SHILA
Febi mengirimiku foto Adhit bersamanya. Baru diambil ketika mereka sedang bersiap untuk acara reuni. Aku memandangi foto itu dengan perasaan rindu yang sulit dilukiskan. Sekian puluh tahun menyimpan kenangan tentangnya dalam locker di hatiku, akhirnya hari ini locker itu kubuka. Febi benar, aku harus siap menghadapinya. Bukankah sekarang kami berdua sudah berbeda? Aku punya kehidupan pernikahan sendiri, Adhit juga. Tidak ada yang perlu ditakuti. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Setelah pertemuan hari ini, aku akan menutup locker itu rapat-rapat lalu membuangnya.
Aku harus menyelesaikan perasaanku. Itu tujuan utamaku datang ke sini. Ada rasa penasaran yang harus kutemukan jawabannya. Dulu aku menolak mencari tahu dan memilih berlari. Hasilnya, sepanjang pernikahanku dengan suami, aku kehilangan sebagian emosiku. Aku sulit terharu dan menangis. Aku juga sulit tertawa lepas. Suamiku berpikir itu karena aku orang yang serius dan terlalu sering berkutat dengan angka-angka. Aku membiarkan suamiku beranggapan begitu dan tidak ingin dia mengetahui kenyataan sebenarnya.
“Kamu yakin akan pernikahan ini?” tanya Mama sesaat sebelum ijab kabul.
“Ma, ini sudah mau acara. Tentu saja Shila yakin.”
“Mama hanya ingin kamu bahagia. Kamu tidak harus menikah untuk menyenangkan Mama.” Aku memeluk Mama. Dia perempuan yang paling memahami perasaanku.
“Semuanya harus ada akhirnya, Ma. Seharusnya Mama bahagia kalau Shila memulai hidup baru dan mengubur yang lama.” Aku merangkul Mama berusaha menenangkannya. Seharusnya aku yang ditenangkan pada saat seperti ini.
“Maafkan Mama. Cuma Mama merasa kamu sedang berlari. Sedang berkompromi dengan perasaanmu. Padahal pernikahan bukanlah sebuah kompromi.” Dia memang mamaku. Semua yang dikatakannya benar.
Bukan berarti aku tidak mencintai suamiku, aku menyayanginya dengan cara yang berbeda. Dan yang terpenting, dia menyayangiku dan aku percaya dia akan membahagiakanku. Dengan begitu aku bisa tenang menyerahkan hidupku bersamanya. Namun bagiku, cinta sejati hanya terjadi satu kali seumur hidup. Dan itu sudah terjadi dengan Adhit.
Kuraba cincin bermata merah delima pemberian mama Adhit. Dulu dia bilang, aku harus selalu mengenakannya jika masih mencintai Adhit. Dan aku masih menyimpan rasa cinta itu sehingga cincin ini selalu kukenakan. Cincin inilah yang terkadang mengobati perasaan rinduku padanya. Rasanya seperti sedang berdialog dengannya. Entah kenapa jika aku merasa bahwa Adhit masih mencintaiku dan dia tidak sungguh-sungguh mau putus denganku dulu. Jawaban itulah yang harus kudapatkan sekarang. Alasan kenapa dia memutuskanku. Mungkin setelah aku tahu jawabannya, emosiku akan kembali.
Aku rindu hujan. Hujan yang selalu datang ketika aku menangis. Namun sudah dua puluh tahun ini aku tidak bisa lagi menangis dengan hujan.
Febi menghubungiku dan bertanya kapan aku akan datang. Sudah ada beberapa teman yang datang dan mereka kini sibuk bernostalgia.
[Kamu ingat Hastuti? Temanmu di Klub Botani? Sekarang dia jadi cantik]
[Dan Deira, dia masih tetap cantik dan menawan. Kamu ingat, nggak dulu dia pacaran sama siapa?]
Banyu Arya, tulisku.
[Dia datang juga padahal nggak ngasih konfirmasi. Dan tebak, mereka sekarang lagi ngobrol berduaan!]
Aku tersenyum-senyum membaca laporan langsung Febi dari lokasi reuni. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum acara dimulai. Aku memilih untuk terlambat datang agar tidak terlalu menjadi perhatian. Entahlah, aku merasa kedatanganku pasti akan menyita perhatian orang-orang. Dulu aku dan Adhit adalah pasangan paling populer di SMA. Setidaknya orang-orang pasti penasaran apa yang akan terjadi pada saat kami berdua bertemu.
Aku mengetikkan sesuatu di layar ponsel, tapi kuhapus lagi. Mengetik lagi, hapus lagi. Aku ingin bertanya sesuatu tapi ragu. Kemarin, ketika aku sedang keliling Cilacap sendirian, aku menemukan kafe yang kelihatannya asyik. Ketika aku masuk, aku melihat Febi bersama seseorang yang sepertinya aku kenal. Mereka cukup intim dan sedang berpegangan tangan di atas meja.
Sebenarnya aku ingin menegur Febi, tapi urung. Febi sedikit tertutup meski pada aku sahabatnya. Aku takut jika menegurnya akan membuatnya malu atau apalah. Jadi aku memilih duduk di sudut yang sepi dan menunggu sendiri sampai Febi mau bercerita tentang laki-laki itu.
Baru pagi ini aku ingat, kalau laki-laki itu adalah Ervan. Dulu dia anak basket, satu klub dengan Feri. Ah, apa Feri akan datang juga hari ini? Mengingat kejadian ketika aku kelas dua membuatku senyum-senyum sendiri.
Jika benar laki-laki itu adalah Ervan, aku sedikit kesal sebenarnya. Karena Ervan bukan laki-laki yang menyenangkan. Ervan, aku, dan Febi pernah satu SMP bareng. Sekelas lagi. Lalu kami masuk di SMA yang sama tapi di kelas satu yang berbeda. Baru ketika aku kelas dua, aku sekelas lagi dengan Febi dan Ervan masuk Biologi kalau tidak salah.
Sewaktu di SMP, Ervan bukan cowok yang menyenangkan. Febi pasti ingat kalau dulu dia pernah menggodaku dan Rani, teman satu geng. Kania yang kami daulat sebagai ketua geng langsung mengeluarkan peraturan untuk kami berempat bahwa Ervan tidak boleh sampai jadi pacar salah seorang dari kami. Lagi pula Ervan terkenal playboy. Ketika di SMA saja dia terkenal suka tebar pesona pada adek kelas dan memacari mereka tiga sekaligus. Mungkin karena dia anggota tim basket, jadi terlihat keren.
Di SMA pun, bukan sekali dua kali Ervan berusaha mendekatiku dan menjelek-jelekkan Adhit. Aku tidak mengerti, bagian mana dari Ervan yang menarik bagi Febi. Dan apa mereka sudah berhubungan sejak SMA atau baru ketemu lagi pas reuni? Aku tahu Febi belum menikah. Agak sulit memang untuk perempuan idealis dan pemilih seperti dia untuk bertemu laki-laki yang pas. Tapi kalau laki-laki itu Ervan, kok sangat disayangkan, ya? Ah, sudahlah. Aku nggak berhak menilai hubungan orang, hubunganku sendiri aja nggak beres. Bisa jadi Ervan sudah jadi laki-laki yang lebih baik sekarang. Waktu bisa membuat seseorang menjadi lebih bijak.
Sudah jam sepuluh lewat. Sudah waktunya aku pergi. Sengaja aku menyewa mobil untuk datang ke reuni. Setidaknya jika aku harus menangis nanti, menangis di dalam mobil lebih baik ketimbang menangis di atas motor. Kuraih sling bagku dan mengenakan sepatu sporty. Hari ini aku memilih berpenampilan sporty daripada feminim. Celana kain, dan kemeja santai berlengan pendek. Rambut sebahuku yang dulu keriting kini sudah lurus dan kubiarkan tergerai. Kuperhatikan sekali lagi tampilanku di dalam cermin. Cukup membuatku percaya diri dan tidak munafik, aku memang ingin terlihat cantik ketika bertemu Adhit. Aku ingin Adhit sedikit menyesal pernah mencampakkanku.
***
Sebelum melangkah masuk ke aula. Aku mengatur napas. Dari luar bisa kudengar suara ingar bingar musik dan pidato-pidato entah siapa. Di depan aula, tiga orang lelaki menjadi penerima tamu dan tiga orang perempuan menjaga buku tamu. Aku tidak mengenali mereka semua. Aku tersenyum pada penerima tamu laki-laki dan menulis namaku di buku tamu. Sesaat setelah kutulis nama dan menerima souvenir reuni, salah seorang dari mereka memandangiku. Aku memberinya senyuman. Selangkah dari meja tamu, bisa kudengar mereka saling berbisik, menyebut namaku dan nama Adhit.
Di dalam aula yang begitu ramai, aku sedikit kehilangan arah. Tapi bisa kurasakan tatapan-tatapan ingin tahu terarah padaku. Baru Febi yang pernah kutemui yang lainnya aku tidak hapal. Banyak perubahan pada diri mereka. Ketika aku sedang melangkah menuju meja prasmanan untuk mengambil minum – aku sangat membutuhkannya untuk saat ini – aku merasakan tatapan intens seseorang dari arah panggung. Dan ketika kupalingkan wajahku untuk balas menatapnya, aku melihatnya.
Adhitya Dharmawan sedang memandangiku dengan penuh kerinduan. Setidaknya itulah yang kurasa. Dia tersenyum padaku, aku pun melakukan hal yang sama. Kami saling pandang untuk beberapa saat sebelum temannya menyentuh bahu dia. Dia memandang padaku lagi, aku mengangguk.
Jangan khawatir, Dhit. Aku akan tetap di sini. Aku datang untuk bertemu denganmu. ©