dan kamu masih ngejar-ngejar dia ke Bandung sampai Mas harus mengancam dia dan ..., dan ....”   “Dan apa, Mas? Apa yang sudah Mas lakukan sama dia?” selidik Deira.   “Ira ....”   “Apa, Mas? Bilang sama Deira apa yang sudah Mas lakukan sama Banyu?” desaknya sambil mengguncang tangan Mas Rio.   “Mas Rio, atas nama Bapak, mengambil kios orang tua Banyu di pasar, Ira,” kata Mbak Raras tiba-tiba. “Maaf, Mas. Udah saatnya Ira tahu. Dan mau sampai kapan ditutupi? Toh, kamu juga merasa nggak enak menyimpan rahasia ini, kan?”   “Apa benar itu, Mas? Yang dikatakan Mbak Raras?” Deira meminta kepastian dari Mas Rio. Walau ragu, Mas Rio akhirnya mengangguk. Deira terpukul. Sedikit terhuyung dia mundur beberapa langkah ke belakang. Lalu dia duduk di kursi terdekat. Potongan-potongan puzzle mulai menyatu di kepalanya.   “Bapak yang nyuruh. Dia nggak suka kamu pacaran sama pedagang pasar yang beda agama. Apalagi beredar desas-desus kalau kamu udah diperawanin sama Banyu.” Mas Rio ikut duduk di kursi dan menjelaskan terbata-bata pada Deira.   “Orang tua Banyu menggadaikan kiosnya sama Bapak buat biaya masuk kedokteran. Mereka bayar nyicil tiap bulan nggak pernah putus, sampai ....”   “Sampai apa, Mas?”   “Sampai kamu nyari Banyu ke Bandung. Bapak marah. Dia ngusir orang tua Banyu dari kiosnya dan mengembalikan semua uang cicilan.”   “Apa? Tapi Ira ke Bandung bukan nyari Banyu. Kami putus sebelum acara perpisahan dan nggak pernah ketemuan sampai reuni kemarin.” Deira memandang mas-nya, kecewa dengan kabar yang baru saja dia dengar. “Jadi, Mas yang nyuruh Banyu mutusin Deira?” tanya Deira tak percaya. Dia memandang Mas Rio dengan perasaan sakit.   Mas Rio mengangguk. Membuat kemarahan Deira naik dan dia tak ingin berlama-lama ada di rumah ini. Dia pun berlari masuk kamar, Mbak Raras mengejarnya.   “Ira, ini bukan sepenuhnya kesalahan Mas Rio. Dia cuma disuruh Bapak. Mas-mu itu sebenarnya tersiksa harus bohong sama kamu terus. Dia itu sayang banget sama kamu dan ingin kamu bahagia.”   “Ira bahagia kalau sama Banyu, Mbak.”   “Kamu mau ke mana, Ira?” tanya Mbak Raras ketika dilihatnya Deira membawa keluar tas kopernya.   “Ke mana aja asal bukan di sini,” sahutnya asal.   “Ira! Tunggu, Ira! Mas, jangan biarin Deira pergi dengan keadaan seperti ini. Cegah dia Mas!” seru Mbak Raras ketika Deira sudah hampir sampai di pintu. Mas Rio geming, tidak berusaha mencegah Deira malah melihat ponselnya.   “Mas!” seru Mbak Raras sekali lagi.   “Biar saja dia pergi. p*****r kayak dia nggak diterima di rumah ini. Bikin sial saja,” kata Mas Rio dingin. Mbak Raras dan tamu Mas Rio melongo mendengar ucapannya.   Mendengar hinaan untuk dirinya, Deira menghentika langkah dan meletakkan kopernya. Dia membalikkan badan.   “Apa maksud, Mas ngomong begitu?” tanyanya marah.   “Mas baru dikirimi video memalukanmu sama laki-laki di hotel. Dan tebak siapa pengirim videonya? Ya, pacarmu waktu SMA. Banyu! Orang yang kamu pikir sayang banget sama kamu. Dia ngirimin Mas video m***m kalian berdua. Dasar p*****r! Pergi dari rumah ini dan jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di sini! Pergi!” usir Mas Rio dengan suara menggelegar.   “Mas! Istigfar, Mas!” seru Mbak Raras mengingatkan.   Darah surut dari paras ayu Deira. Setengah pendengarannya tak ingin percaya dengan kata-kata Mas Rio barusan. Apa maksud Banyu mengirimi Mas Rio video panas mereka berdua? Dia harus mencari tahu. Tanpa berkata-kata, dengan gigi terkatup rapat menahan tangis, Deira meninggalkan rumah itu dengan membawa serta mobil kesayangannya.   Dari kaca spion, dia bisa melihat Mbak Raras tergopoh-gopoh mengejar mobil yang sudah keluar dari garasi. Mbak Raras terus memanggil namanya dan meneriakkan kata-kata agar Deira kembali, tapi dalam hati dia sudah bersumpah tidak akan pernah menemui Mas Rio dan keluarganya lagi.   Maafkan Ira, Mbak. ©    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN