“Kamu udah baikan?” tanya Adhit ketika perlahan tangis Shila reda. Hujan juga sudah berhenti turun, namun mendung masih menggelayut.
“Ya. Tapi aku nggak mau kembali ke aula. Aku nggak mau terlihat seperti ini.”
“Ya sudah kamu tunggu saja di sini. Nanti setelah acara beres aku jemput kamu. Naik apa ke sini.”
“Aku bawa mobil, kutunggu di mobil saja,” kata Shila sambil berdiri dan merapikan kemejanya. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan supaya lebih tenang. Shila merasa matanya sembap dan make-upnya pasti tak karuan karena menangis tadi.
“Di mana kamar mandi, Dhit? Aku lupa tempatnya.”
“Mmm, agak jauh ke belakang, sih. Aku antar.”
“Aku bisa sendiri, kok.”
“Sudah, nggak perlu membantah. Yuk!” Adhit mengulurkan tangan. Seperti masa lalu. Bolehkah seperti ini sebentar?
Di dalam kamar mandi, ada cermin kecil yang bisa Shila pergunakan. Dia membasahi wajahnya dengan air lalu mengeringkannya dengan tisu yang dia bawa. Setelah kering, Shila menyapukan bedak tipis-tipis dan tak lupa menyapukan pewarna bibir. Setelah selesai, sekali lagi dia melihat di cermin pantulannya. Lebih baik, pikirnya. Walau masih terlihat jejak air mata di sudut matanya.
“Terima kasih sudah menunggu, Dhit,” katanya berusaha tersenyum pada Adhit yang menunggunya di luar.
“Mau langsung ke mobil?”
“Mmm, ke aula lagi saja. Sayang kalau aku sampai tidak punya foto bersama teman seangkatan,” jawab Shila. Itu benar. Dia perlu foto-foto selama reuni untuk ditunjukkan kepada suaminya.
“Baiklah kalau gitu,” kata Adhit sambil mengisyaratkan untuk pergi meninggalkan kamar mandi. Mereka tidak berusaha bergandengan tangan seperti tadi. Terlalu sembrono dan bisa kepergok teman yang lain. Adhit berusaha menjaga agar tidak ada pembicaraan yang aneh-aneh tentang mereka setelah reuni.
Adhit berjalan di depan, Shila mengikuti di belakang dengan pandangan terus menunduk. Bahkan sampai di aula.
“Aku pulang duluan, ya, Feb. Nanti kita WA-an aja, ya.”
“Makasih, ya, Shil udah datang. Sorry aku nggak bisa nganter kamu, masih harus beres-beres. Adhit, kamu mau anter Shila?” tanya Febi pada Adhit yang sedang berbicara dengan beberapa orang yang pamitan.
“Nggak usah, Feb. Aku bisa pulang sendiri. Nggak usah, Dhit. Kamu bantuin Febi aja,” katanya pada Adhit ketika dilihatnya lelaki itu hendak mengikutinya pergi.
“Tapi, Cil. Kita belum selesai bicara,” kata Adhit perlahan dan setengah menarik tangan Shila.
“Aku tunggu kamu di lobby hotel. Biarkan aku menenangkan diri sebentar, Dhit,” katanya sambil memandang mata teduh lelaki masa lalunya itu. Ada keraguan di sana, juga kecemasan.
“Aku nggak akan lari, kalau itu yang kamu khawatirkan. Kamu tahu aku selalu menunggumu, jadi pastikan kalau kali ini kamu bakal datang. Kalau tidak, kita nggak akan pernah bisa ketemu lagi,” kata Shila mencoba menenangkan sekaligus mengintimidasi Adhit. Dia butuh kepastian dan tidak ingin jika kali ini pertemuan mereka terkendala. Kalau sampai terjadi, Shila tak sanggup membayangkan bagaimana dia akan menghadapi sisa hidupnya.
“Aku pasti datang,” sahut Adhit mantap.
Di dalam mobil, Shila merebahkan tubuhnya ke sandaran dan memejamkan mata. Entah apa yang dia harapkan dari pertemuan dengan Adhit hari ini. Tidak seperti perkiraannya. Bukan jawaban mengapa Adhit meninggalkannya di terminal dua puluh tahun lalu yang dia dapatkan, dia malah menerima kenyataan jika sebenarnya Mama mengetahui apa yang menimpa Adhit. Apa Mama bersekongkol ingin memisahkan dia dari Adhit?
Tiga bulan sebelum menikah. Ada kemungkinan jika dia batal menikah dengan suaminya dan malah menikah dengan Adhit. Ya, itu mungkin terjadi jika Adhit datang mencarinya setelah kematian istrinya. Namun itu tidak harus, kan? Bukankah Adhit lebih memilih menikahi istrinya dan mencampakkan Shila? Bukankah itu alasan mereka berpisah?
Ah, Shila bingung? Sebenarnya, bagaimana perasaan Adhit yang sesungguhnya?
Adhit harus menjelaskan semuanya hari ini. Tidak boleh ditunda lagi. Sekarang dia harus kembali ke hotel, mandi dan bersiap menyambut Adhit yang akan menjelaskan segalanya.
***
Suasana aula hampir sepi. Setelah mengecek semua peralatan dan meminta katering untuk membungkus makanan yang tersisa, Febi membereskan bawaany dan bersiap untuk pulang. Tubuhnya sangat lelah hari ini, namun dia bahagia. Bukan karena acara berjalan lancar, tapi karena selama acar berlangsung, dia hampir selalu didampingi Ervan. Febi merasa hubungannya dengan Ervan semakin dekat dan malam nanti, Ervan berjanji akan mengajaknya makan malam.
“Itu kalau kamu nggak cape jadi panitia seharian,” katanya.
Tentu saja tidak. Mendengar rencana makan malam dengan Ervan saja sudah menjadi mood booster buat Febi. Staminanya seolah kembali terisi dan wajahnya bersemu kemerahan. Dia harus dandan cantik nanti malam. Tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Bisa jadi malam ini adalah malam yang paling menentukan bagi masa depannya.
“Cerah banget mukamu, Feb. Gimana acara reuninya? Lancar?” tanya Mama ketika menyambut kepulangan Febi.
“Alhamdulillah, Ma. Semua berjalan lancar. Tadi sempat hujan, sih untungnya segera reda sebelum acara berakhir. Jadi teman-teman juga bisa pulang tanpa kehujanan.”
“Aneh. Di sini cuacanya cerah, mendung pun tidak. Kok, di sana bisa hujan deras, ya?”
“Ah, biasa itu, Mah. Hujan lokal palingan,” kata Febi sambil masuk ke dalam kamar. Dia berniat membaringkan diri sejenak sebelum mandi dan melakukan sedikit ritual untuk membuatnya terlihat istimewa nanti malam.
Sambil berbaring santai di atas kasur, Febi memutar ulang pertemuannya dengan Ervan beberapa hari terakhir ini. Ervan sudah lebih terbuka padanya. Dia menceritakan alasan perceraiannya dan menyatakan masih trauma untuk menjalin satu hubungan. Febi agak kecewa dengan pernyataan itu. Namun sikap Ervan yang selalu hangat padanya membuatnya sedikit yakin jika dia masih punya harapan. Apa lagi sewaktu dia menceritakan pada Ervan alasan dia masih tetap melajang.
“Aku butuh waktu, Feb. Apa kamu punya waktu untuk menungguku?” tanya Ervan sambil memandang Febi lembut.
“Aku sudah menunggumu selama dua puluh tahun lebih. Apa artinya menunggu setahun atau dua tahun lagi?”
“Tidak akan selama itu. Aku hanya butuh memulihkan rasa percaya diriku pada sebuah hubungan.”
“Van, kamu tahu aku tidak seperti istrimu. Dan kamu juga tahu dengan pasti alasan hubungan kita berakhir. Sekarang Mama sudah memberikan restunya pada kita, apa lagi yang kamu takutkan?” tanya Febi sedikit mendesak. Ervan memandangnya dengan tatapan sedikit ragu.
“Kalau begitu, tetaplah di sisiku, Feb. Yakinkan aku, oke?” kata Ervan sambil mengusap lembut pipi Febi. Ah, betapa Febi sangat bahagia.
Cinta mungkin butuh waktu untuk menemukan tambatannya. Namun Cinta juga butuh dituntun agar tidak tersesat. Dia dan Ervan pernah tersesat dan kini mereka berdua saling menemukan. Bersama, mereka berdua akan menemukan jalan menuju kebahagiaan. Bersama mereka akan saling melengkapi. Kali ini untuk selamanya.
Febi tersenyum mengingat betapa bahagianya dia kala itu. Dan rasa bahagia itu terus membersamainya sepanjang hari hingga berhari-hari. Kata Mama, Febi terlihat semakin cantik dan berseri. Ah, tentu saja. Itu semua karena dia sedang bahagia.
“Katamu, dulu pernah ada laki-laki yang akan menikahimu?” tanya Ervan ketika mereka sedang berbincang ringan di aula. Mengamati keintiman Deira dan Banyu Arya serta beberapa teman lainnya yang sepertinya menemukan cinta lama yang belum usai.
“Ya, Mama dan Papa menjodohkan aku dengan salah satu anak teman mereka.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku kabur di hari ijab kabul,” jawab Febi datar.
“Apa? Wow!” Ervan bereaksi berlebihan. Sepertinya dia takjub dengan perbuatan Febi.
“Karena kelakuan aku Mama Papa menanggung malu dan Papa kena stroke.”
Ervan mendengarkan cerita Febi sambil mengangguk-angguk.
“Aku tidak mau menyerahkan seumur hidupku pada lelaki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, Van. Kami hanya bertemu melalui foto dan sekali pada saat lamaran. Aku menerimanya karena kulihat dia baik, Mama dan Papa juga senang. Tapi ketika hari H, aku sadar kalau aku keliru.”
“Kalau sampai kamu jadi menikah dengan laki-laki itu, mungkin pertemuan sekarang jadi nggak penting lagi, Feb.”
“Kamu benar, semua selalu ada hikmahnya. Walau aku harus menanggung malu beberapa masa, aku percaya kalau suatu hari kita pasti akan bertemu.”
“Terima kasih sudah menungguku, Feb,” kata Ervan sambil meraih tangan Febi dan mengecup punggung tangannya.
Ah, sayap-sayap kupu-kupu bergerak perlahan di d**a Febi. Mereka berebut terbang dan ingin segera mengangkat Febi ke awang-awang. ©