Bab 9

1376 Kata
Angela tidak setuju saat Xavin mengatakan kalau ia akan membawa anak dan istrinya pindah ke New York dan akan melebarkan perusahaannya di New York dan mungkin ia ingin menjual asset yang ada di Los Angeles. Namun, Angela benar-benar tidak setuju kalau putranya itu meninggalkan kota kelahiran, karena sekarang yang Angela punya hanya Xavin, anak satu-satunya, sedangkan suaminya sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu. Angela juga tidak ingin meninggalkan Los Angeles, ia sudah nyaman berada di sini, ia tidak ingin meninggalkan kota kelahirannya, di sini banyak sekali kenangannya sejak lahir hingga menjadi nenek seperti ini. Ibunya Xavin itu yakin pasti Raline yang mempengaruhi Xavin untuk pindah ke New York, sejak awal Angela memang tidak menyukai Raline, karena baginya Raline hanya model yang mengandalkan kecantikannya tetapi tidak mempunyai hati, beda sekali dengan Grace, si menantu kesayangannya yang bisa menjadi istri, ibu, dan menantu yang baik, tetapi sayangnya Grace telah pergi dan peran itu digantikan oleh Raline, si perempuan yang tidak tahu apa-apa menurut Angela. Angela menatap putranya itu dengan tatapan tajam. “Ibu tidak mengizinkan kau pindah ke New York, kau tidak bisa seenaknya meninggalkan kota kelahiranmu. Untuk apa kau membuka perusahaan di sana, sedangkan di sini kau sudah bisa memimpin dengan baik? Untuk apa kau pindah ke New York, sedangkan di sini kau mempunyai kehidupan yang layak? Yang Ibu punya hanya kau, ibu tidak mau kau pindah ke New York dan meninggalkan ibu sendiri di sini. Apa kau menjadi anak yang durhaka?” Angela memang selalu mempunyai prinsip sendiri, kalau ia tidak menyukai sesuatu, maka dengan terang-terangan ia mengatakan kalau ia tidak menyukainya. Seperti halnya sekarang ia sama sekali tidak memikirkan perasaan Xavin saat ia mengatakan kalau ia tidak menyetujui putranya itu pindah ke New York. Xavin juga memiliki sifat yang keras, apa yang ia inginkan tidak bisa dibantah, termasuk hal ini, dengan atau tanpa restu ibunya ia tetap akan pindah ke New York, ia ingin membuka lembaran baru di sana dengan Raline dan juga Zio tanpa bayang-bayang masa lalunya dengan Grace. “Kalau ibu tidak mau di sini sendiri, ibu bisa ikut kami ke New York, kami akan menerima ibu dengan baik.” Xavin juga tidak ingin dicap sebagai anak yang durhaka karena meninggalkan ibunya sendiri di sini, sedangkan raut wajah Raline menunjukkan ketidaksukaannya saat Xavin mengajak ibunya ikut ke New York. Raline langsung mengatakan kepada Xavin kalau ia tidak ingin tinggal Bersama Angela, ia tidak mau kalau harus serumah dengan Wanita yang dengan terang-terangan tidak menyukainya. “Tidak, aku tidak setuju kalau Ibu tinggal dengan kita, ibu bisa pindah ke New York tapi tidak bisa serumah dengan kita.” Hal yang sama sekali Raline hindari selama ini adalah tinggal bareng mertua, apalagi mertua seperti Angela, yang ada Raline malas pulang karena akan ketemu dengan mertua menyebalkan. Angela mendelik kesal ke arah menantunya itu. “Oh sekarang aku tahu pasti kau yang mempengaruhi Xavin untuk pindah ke New York, dan sekarang kau meminta aku untuk tinggal di tempat yang lain. Sejak awal aku memang tidak menyukaimu, bagiku menantu terbaik hanyalah Grace, sedangkan kau hanya tahu mengurus wajahmu tanpa tahu mengurus anak dan suami, kau itu hanya model yang menjual tubuhmu. Siapa saja yang sudah membeli tubuhmu itu?” ujar Angela dengan tatapan sinisnya, sejak awal memang ia merasa kalau Raline tidak pantas untuk putranya. Raline merasa sakit hati dengan ucapan Angela, ia kira Wanita ini adalah mertua yang baik, karena ia selalu memperlakukan Grace seperti ratu, ternyata perlakuan yang baik hanya Grace yang mendapatkannya, sedangkan Raline hanya dianggap sebagai manusia yang buruk. Apakah sebegitu hinanya Raline di mata orang-orang? “Aku model, bukan jalangg. Jadi aku tidak pernah menjual tubuhku kepada siapa pun, kalau ibu tidak menyukaiku jangan pernah merendahkan profesiku. Oh iya, aku dan Grace jelas berbeda, Grace ya Grace, Raline ya Raline, Grace dan Raline tidak bisa dibandingkan karena kami punya baik dan buruk masing-masing, tetapi apakah pantas terus membicarakan orang yang telah tiada?” Angela tersenyum sinis lalu menatap putranya. “ Lihat, Xav, kau lihat sendiri bagaimana istrimu ini menjawab perkataan ibu, apa pantas seorang menantu berbicara seperti itu kepada mertuanya? Kenapa ia tidak bisa menconton Grace?” Baru saja Raline ingin menjawab ucapan Angela, tetapi langsung dipotong oleh Xavin, ia merasa kalau mereka lama-lama di sini tidak akan sehat. Raline dan Angela pasti akan adu mulut, dan keduanya tidak ada yang mau mengalah, lebih baik sekarang ia membawa Raline pulang. “Ibu, ibu akan tetap ikut kami ke New York karena ini sudah keputusanku kalau kita akan pindah ke New York, dan sekarang kami pamit dulu untuk segera berkemas.” Xavin langsung beranjak dari tempatnya untuk mengambil Zio yang kini sudah terlelap di kamar. Saat Xavin sudah masuk kamar, Angela berucap, “Kau memang cantik, tapi kau bukan istri, ibu, dan menantu yang baik.” Raline terkekeh pelan, “Setidaknya masih ada yang bisa aku banggakan, aku belum menua, kulitku masih kencang, sedangkan kau sudah keriput di mana-mana, dan kau tidak lagi cantk, kau juga bukan mertua yang baik, lalu apa yang kau banggakan? Kau ingin membanggakan dirimu yang memperlakukan Xavin selayaknya anak-anak dan kau lupa anak kau itu sudah dewasa, sudah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri?” Ucapan Raline benar-benar membuat Angela bergeming, ia mengepalkan tangannya, ia marah kepada Raline karena ia begitu pandai menjawab pertanyaannya dan membuat mukanya memerah. Raline juga bukan orang yang diam saja ketika dia dihina dan diremehkan, sebisa mungkin ia akan menjawab perkataan buruk-buruk orang tentangnya. *** Setelah sampai di rumah, Raline langsung protes karena suaminya itu yang mengajak Angela untuk serumah tanpa seizinnya, tinggal dengan mertua adalah bukan impiannya sama sekali, apalagi mertua seperti Angela, yang ada Raline tidak akan Bahagia. Rumah bukan lagi tempat ternyamannya untuk pulang kalau ada Angela di sana, yang ada ia dan Angela tidak akan bisa akur, mereka akan terus berdebat sampai mulut berbusa. “Xavin, kau tidak bisa mengambil keputusan sendiri, aku ini istrimu, seharusnya kau bertanya terlebih dahulu kepadaku, apakah aku mau kalau ibumu tinggal di rumah kita? Jangan mengambil keputusan sendiri! Aku tidak setuju, Xavin, tinggal dengan mertua adalah sesuatu yang aku hindari, aku tidak ingin tinggal dengan mertua yang terus memojokkan aku, yang ada aku dan ibu akan terus berdebat, dan rumah akan menjadi neraka yang paling ingin aku hindari.” Raline berkata dengan tegas, tidak ada aura senyuman yang tampak di wajahnya, kali ini ia benar-benar serius dengan ucapannya, ia tidak ingin serumah dengan mertuanya itu. Xavin juga tidak ada pilihan lain, selain mengajak ibunya untuk tinggal Bersama mereka. Ibunya sudah tua dan tidak ada siapa-siapa yang bisa mengurus ibunya kecuali Xavin, lagi pula ini sudah menjadi tugas anak laki-laki untuk mengurus ibunya ketika ibunya sudah tua. “Raline, kau harus menerima ibuku, kau harus menganggap ibuku seperti ibumu, ibuku adalah mertuamu dan sudah seharusnya kau bersikap baik padanya, ini sudah keputusanku untuk mengajak ibu untuk tinggal bersama kita karena yang ibu punya hanya aku, hanya kita, Raline. Tolong jangan egois.” Raline tersenyum sinis. “Aku harus menerima ibumu? Lalu bagaimana ibumu? Apakah ibumu sudah bisa menerimaku sebagai menantunya? Aku dan ibumu tidak cocok untuk serumah. Aku bukan tipe orang yang diam saja ketika aku direndahkan dan dihina, aku akan diam saja ketika ibumu tidak memulainya.” “Ra, kalau ibuku berkata yang buruk tentangmu, kau diam saja, tidak usah membalasnya, jadilah menantu yang pengertian, namanya juga orang tua jadi kita harus memaklumi, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri, kalau kau terus menjawabnya, maka sampai pagi pun perdebatan kalian tidak akan selesai, kau yang harus mengalah karena kau masih muda, sedangkan ibu sudah tua. Contohlah Grace karena dia bisa menjadi menantu yang ibuku banggakan, aku yakin kau bisa menjadi Grace,” ujar Xavin, tanpa disadari ucapan Xavin sangat membuat Raline sakit hati. Ia tidak suka kalau ia terus dibanding-bandingkan, apalagi dengan orang yang telah tiada. Raline menghela napas pelan dan menatap suaminya dengan penuh amarah. “Jangan pernah memintaku untuk menjadi orang lain, jangan pernah berharap aku bisa menjadi Grace, aku ya aku, dia ya dia, aku tidak perlu menjadi Grace agar semua orang menyukaiku, aku ingin menjadi diriku sendiri, Xavin.” Raline menggigit bibir bawahnya menahan sesak yang sangat menyesakkan, ia tidak ingin menangis di hadapan Xavin. “Aku membencimu, Xavin.” Setelah itu ia keluar dari kamar dengan air mata yang menetes. Xavin mengacak rambutnya frustasi. “Ah, sial!” ****  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN