BARA DENDAM

1302 Kata
Hastuti menyalami Ragil, Pras, dan Eko bergantian. Bagi Hastuti, tidak ada yang berubah pada diri mereka. Muka mereka masih sama-sama menyebalkan. Bedanya hanya terletak pada kekencangan kulit muka saja. Jika dulu kulit muka mereka masih kencang, kini sudah sedikit kendur.   Mereka mengajak Hastuti tertawa, lalu meminta maaf dan bilang, kalau semua itu hanyalah kelakuan anak muda zaman dulu. Dan tentunya akan jadi kenangan yang membekas yang bisa ditertawakan hari ini. Hastuti mengiyakan, untuk sementara dia mengikuti saja arusnya. Dengan manis Hastuti terkekeh dan bilang kalau memaafkan mereka semua. Seperti katanya kepada Wijat, semua adalah masa lalu.   Ketika sedang berbicara dengan ketiga teman Wijat, diam-diam Hastuti mencuri pandang ke arah Wijat. Dia sudah tahu jika sejak dulu Wijat sudah menarik dengan caranya. Dia memang sedikit urakan, sering bentrok dengan geng anak Fisika yang diketuai Ardian. Namun kini, kelelakian Wijat terlihat sangat matang dan itu membuat Hastuti menahan napas berkali-kali tiap Wijat secara tak sengaja menyentuhnya.   Dia tahu, tak boleh menjalin hati dengan mangsa. Bisa-bisa batal memangsa dan terjadi sebaliknya, dia yang akan dimangsa. Namun Hastuti tidak bodoh. Dengan koneksi yang dimilikinya, dia bisa tahu secara detail seperti apa dan bagaimana Wijatmoko.   Hidup sebagai simpanan beberapa perempuan tua yang kaya raya dan kesepian. Suka ngedugem dan menjadi member premium di beberapa klub eksklusif. Bisa bekerja dengan otaknya tapi lebih lihai dengan batangnya. Dan sekarang, Wijatmoko, laki-laki simpanan Bu Isye, manajer di perusahaan lokal yang selalu menjadi saingan Eugene suaminya, terlihat berusaha mendekatinya. Hastuti tidak tahu apa maksudnya Wijat terlihat antusias mendekatinya. Namun baginya itu merupakan satu keuntungan. Selain bisa membantunya untuk melaksanakan rencananya membalas dendam, Wijat juga bisa berguna untuk menyelimutinya karena Eugene sekarang lebih sering tinggal di kantor pusat di Jerman. Meninggalkan Hastuti sendirian dan kesepian di Jakarta.   “Ayok, ayok, kita foto dulu sebelum bubar!” teriak Febi memberi perintah.   Seperti anak SMA, semua patuh dan berdiri berjajar di depan panggung untuk berfoto. Yang laki-laki sebagian berdiri di atas panggung. Adhit dan Shila masuk ke aula ketika peserta reuni sedang sibuk ambil posisi. Mata Shila sedikit sembap. Namun tak ada yang memperhatikan karena suasana sedang riuh. Juga tidak ada yang memperhatikan jika tangan Adhit selalu menggandeng tangan Shila. Dan dia juga membimbingnya untuk berbaris dan difoto. Tidak ada yang memperhatikan kecuali, Ervan. Dia memandangi keintiman mereka dengan mata yang penuh amarah.   Tidak ada juga yang memperhatikan ketika Banyu menggenggam tangan Deira, sementara Deira terus bersungut-sungut karena tidak suka pada perlakuan Banyu yang mengintimidasi. Juga tidak ada yang memperhatikan, ketika beberapa kali Wijat menyentuh pinggul Hastuti ketika akan difoto dan diminta merapat. Hastuti membiarkannya. Sepertinya akan lebih mudah untuk menjerat Wijat, katanya dalam hati.   “Habis ini mau ke mana, Tik?” tanya Wijat ketika akhirnya mereka bubar dan sibuk dengan urusan masing-masing.   “Kenapa? Kamu mau ngajak aku ke suatu tempat?”   “Kita jalan-jalan dulu, yuk! Kamu bawa kendaraan?” tanya Wijat. Hastuti menggeleng.   “Kalau nggak keberatan kita naek motorku. Sorry cuma ada motor. Aku nggak dapet mobil sewaan.”   “Nggak papa. Tapi mungkin bakal sedikit merepotkan karena aku pake rok,” tunjuk Hastuti pada rok spannya.   “Ah, kalau naik motor rokmu bakalan naik dan sedikit tersingkap,” kata Wijat sambil melepaskan jaketnya dan melingkarkannya di pinggul Hastuti lalu mengikatnya.   “Kamu baik banget. Terima kasih, Wi.”   “Sama-sama. Yuk berangkat,” kata Wijat mengulurkan tangan. Hastuti menyambutnya. Mereka berjalan menuju tempat parkir sambil bergandengan. Persis anak SMA yang dimabuk cinta.   ***   Mereka berkendara tanpa arah tujuan. Menyusuri jalan-jalan utama Kota Cilacap lalu masuk ke jalan-jalan yang lebih kecil. Terakhir, mereka pergi ke Pantai Teluk Penyu dan memarkir motornya di bawah pohon kelapa lalu berjalan dengan bertelanjang kaki ke arah pantai.   “Kamu sudah berkeluarga, Tik?” tanya Wijat mengawali percakapan yang lebih serius di antara mereka.   “Sudah. Suamiku warga negara Jerman dan kini tinggal di sana.”   “Wah, LDR-an, dong.”   “Ya, begitulah.”   “Sudah punya anak?”   “Belum. Mungkin tidak. Suamiku kurang suka anak kecil. Menurutnya punya anak itu membutuhkan biaya besar. Dia lebih memandang anak itu investasi yang abu-abu. Belum bisa dipastikan menguntungkan atau tidaknya.”   “Wah, unik juga pemikiran suamimu. Kamu sendiri giman, nggak pengen punya anak?”   “Aku masih menikmati kehidupan lajangku. Kalau kamu, kenapa belum menikah?”   “Kok, tahu kalau aku belum nikah?”   “Feeling saja.”   “Aku belum ketemu orang yang tepat.”   “Yang kayak apa perempuan yang tepat bagimu?”   “Aku nggak tahu. Nggak ada kriteria khusus.”   “Yang penting dia berduit. Ya, nggak?” kata Hastuti sambil mengedipkan mata.   “Kok, kamu ngomong gitu?” tanya Wijat merasa nggak enak.   Hastuti melingkarkan tangannya di pinggang Wijat dan mendekatkan tubuh Wijat ke tubuhnya. “Kamu itu terkenal di kalangan tante-tante kaya. Aku sebenarnya pernah ikut arisan buat ngedapetin kamu. Sayang aku nggak menang kocokan. Pas giliranku, cowoknya udah ganti. Jadi sekarang aku beruntung bisa mengenal kamu secara pribadi. Syukur-syukur bisa ngajak kamu check in.”   “Tapi tarifku mahal, lho sekali check in.”   “Sebut saja, aku bisa bayar, kok. Kamu terima transferan, kan? Yang penting aku bisa merasakan seperti yang dibilang perempuan di grup arisanku. Jika aku puas, aku bisa merekomendasikan kamu sama mereka. Gimana?”   Wijat terkekeh. “Kamu terus terang sekali.”   “Bukannya itu maksud kamu ngedeketin aku. Karena kamu juga tahu kalau aku punya cukup uang untuk membayarmu.”   “Baiklah. Kita deal. Mau dimulai kapan?”   “Sekarang juga. Ayo kita ke tempatku!” Hastuti menggandeng tangan Wijat dan menariknya dengan sedikit tergesa. Membuat Wijat sedikit berlari untuk mengimbangi langkah Hastuti.   ***   Hastuti terengah ketika Wijat memacunya kuat-kuat. Entah sudah berapa lama mereka saling belit, saling lumat dan saling meraba. Sepertinya tak pernah akan berakhir. Sudah berkali-kali Hastuti mencapai puncak dan dia mulai kehilangan kekuatan untuk bertahan. Sementara Wijat, masih segar bugar dan terus memacunya dengan berbagai posisi yang enak. Hastuti ingin bilang, cukup. Tapi dia tidak mau terlihat kalah. Dia harus bisa mengimbangi Wijat.   Dengan Eugene, dia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Kejantanan Wijat tak kalah dengan milik Eugene. Pantas saja teman-teman arisannya selalu memuji-muji Wijat. Ternyata mereka tidak berlebihan. Hastuti sedang membuktikannya kini.   “Apakah aku cukup memuaskanmu? Bilang kalau kamu menyerah,” bisik Wijat di telinga Hastuti.   “A-ku, ti-dak, a-akan, me-nye-rah,” ujar Hastuti terbata.   “Baiklah jika itu maumu,” kata Wijat dan dia mulai memacu lagi. Jika begini terus Hastuti betulan akan kalah. Dia harus membalikkan keadaan.   Dengan sisa tenaga, Hastuti memaksa mengangkangi Wijat. Woman on top. Dia yang menjadi pengendali sekarang dan Wijat harus mengikuti permainannya.   “Aduh, ahh, kamu bener-bener hebat, Tik, “racau Wijat membuat Hastuti tersenyum. Lalu dia pun mulai bergoyang dan menggerak-gerakkan urat-urat k*********a. Membuat Wijat merasa dipijit dan dan dielus bersamaan. Sensasi yang luar biasa.   Ketika dilihatnya Wijat mulai tak tahan, Hastuti bergoyang semakin lincah dan mengurut kejantanan Wijat lebih intens. Hasilnya, Wijat memeluk tubuh Hastuti dan menegang bersama.   “Kita harus sering melakukan ini,” kata Wijat sambil terengah dan membiarkan Hastuti berguling ke sampingnya.   “Hah? Sering?”   “Jadikan aku gundikmu, Tik. Aku akan melayanimu setiap malam dan kamu hanya perlu memberiku tempat tinggal.”   “Penawaranmu menarik sekali. Tanpa uang jajan, uang skin care, uang clubbing dan pengeluaran ekstra lainnya.”   “Aku menyukaimu. Karena itulah aku menjadi murah buatmu.”   “Kamu dulu membenciku.”   “Itu dulu. Sekarang beda lagi.”   “Aku hidup bertahun-tahun dengan perasaan hina yang sudah kamu sematkan buatku, Wi. Gara-gara kalian aku jadi kayak sekarang. Kamu nggak tahu apa yang sudah kualami!” Hastuti mendengus dan bangkit dari tempat tidur. Dengan tubuh telanjangnya, dia berjalan ke arah nakas di mana tas-nya tergeletak.   “Katanya kamu tidak dendam.” Wijat ikut bangkit dan duduk bersila di atas tempat tidur.   “Aku bohong. Aku dendam setengah mampus sama kalian. Kamu pikir aku datang ke sini buat apa? Buat balas dendam sama kalian, tau, nggak!” Hastuti menyelipkan sebatang rokok di bibirnya dan membuka jendela kamar.   “Maafkan aku, Tik. Jika saja ada yang bisa kulakukan agar kamu memaafkanku, akan kulakukan. Apa saja,” kata Wijat sambil tertunduk. Dia tak berani beradu pandang dengan Hastuti dan melihat bara menyala di matanya.   “Apa pun?” tanya Hastuti sambil menyalakan rokoknya.   “Apa pun.”   “Aku akan mengabulkan permintaanmu, menjadikanmu gundikku dan kamu harus memutuskan semua hubungan dengan perempuan yang menjadikanmu simpanan. Kamu cukup melayaniku saja.”   “Apa?! Tapi itu artinya ....”   “Kamu bilang apa pun. Itu syaratnya. Terserah aku, sih.” Hastuti mengembuskan napas keluar jendela.   “Jika aku menolak?”   “Ya, siap-siap aja nerima perlakuan memalukan seperti puluhan tahun lalu, waktu kalian ngerjain aku di hadapan tiga ratusan siswa. Ingat?”   Wijat begidik mengingat peristiwa itu kembali. Meski dia yang mengomandoi untuk mempermalukan Hastuti waktu itu, dia tidak akan mau jika keadaannya dibalik. Dia tidak mau ada di posisi Hastuti. ©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN