Sebelum berangkat kerja, Xavin menyempatkan diri ke rumah ibunya untuk menjemput sang jagoan, Zio, selama Grace di rumah sakit yang mengurus Zio memang ibunya dan ia ingin menjemput Kembali Zio hari ini dan biarkan ia yang mengurusnya, kasihan ibu kalau terus mengurus cucu di usianya yang tidak lagi muda. Padahal Xavin berharap kalau Raline bisa mengurus Zio Bersamanya, tetapi Wanita itu telah memilih pergi dan meninggalkannya. Lagipula Xavin akan fokus pada kesembuhannya Grace, ia akan membuat wanitanya itu sembuh dan mereka bisa hidup Bahagia seperti semula. Xavin yakin kalau Grace akan Kembali sembuh dan Zio tidak akan kehilangan Grace sebagai ibunya, mereka bertiga akan Kembali Bahagia seperti sebelumnya.
Angela terkejut karena pagi ini Xavin datang sendiri untuk menjemput Zio, padahal ia sendiri yang bilang kalau akan datang dengan Raline, sekaligus memperkenalkan Zio bahwa tantenya itu yang kini menjadi mommynya. “Xavin, di mana Raline? Kenapa kau datang sendiri? Bukankah kau bilang akan datang bersamanya?” tanya ibu dengan bertubi-tubi.
Xavin menghela napas, ia sedang tidak mood untuk membahas masalah itu, lebih baik sekarang ia langsung membawa Zio pergi dari sini. “Nanti saja tanyanya, Bu, sekarang aku mau membawa Zio ke rumah sakit untuk menjenguk Grace.” Xavin pun lalu ke kamar putranya itu dan terlihat Zio yang sedang main dengan robot-robotan, Xavin merasa kasihan dengan putranya yang baru 3 tahun itu, pasti merasa kesepian. Ia langsung menghampiri Zio dan langsung menggendongnya. “Hai, jagoannya Daddy.”
Zio tersenyum lebar saat ia melihat ada sosok yang ia rindukan selama ini, sudah lama mereka tidak bertemu dan itu membuat Zio merasa kesal karena sang ayah baru datang menjemputnya sekarang. “Aku merindukan daddy,” ujar bocah 3 tahun tersebut dengan suara manjanya. “Kenapa daddy baru datang menjempt Zio?” Zio ini memang anak yang cerdas, di usianya yang baru satu tahun sudah fasih berbicara, dan di usainya tiga tahun ini lebih fasih lagi seperti anak yang lebih dari tiga tahun.
Xavin tersenyum tipis. “Maafkan Daddy yang baru datang menjemputmu ya.” Kemudian Xavin berjalan keluar kamar dan berpamitan dengan Angela untuk membawa Zio ke rumah sakit untuk menemui Grace. “Bu, aku ke rumah sakit ya mau menjenguk Grace.”
Angela mengangguk. “Sampaikan salam ibu padanya, Xav.” Angela menoleh ke cucu kesayangannya itu. “Zio, jangan nakal yang nurut sama daddy, oke?”
“Siap, Nek,” ujarnya dengan semringah. Zio akan lebih Bahagia jika bersam orang tuanya.
Mereka pun langsung keluar dari rumah itu dan meninggalkan Angela yang menatap mobil Xavin yang semakin jauh dari pandangan.
***
Zio menatap Grace dengan tatapan sendu, pascanya tubuh Grace semakin kurus, wajahnya semakin pucat, dan dokter pun tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk kesembuhan Grace, kanker yang Wanita itu alami sudah menjalar ke seluruh tubuh dan Grace pun menolak untuk melakukan kemoterapi karena endingnya akan tetap sama, yaitu meninggal. Karena apa yang dialami oleh Grace memang penyakit yang mematikan yang bisa merenggut nyawa kapan pun itu, siap tidak siap, mau tidak mau ia akan tetap menerima takdir bahwa ia akan meninggalkan Xavin dan Zio secepat ini, meski ia ingin hidup sampai 100 tahun lagi, tapi kalau takdir menginginkannya ia pergi secepat ini ia bisa apa, tidak ada satupun yang bisa melawan mau. Mau sebanyak apa pun kekayaan yang kita punya tidak ada yang bisa membeli nyawa.
“Mommy kenapa mommy terus di sini? Apa mommy tidak bosan? Mommy tidak rindu aku dengan daddy? Kenapa mommy masih sakit? Apa dokter di rumah sakit ini tidak pintar sampai mommy belum sembuh juga?” ujar Zio dengan polosnya, kemudian ia menatap Xavin yang kini sedang memangku dirinya. “Dad, apa mommy akan sembuh?”
Xavin mengangguk dengan senyuman tipis, walau ia juga kurang yakin apa Grace bisa sembuh. “Mommy pasti sem—”
Ucapan Xavin langsung dicela oleh Grace, Wanita itu tersenyum tipis dengan wajah lemahnya. Siapa pun yang melihat kondisi Grace sekarang pasti akan merasa iba. “Jangan memberikan harapan pada Zio, kau harus berkata yang sejujurnya,” ujar Grace, kemudian ia melanjutkan ucapannya. “Zio, kalau mommy tidak bisa sembuh jangan bersedih ya. Zio itu jagoan, pasti bisa menjadi tumbuh pria yang hebat walau tanpa mommy, kau harus janji jangan nakal, dan harus tetap menjadi pria yang baik, yang selalu sayang daddy dan mendoakan mommy.”
Zio menggeleng, ia yakin Grace pasti sembuh. “Mommy, mommy jangan bilang seperti itu, mommy pasti sembuh, Zio yakin mommy tidak akan meninggalkan kami secepat ini. Mommy harus lihat Zio tumbuh dewasa.”
Grace menghela napas pelan, lalu membelai pipi putranya itu dengan sayang. “Sayang, kau harus merelakan mommy ya.” Kemudian ia menoleh ke arah suaminya. “Xav, aku boleh minta tolong? Tolong hubungi Raline, ada yang mau aku sampaikan ke Raline.”
“Tapi—”
“Kumohon, Xav, atau kau akan menyesal?”
Xavin pun mengangguk, lalu mencoba menghubungi Raline, tetapi nomornya tidak aktif, ia menggeram kesal karena Raline tidak bisa dihubungi di saat genting seperti ini. Akhirnya ia pun menghubungi ibunya Raline dan ibunya tersebut mengatakan bahwa Raline sudah ke bandara, ia ingin berangkat ke New York.
“Grace, sebentar ya, aku akan jemput Raline.” Ia pun berdiri dari tempatnya. “Zio, daddy pergi dulu, aku harus jaga mommy.”
***
Setelah sampai di bandara, ia pun langsung bertanya kepada petugas apakah pesawat ke New York sudah berangkat atau belum dan untung saja masih ada 15 menit lagi. Xavin pun segera membeli tiket agar ia bisa naik ke ruang tunggu, setelah mendapatkan tiket tersebut, ia pun langsung ke ruang tunggu untuk mencari Raline, ia ke sana ke kamari untuk mencari Raline. Lalu matanya pun teralihkan kepada sesosok perempuan yang sedang duduk dengan tatapan kosong, akhirnya Xavin menemukan Raline.
“Ra—”
Xavin membuyarkan lamunan Raline. Ia cukup terkejut dengan kehadiran Xavin. “Xav, ada apa? Siapa yang memberitahumu aku ada di sini?”
“Itu tidak penting, sekarang aku ingin kau ikut ke rumah sakit, ada hal yang ingin disampaikan oleh Grace.”
Jadi semua ini karena Grace? Bukan karena Xavin yang menginginkannya.
“Maaf, aku tidak bisa, aku harus ke New York, sebentar lagi pesawatku berangkat.” Tak lama kemudian pengumuman bahwa pesawat ke New York telah tiba, dan Raline pun berdiri dari tempatnya dan berjalan meninggalkan Xavin.
“Raline, aku mohon.”
Sekuat apa pun Xavin meminta, Raline tetap pergi. Dan Wanita itu telah hilang dari pandangannya Xavin, tak lama kemudian muncul telepon dari rumah sakit.
“Pak, Ibu Grace telah meninggal,” ujar salah satu perawat yang menghubunginya.
***