TERUNGKAP

1106 Kata
Sambil melajukan mobilnya kencang-kencang, kepala Deira mencoba mencerna kejadian pada hari ini. Semalam dia dan Banyu bercinta. Banyu yang merayunya lebih dulu dan Deira menyambutnya. Lalu, ketika Deira pikir semua baik-baik saja dan akan terus membaik, yang terjadi adalah sebaliknya. Hari ini semua kebahagiaan dan harapan Deira yang telah dilambungkan tinggi-tinggi seolah dijatuhkan sekuat-kuatnya dan rasanya sakit bukan main.  “Banyu Arya sialan! Dia sudah menghancurkan hubunganku dengan Mas Rio!” desis Deira marah. Tangannya memukul setir mobil berkali-kali.   Ketika lampu merah memberhentikan mobilnya, dia meraih ponsel dalam tas yang dia lemparkan ke kursi penumpang di sebelahnya. Dengan terburu-buru dia menghubungi nomer Banyu. Tidak aktif.   Apa Banyu masih tidur? Apa Banyu sudah check out? Apa Banyu masih di Cilacap atau sudah pergi? Dia tahu keluarga Banyu tinggal di Cilacap dan hotel semalam itu mungkin hotel yang sudah dipersiapkan Banyu untuk menjebak dirinya. Walaupun kecil kemungkinannya Banyu masih di hotel, dia tetap mengarahkan mobilnya ke sana.   Dan perkiraannya benar. Tidak ada lagi mobil Banyu di parkiran hotel. Semalam orang suruhan Banyu mengantarkan mobil Deira ke hotel ini. Mungkin orang suruhan itu juga yang memata-matai dan mengambil foto Deira dan Banyu. Mungkin dia sembunyi di suatu tempat, mengambil foto mereka lalu pergi mengambil mobil Deira.   Dugaan-dugaan, jawaban-jawaban, berkelebat di kepalanya. Deira berusaha mengurai kejadian yang menimpa dirinya sambil menahan rasa sakit di d**a. Dia harus menemukan Banyu dan meminta penjelasan. Dengan perasaan yang tak karuan, Deira melajukan mobil keluar dari area parkir hotel dan mengarahkannya menuju rumah Banyu.   Setibanya di depan rumah Banyu dia dikejutkan dengan pemandangan yang asing. Tempat di mana dulunya rumah Banyu berdiri, kini telah berganti dengan bangunan mini market berlogo merah. Deira memukul setir mobilnya lagi. Sungguh sial!   Apa yang harus dia lakukan sekarang? Kembali ke Semarang? Dia belum pernah menyetir sejauh itu. Tapi dia tidak mungkin meninggalkan mobilnya begitu saja di tepi jalan. Dan perasaannya juga bilang kalau dia harus menemukan Banyu untuk mendapatkan jawaban. Dia pun menghubungi nomor Banyu sekali lagi. Terhubung. Deira mengembus napas lega.   “Bee, kamu di mana? Kita harus bicara,” kata Deira tanpa basa-basi.   [Bagaimana reaksi Mas Rio setelah dia melihat rekaman kita? Seharusnya kamu melihat rekaman itu, Dee. Kamu seksi sekali dan sangat cantik dengan tubuh telanjangmu, sama seperti bintang film porno yang dulu biasa kita tonton.] Banyu langsung mencecarnya, tak menjawab pertanyaan Deira.   “Kamu jahat sekali, Bee. Apa salahku? Kenapa kamu melakukan ini sama aku?”   [Tanya sama Mas Rio-mu itu, kenapa dia melakukan hal itu sama keluargaku? Apa salah mereka? Kenapa? Kamu nggak bisa tanya ke Mas Rio sekarang karena sudah diusir dari rumah? Memang hebat mas-mu itu, adik sendiri pun diusirnya.] Banyu mendengus melecehkan.   “Kamu di mana, Bee. Ayo kita ngomong langsung. Jangan ditelpon begini.”   [Kamu pikir aku masih mau ketemu sama kamu? Nggak sudi, Dee. Jangan pernah temui aku lagi, Dee. Kali ini hubungan kita benar-benar berakhir. Aku puas sudah membuat hidupmu berantakan. Seperti dulu Mas Rio sudah membuat hidup keluargaku berantakan. Kamu tahu, gara-gara perbuatan Mas Rio, Bapak terkena stroke dan belum pulih sampai sekarang. Aku harus jungkir balik menyelesaikan kuliahku dan setelah lulus langsung menopang kehidupan orang tuaku. Kamu tahu, salah satu alasan menikahi istriku dan akhirnya ikut keyakinannya adalah karena keluarga istriku kaya-raya. Aku butuh dukungan keuangan mereka untuk sekolah lagi dan juga untuk membantu keluargaku. Apa kamu sudah mengunjungi rumah lamaku? Rumah kenangan bagi kita berdua itu sudah dijual dan kamu nggak perlu tahu ke mana kami pindah. Selamat tinggal, Dee.]   “Tidak. Jangan, Bee!” teriak Deira berusaha mencegah Banyu menutup telepon. Namun Banyu sudah mematikan teleponnya. Ketika Deira mencoba menghubunginya lagi, teleponnya sudah mati.   Tak kuat menahan tangis, akhirnya Deira menangkupkan tubuhnya di atas setir mobil. Dia menangis tersedu-sedu. Rencana awal dia datang untuk bersenang-senang, yang terjadi sebaliknya. Akhir dari perjalanannya ke kota ini adalah kesakitan yang sama seperti dua puluh tahun lalu, bahkan lebih. Bukan saja hubungannya dengan Banyu yang berakhir lagi, tapi juga hubungannya dengan keluarganya tak bisa diperbaiki. Deira merasa sebatang kara. Harapannya kini hanyalah pulang kepada suami tuanya yang sakit-sakitan.   Sambil tetap berurai air mata, dia mengemudikan mobilnya menuju Semarang. Mungkin dia akan tersesat di jalan. Tak apa, dia butuh perjalanan panjang dan melelahkan untuk membantu otaknya agar tidak menjadi gila.   ***   Setelah mengakhiri pembicaraannya di telepon, Banyu mencabut sim card barunya dan membuangnya begitu saja. Sim card yang khusus dibelinya untuk menyakiti Deira. Tidak akan ada hubungan lagi dengan perempuan itu, walau dia tak menampik ada sedikit rasa bersalah di hatinya. Deira tidak salah, yang salah itu Mas Rio. Namun membalas Mas Rio itu sulit, jalan termudah adalah menyakiti adik kesayangannya, Deira.   Banyu bisa menebak, meski Mas Rio sudah mengusir Deira, tapi pasti ada rasa bersalah yang akan terus membayangi dirinya sampai mati. Bagaimanapun Deira adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluarga mereka. Adik kesayangan mereka. Entah apa yang akan terjadi seandainya tiga kakaknya yang lain tahu masalah ini.   “Piye, Mas? Ada kerjaan lagi buat aku atau sudah cukup?” tanya Marno, lelaki suruhan Banyu.   “Udah cukup, No. Makasih udah bantuin aku.”   “Sama-sama, Mas. Aku sebenarnya juga nggak suka sama keluarga itu. Mentang-mentang kaya, Bapaknya suka seenaknya,” kata Marno sambil mengantongi uang dari Banyu. Lumayan. Jumlahnya bisa buat bayar kontrakan.   “Iya, No. Kamu mau ke mana sekarang?”   “Pulang, Mas. Ganti baju terus markir lagi.” Marno adalah juru parkir di sebuah pusat perbelanjaaan. Banyu mengangguk-angguk dan melambaikan tangan sekilas saat Marno pamit.   Dia memandangi kepergian Marno sambil mengingat kembali beberapa kejadian yang sudah lewat. Sengaja dia membayar Marno untuk mengambil foto ketika dia dan Deira masuk ke hotel. Sayangnya Marno bukan juru foto yang baik. Gambar hasil jepretannya goyang sehingga tidak terlalu jelas dilihat. Namun Banyu tetap mengirimnya ke rumah Mas Rio, dia sudah mempersiapkan hal lain seandainya gambar yang ditunjukkan Marno tidak bisa memengaruhi Mas Rio.   Dulu Marno pekerja bapaknya Mas Rio yang dipecat karena ketahuan menjual barang-barang di gudang dan uangnya masuk kantong pribadi. Itu dilakukan karena bapaknya Mas Rio menolak meminjaminya uang untuk berobat ibunya. Alasannya karena utang Marno sudah numpuk dan belum diangsur.   Ketika Marno memberi tahu Banyu kalau fotonya tidak berdampak hebat pada hubungan Mas Rio dan Deira, Banyu mengirimi Mas Rio video yang diam-diam dia ambil sewaktu dia bercinta panas dengan Deira.   Deira yang bergoyang-goyang erotis di atas tubuhnya, Deira yang melenguh nikmat, Deira yang terlihat sangat cantik ketika mengejang puas. Ah, Banyu akan merindukan tubuh itu, juga permainan Deira yang sedikit liar. Fantasinya sungguh luar biasa, padahal mereka bercinta hanya beberapa jam saja semalam. Apa lagi kalau bercinta semalaman? Dulu dia yang mengajari Deira cara bercinta, kini Deira sangat lihai. Tanpa sadar Banyu menyentuh k*********a yang sedikit mengeras karena membayangkan Deira.   Sayang hubungannya dengan Deira harus berakhir, jika tidak mungkin mereka bisa mengulang lagi malam-malam panas itu berkali-kali. Banyu masuk ke dalam rumah sambil menarik napas. Dia harus melupakan Deira segera dan kembali pada anak istrinya. Bapaknya sudah berangsur pulih dari sakitnya, besok dia bisa kembali ke Bandung. ©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN