Jantung Xavin seakan berhenti berdegub di saat ia mendengar kabar buruk itu, napas tercekat, bahkan lidahnya kelu ketika ia mendengar hal yang tidak ingin ia dengar. Air matanya tiba-tiba menetes tanpa perintah, dunia Xavin seakan hancur dan ia tidak tahu lagi bagaimana caranya berdiri tegap, tubuhnya melemas, ini adalah kenyataan pahit yang ia dengar, tetapi harus tetap ia terima dan jalani karena ini memang takdirnya. Takdirnya harus kehilangan Grace seperti ini, takdirnya kalau kalau Zio harus tumbuh tanpa sesosok ibu kandung di sampingnya, dan Xavin hanya bisa menerima kenyataan itu, ia tidak memungkiri hal itu karena memang semua itu terjadi atas kehendak Tuhan. Mau meronta seperti apa pun itu tidak akan membuat Grace hidup lagi.
Xavin langsung memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak, dan ia langsung berlari keluar dari bandara itu menuju mobilnya, ia melajukan Pagani Huayra Tricolore miliknya dengan kecepatan tinggi, untung saja jalanan kota Los Angeles saat ini tidak begitu ramai, sehingga ia bisa sampai di rumah sakit dalam waktu yang cukup singkat. Setelah memarkirkan mobilnya, ia pun langsung berlari ke ruang rawat istrinya, dan terlihat wajah pucat pasi istrinya yang tidak lagi bergerak, matanya telah tertutup rapat, dan senyuman manisnya tidak dapat ia lihat lagi.
Zio terus menangis dan menggoyang-goyangkan tubuh Grace, agar Wanita itu bangun, tetapi nyatanya apa yang dilakukan oleh Zio adalah sesuatu yang sia-sia, karena pada dasarnya semua orang yang telah meninggal tidak bisa hidup Kembali, kecuali ia mati suri. Xavin pun langsung maju dan menggendong putranya. “Zio, kita harus merelakan mommy ya, sekarang mommy sudah tidak sakit lagi, kan Zio masih ada daddy. Yang penting Zio harus mendengarkan semua nasihat mommy, jangan nakal dan jangan bersedih.” Bukan Cuma Zio yang terpukul atas kepergian ibunya, tetapi Xavin yang lebih terpukul karena ia harus kehilangan separuh hidupnya. Namun, ia tidak bisa menangis di hadapan putranya ini, ia tidak ingin terlihat lemah, ia harus mejadi sumber kekuatannya Zio.
Zio terus menangis dalam gendongannya Xavin, anak berusia 3 tahun itu belum siap untuk kehilangan ibunya, tetapi ia harus menerima hal itu, ia harus kehilangan ibunya, mau tidak mau, siap tidak siap, ini adalah takdir yang harus ia terima, karena nyawa tidak bisa dibeli walau memiliki harta yang berlimpah. “Tapi, Dad, mommy belum melihat Zio tumbuh dewasa, nanti kalau daddy kerja siapa yang temani Zio? Siapa yang akan menjaga dan merawat Zio kalau daddy sibuk? Zio mau mommy, Dad!” ujarnya di sela isak tangisnya.
Xavin merasakan nyeri yang teramat dalam saat ia mendengar ucapan putranya ini, tetapi mau bagaimana lagi ini adalah takdir yang harus mereka terima. “Zio, jagoan tidak boleh cengeng.” Ia pun langsung menyeka air mata di pipi putranya itu dan mencium kening Zio. “Sudah, jagoan tidak boleh menangis.”
Zio teringat sesuatu, ia pun mengeluarkan pemberian ibunya sebelum meninggal tadi. “Tadi waktu daddy pergi, mommy titip ini buat daddy.” Ia menyerahkan selembar surat dan Xavin pun menerimanya, ia memasukkan selembar surat itu ke saku jasnya.
“Terima kasih,” ujar Xavin, lalu ia menuruni Zio dari gendongannya. Xavin mendekat ke arah Grace dan mencium setiap inci pada wajahnya secara berkali-kali, mulai dari kening, kedua pipi, bibir, dan hidung. “Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Kamu yang Bahagia di surga, doakan aku dan Zio agar tetap Bahagia di sini. Kami mencintaimu.” Kemudian ia Kembali mengecup bibirnya Grace sekilas.
“Pak, kami ingin mengurus jenazah untuk segera dipulangkan ke rumah duka,” ujar salah satu perawat yang baru masuk ruangan, dan Xavin pun mundur beberapa Langkah dan memberikan akses kepada perawat untuk melakukan tugasnya.
***
Raline baru saja turun dari pesawat dan mengambil kopernya di bagasi, kemudian ia mampir di salah satu kafe yang ada di bandara tersebut untuk rehat sejenak, sekaligus menghilangkan pusingnya karena baru berada di udara. Sembari menikmati secangkir kopi yang pesan, ia menyalakan ponselnya yang entah sudah berapa lama ia matikan, banyak pesan masuk ke ponselnya tersebut, tapi ada satu pesan yang membuat Raline seakan tidak kuat lagi untuk menghirup oksigen, saat ia membaca pesan tersebut seakan jantungnya berhenti berdetak, yaitu pesan dari ibunya sendiri.
Ibu: Grace sudah meninggal.
Air mata Raline tak terbendung lagi, kakak sepupu yang sangat dekat dengannya sejak kecil kini telah meninggal, dan sialnya dia tidak berada di saat Raline mengembuskan napas yang terakhir kali dan lebih parah lagi Raline mengabaikan Grace yang ingin bertemu dengannya. Raline benar-benar menyesal, ia menyesal karena telah egois dan keras kepala. Ia pun menyeka air matanya dan langsung bergegas untuk memesan tiket Kembali ke Los Angeles sekarang juga, andai saja dia tahu kalau itu adalah permintaan terakhirnya Raline, pasti ia tidak akan mengabaikannya begitu saja.
Setelah menempuh perjalanan dari New York, akhirnya ia telah sampai di bandara Los Angeles, ia pun langsung memesan sebuah taksi dan langsung ke makam Grace setelah mendapatkan info dari ibunya tentang pemakamannya Grace. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, akhirnya Raline pun sampai pada tanah yang masih basah itu. Di pemakaman itu kini tersisa hanya Xavin dan Zio yang sedang menatap sendu gundukan tanah tersebut.
Raline langsung berlari dan memeluk nisan, ia tahu ini terlambat dan ia sudah menyesali semuanya, ia menyesali dirinya yang begitu egois, kalau saja dirinya mau lebih mendengarkan pasti di detik-detik terakhir Grace ia bisa menemaninya.
“G, kau jahat, kenapa kau pergi secepat ini? Kau bilang kita akan tumbuh sama-sama sampai rambut kita memutih, dan sekarang kau meninggalkanku lebih cepat, aku benci sama diriku sendiri yang terlalu egois, maafkan aku yang tidak ada di sisimu untuk terakhir kalinya, maafkan aku yang mengabaikanmu, aku tahu ini terlambat dan aku menyesalinya, aku menyayangimu, sangat, kau kakak terbaikku, kita sudah sudah tumbuh Bersama sejak kecil, tidak mudah untuk merelakanmu, tapi aku harus lakukan itu agar kau Bahagia di sana, aku juga Bahagia, G, karena kau tidak sakit lagi.” Raline menangis tersedu-sedu.
Tak lama kemudian Zio mendekat ke arah Raline yang sedang menangis. “Aunty, kata mommy kalau Aunty Ra sekarang adalah mommyku, apa benar?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut mungil Zio.
Raline menoleh dan menyeka air matanya, ia menatap Xavin sekilas, lalu ia mengangguk. “Iya, mulai sekarang kau tidak boleh memanggil aku aunty lagi, karena aku adalah mommymu.”
Zio manggut-manggut. “Berarti mommy akan tinggal Bersama aku dan daddy?”
Bukan Raline menjawab, tetapi Xavin. “Tentu, Sayang, karena kami adalah orang tuamu, jadi kita akan tinggal Bersama. Zio senang kalau aunty Ra jadi mommynya Zio?”
Zio mengangguk. “Senang, aku bahagia Mommy Ra menjadi ibuku, karena aku menyanyangi Mommy Ra.
“Mommy juga sayang Zio.”
Kini harapan Raline untuk Kembali ke New York telah pupus, ia harus berada di sisi Xavin dan Zio, anggap saja ini penebusan rasa bersalah Raline di akhir hidupnya Grace.
***