KELEPASAN

1101 Kata
Selama sesi foto bersama, tangan Banyu tidak pernah lepas menggenggam Deira. Kendati Deira berulang kali menepisnya tapi tenaga Banyu lebih kuat. Akhirnya Deira memilih menyerah dan membiarkan Banyu memegang tangannya terus. Ketika selesai berfoto dan teman-teman saling bersalaman, Banyu memilih melambai pada mereka dan menyembunyikan Deira di belakang tubuhnya. Bahkan dia tidak mengizinkan Deira untuk berpamitan. Banyu menarik Deira menjauh dari kerumunan dan membawanya cepat-cepat ke dalam mobil.   “Masuk, Dee,” perintah Banyu.   “Mobilku gimana?”   “Akan aku kirim seseorang untuk mengambil mobilmu nanti.”   “Gila! Mas Rio bisa khawatir dan bertanya-tanya kenapa mobilku pulang sendiri. Kamu mau apa, sih, Bee?”   “Aku juga nggak sebodoh itu, Dee. Kamu tenang saja dan ikuti perintahku. Cepat masuk mobil!” perintah Banyu sedikit ketus.   Akhirnya Deira menurut. Dia masuk ke mobil dan mengenakan seat belt. Dengan muka masam dia memperhatikan Banyu yang duduk di belakang setir dan mulai melajukan mobilnya. Deira terus memperhatikan Banyu, menunggu penjelasan darinya. Namun Banyu bungkan selama dalam perjalanan. Tidak sedikit pun dia melirik ke arah Deira di sampingnya. Tatapannya lurus dan fokus ke jalan.   Deira masih memandangi Banyu ketika mobil akhirnya berhenti di depan sebuah paviliun. Dia memandangi sekitar dan membaca papan nama sebuah hotel melati pada pintu masuk area hotel.   “Di mana kita?” tanya Deira pada Banyu yang sedang bersiap turun.   “Turun, Dee,” perintah Banyu. Deira geming. Mulutnya mengerucut. Banyu turun dari mobil dan berputar ke pintu samping Deira. Dia membuka pintunya dan memaksa Deira turun, lalu setengah menyeret Deira ke arah paviliun di depan mobil.   Sebelah tangan Banyu memegang tangan Deira, sebelah lagi merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kunci. Banyu membuka kunci dengan tergesa. Setelah pintu terbuka, dia mendorong Deira masuk ke dalam kamar.   “Kamu kasar sekali, Bee. Apa, sih maumu?” tanya Deira kesal sambil meraba pergelangan tangannya yang sedikit merah digenggam Banyu.   “Kamu,” jawabnya sambil merenggut Deira ke dalam pelukan dan menciumnya dengan paksa. Dengan kakinya, dia mendorong pintu hingga tertutup.   Meski berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari Banyu, Deira kalah tenaga. Banyu menekan tubuhnya ke dinding dan memegang kedua tangannya. Dia terus menciumi Deira dengan ganas. Dari bibirnya lalu turun hingga ke leher. Ketika didengarnya Deira mulai mendesah-desah nikmat, Banyu melonggarkan pegangannya dan mulai menggerayangi tubuh Deira. Ciumannya pun semakin turun. Bibirnya menyasar d**a Deira.   “Ah, Bee .... Kamu jahat,” rintih Deira. Dia membiarkan tangan Banyu menyusup ke balik roknya dan menyusup semakin dalam ke balik celana dalamnya. Banyu masih hapal apa kesukaan Deira dan di mana titik sensitifnya. Dia bermain-main di bagian itu hingga Deira mengejang.   “Satu,” bisik Banyu di telinga Deira. Lalu dia mengangkat kaki Deira dan membuka risleting celana jinsnya. Bukan hal yang sulit bagi Banyu untuk memasukkan kunci pada lubangnya. Sambil mengecup bibir Deira yang membuka, Banyu berbisik, “Kamu cantik, Dee.”   Deira pun mendesah. Banyu mengguncang tubuhnya dengan kekuatan penuh. Dia pikir, kali ini mereka akan mencapai puncak bersamaan. Deira keliru, Banyu tidak menurunkan ritme meski Deira sudah melenguh dan setengah meracau.   “Dua,” bisik Banyu lagi. Dan dia pun menggendong Deira lalu membaringkannya di tempat tidur. Tanpa melepaskan himpitannya, Banyu memacu Deira. Terus dan terus. Hingga Deira terengah dan melengkungkan tubuhnya. Banyu tahu pasti bahasa tubuh Deira. Dia melepaskan himpitannya lalu mendaratkan bibirnya untuk bermain-main dengan kelamin Deira. Jari-jarinya bermain-main dengan lubang senggama Deira. Dua titik erotis Deira dicumbui dan Deira pun menggelinjang lagi.   “Empat,” bisik Banyu sambil memasukkan kejantanannya. Dan dia pun menemui puncak dengan memeluk Deira dan berbisik, “Lima. Kamu hebat, Sayang.”   Hari sudah gelap ketika mereka selesai bergumul. Deira terlelap puas dalam dekapan Banyu. Hari itu, dia merasa dicintai dan diinginkan. Dia merasa menemukan kembali pengisi locker hatinya yang kosong.   “Dee, ayo bangun, Sayang. Sudah malam. Kamu tidak boleh pulang terlalu larut.” Banyu menepuk pipi Deira lembut untuk membangunkannya. Deira menggeliat kecil.   “Aku ngantuk. Apa nggak bisa aku tidur di sini saja?” tanyanya manja sambil memeluk Banyu erat.   “Kamu pikir aku mau melepaskanmu begitu saja? Kamu harus pulang, Dee. Mas Rio bisa marah besar jika tahu kamu bersama siapa sekarang. Aku nggak mau terlibat masalah dengannya. Ayo bangunlah.”   “Aku bukan anak kecil lagi. Aku bebas menentukan hidupku mau apa dan dengan siapa. Aku mau sama kamu saja, Bee,” kata Deira sambil mengangkat wajah dan mengerucutkan bibir.   “Sama. Aku juga maunya begitu. tapi kita harus pinter-pinter kalau kamu masih mau ketemu aku lagi.”   “Kita bisa ketemu lagi setelah ini?” tanya Deira sedikit girang. Banyu mengangguk.   “Asal kamu berjanji bersikap baik dan nggak bikin kesal Mas Rio.”   “Ada masalah apa, sih sebenarnya sama kalian?” sungut Deira sambil bangkit dari tidurnya dan mengerjapkan mata. Tangannya menggapai-gapai berusaha mengumpulkan pakaiannya. Dia ingin mandi dulu sebelum pulang, tapi ketika dilihatnya jam di ponsel sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dia mengurungkan niatnya dan memilih mandi di rumah saja.   “Masalah biasa. Kakak yang over protected sama adik dan kekasih yang nekat.” Deira senang ketika Banyu menyebutnya ‘kekasih’.   “Mas Rio itu sebenarnya baik, lho. Jangan terlalu sentimen sama dia.”   “Iya, iya. Dia emang baik. Dia cuma ingin yang terbaik buat adik tersayangnya,” kata Banyu sambil melilitkan selimut ke tubuhnya dan berjalan menghampiri Deira yang sedang berpakaian.   “Kamu senang hari ini?” tanyanya lembut sambil membelai bibir Deira.   Deira menggigit bibir Banyu sekilas lalu menjilat dan mengulumnya. “Kamu nggak akan tahu sudah berapa lama aku merindukan hal seperti ini, Bee.” Setelah selesai berpakaian, Deira melingkarkan tangannya di leher Banyu.   “Apa kita benar-benar bisa ketemu lagi? Karena ..., karena aku masih ingin kayak gini.”   “Berapa kali?”   “Berkali-kali,” jawab Deira sambil mendaratkan ciuman singkat di bibir Banyu, membuat lelaki berdada bidang itu terkekeh senang.   “Kamu nggak capek?”   “Cape tapi puas.” Banyu pun tertawa mendengar jawaban Deira lalu mencium bibirnya mesra.   “Kamu beneran harus pulang, deh. Kalau tidak, aku bisa kehilangan kendali.”   “Aku suka kalau kamu kehilangan kendali. Tapi kamu benar, aku harus pulang. Mas Rio sudah bawel,” kata Deira sambil melepaskan diri dari Banyu ketika dilihatnya ada pesan WA dari Mas Rio.   ***   Sesampainya di rumah, Deira disambut muka masam Mas Rio. Namun dia sedang malas untuk berdebat. Suasana hatinya sedang bahagia, dia tak mau merusaknya dengan sikap Mas Rio yang kelewatan menjaganya. Padahal dia bukan anak SMA berumur tujuh belas tahun yang punya jam malam. Dia sudah cukup tua untuk bisa bertanggung jawab pada diri sendiri.   “Ira capek, Mas. Ira langsung tidur, ya,” katanya sambil melewati Mas Rio begitu saja dan tak memedulikan kakaknya yang memanggilnya berulang kali dengan suara yang cukup keras.   Di luar kamar, dia mendengar Mas Rio sedikit berdebat dengan istrinya. Mbak Raras menganggap Mas Rio sedikit kelewatan karena memperlakukan adiknya seperti anak remaja belasan tahun. Dari balik pintu kamar, diam-diam Deira tersenyum. Dia cukup senang mengetahui Mbak Raras memihak dirinya. Sambil bersenandung ringan, Deira menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah shower dia mengingat kembali cumbuan Banyu padanya.   Ah, dia memang tidak bisa menolak. Meski Banyu sempat melecehkannya, namun dia tak berdaya ketika kulit Banyu menyentuh kulitnya. Tanpa sadar, Deira mulai mengelus-elus tubuhnya sendiri. Dan ketika jarinya meraba bagian bawah yang basah, dia membiarkan jari-jarinya bermain-main di sana. ©  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN