Tak seperti yang di bayangkan. Malam yang mustinya bisa ia gunakan untuk tidur dengan tenang, seketika berubah menjadi menyebalkan.
Bagaimana tidak, saat ia mulai memejamkan mata, tiba tiba ada suara mengejutkan yang berhasil menghilangkan rasa kantuknya.
Di sisi lain, Kakek Monggo tengah berhasil memegang ranting dan memberi ancang ancang untuk melawan hewan di depanya.
Aksa dengan cepat merogoh saku celananya. Sebuah center berhasil menerangi penglihatannya. Seekor ular berbisa yang sedang mengacungkan kepalang. Benar benar membuat Aksa bergidik ngeri.
Dengan kelihaian kakek Monggo yang berhasil menangkap ular tersebut, sama sekali tak membuat Aksa bisa tenang dan kembali tidur. Aksa bahkan semakin was was dengan kedatangan ular yang tiba tiba.
"Kenapa kau tak tidur juga?" Pertanyaan Kakek Monggo tak perlu Aksa jawab karena hanya dengan melihat tingkah Aksa, sudah jelas ada kecemasan di sana.
Kakek Monggo mengeluarkan sekantong garam yang ia bawa lalu menyebarkannya melingkar di semua sisi mereka. Aksa sudah sedikit tenang, karena garam akan membuat kulit ular menjadi perih, dan kemungkinan membuat ular menjauh.
"Tidurlah!" Perintah kakek Monggo yang mendapat anggukkan oleh Aksa tanpa pertanyaan lagi.
Aksa sebenarnya juga membawa garam. Tapi garam yang ia bawa akan digunakannya untum membubuhi hewan tangkapannya saat merasa lapar di tengah hutan.
Malam semakin larut dan Aksa benar benar membutuhkan waktu untuk tidur. Menggunakan tas untuk bantalnya, Aksa segera tidur setelah menambahkan taburan garam di sekitarnya.
***
Udara pagi hari mulai menyusup di setiap sendi milik Aksa. Terasa begitu dingin namun menyegarkan. Dari arah timur belum terlihat kemunculan sang surya. Hanya semburat merah yang memancar melalui celah celah pepohonan rindang.
Aksa mulai menggeliat, mengumpulkan kesadarannya. Mencari air untuk membasuh mukanya seperti yang di lakukan oleh kakek Monggo yang tengah membasuh muka dengan air dari gentong.
Aksa menghela nafas kesal. Sepertinya ia tak pernah bisa bangun sebelum kakek Monggo. Cukup membuatnya kesal pada diri sendiri. Meskipun waktu ia bangun bahkan sebelum mentari terbit.
"Kau sudah siap?" Suara kakek Monggo seperti seorang pelatih yang akan melihat anak buahnya bertanding. Mengingatkan dirinya bahwa sekarang sudah waktunya.
"Baiklah, Aku sudah siap lahir dan batin kek." Jawab Aksa meyakinkan kalau dirinya sudah siap untuk pergi sendiri tanpa kakek Monggo yang akan mendampinginya.
"Jangan pikirkan dulu jalan keluar kalau kau belum bertemu dengan kakekmu itu." Lagi lagi kakek Monggo mengingatkan Aksa tentang hal yang memang ia pikirkan.
"Iya kek," Jawab Aksa patuh. Namun sebenarnya masih tersirat pemikiran tentang keturunan yang harus ia tinggalkan sebagai penggantinya.
Aksa menekankan rasa ragu saat memasuki dua gapura yang menandakan kalau dirinya telah memasuki wilayah kerajaan Kambalang. Dan kakek Monggo memandangnya dengan senyum. Dan menatapnya dengan penuh keyakinan.
"Semoga beruntung nak." Ucap kakek monggo lalu berbalik meninggalkan Aksa yang masih terdiam menatap kepergian kakek Monggo.
Aneh sekali. Seharusnya, Aksa yang berjalan meninggalkan kakek Monggo dan kakek Monggo lah yang harusnya diam melihatnya.
Aksa hanya mengendikan bahunya memikirkan hal tersebut. Mulai memusatkan pikirannya untuk berjalan menuju arah barat sesuai yang diarahkan oleh kakek Monggo. Aksa mulai merogoh sesuatu di bajunya. Mengambil sebuah benda yang bergelantung di lehernya. Itu adalah sebuah kompas yang akan menunjukkan kemana ia harus menapakkan kaki.
Masih lurus mengikuti jalanan setapak, Aksa mulai bosan karena tak juga menemukan sesuatu yang berbeda dari hutan ini.
"Kata kakek Monggo akan ada kedai. Mana? Dari tadi hanya jalanan yang mengular." Gerutunya sendiri. Semalam kakek Monggo memintanya hanya meminum air putih saja. Untung saja semalam ia makan mie. Kalau tidak, mungkin sekarang Aksa akan sangat kelaparan dan tak mampu berjalan.
Dan benar saja. Saat Aksa hampir menyerah untuk beristirahat, di depan matanya terlihat sebuah kedai makan yang kecil. Namun tetap ada pengunjung yang lewat meskipun hanya segelintir.
Aksa berjalan mendekat. Tak memperdulikan tatapan aneh dari semua orang. Keberadaan manusia di sini sudah memberikan rasa aman untuk sementara. Karena dari tadi ia berjalan sendirian.
"Mbok, saya pesan satu piring nasi dengan ayam bakar." Dan tanpa basa basi, Aksa mengutarakan keinginannya saat memasuki kedai tersebut. Lalu duduk menunggu makanannya datang. Melihat beberapa pengunjung yang sedang makan, membuatnya merasa semakin lapar.
Ada seorang wanita tua yang tengah berdiri di belakang meja persegi panjang yang mengelilinginya.
Dan yang tak di duga Aksa, wanita tua itu mengangguk patuh padanya. Tak ada senyum atau sapaan untuk seorang pengunjung. Namun wanita tua itu cukup cekatan untuk melayani pembeli termasuk dirinya.
Aksa sedikit tertegun. Karena tadi ia berjalan sendiri tanpa satupun orang yang terlihat. Akan tetapi, mengapa ada kedai yang terlihat tak pernah sepi ini? Lalu kemana arah tujuan orang orang tersebut, dan dari mana asalnya? Aneh sekali.
Tak butuh waktu lama untuk Aksa mendapatkan pesanannya. Jarang jarang ia makan seperti ini. Keberadaanya dalam hutan membuatnya harus memilih makan makanan hutan seperti buah buahan atau memilih memakan makanan instan yang ia bawa. Makanan yang ia bawa, hanya akan dikeluarkan saat dirinya benar-benar tak ada pilihan lain untuk makan. Kalau untuk saat ini, bukanya tak ada pilihan lain. Tapi terlalu banyak pilihan membuat Aksa bingung.
Satu hal yang sangat disesalkan oleh Aksa. Mengenai pesan kakek Monggo yang melarangnya untuk membungkus makanan, tanpa memberi tahu alasannya. Dan memang sejauh yang ia lihat, ia bahkan tak pernah melihat orang yang membeli makan dengan membungkusnya di sini. Membuat dirinya hanya bisa memakan di tempat seperti yang lain. Ia tak ingin terlihat mencurigakan meskipun ia tahu kalau dirinya sudah dipandang aneh dengan barang yang ia bawa sekarang.
Selesai menyelesaikan hasrat perutnya itu, Aksa mulai lagi melanjutkan perjalanan. Tahukah kamu apa yang dirasakannya? Setelah kenyang makan mustinya ia tak langsung berjalan. Mustinya ia duduk terlebih dahulu dan membiarkan semua makanannya masuk ke dalam lambung. Sekarang ia terpaksa berhenti di samping kedai dan duduk sejenak untuk menghilangkan rasa kram yang tiba tiba datang di perutnya.
Aksa terdiam sejenak. Menikmati terpaan angin. Tak ingin ia mengantuk, Aksa kembali mengamati jalanan setapak yang entah mengapa sekarang penuh dengan cabang. Ah s**l. Aksa berdiri dan menjauh dari kedai tersebut. Namun sekilas, pandanganya mengingatkannya akan sesuatu.
Ya, dari arah penglihatannya, kedai itu mirip sekali seperti kedai yang ia lihat saat membuka pintu di sisi samping rumah kakek Monggo.
Aksa menggelengkan kepalanya tak percaya dengan pikirannya tersebut.
"Mungkin hanya mirip." Gumam Aksa yang melihat sebuah susunan bambu yang terpasang di depan kedai itu juga sama persis. Tidak mungkin kan kedai itu ada di banyak tempat? Aksa benar benar dibuat pusing.
Aksa lebih memilih untuk melihat arah kompas dan melanjutkan perjalananya ke barat.
Aksa sama sekali tak tahu, harus berapa lama lagi ia harus berjalan. Pagi sudah berlalu dan siang hampir saja berakhir. Ia masih terus berjalan mengikuti jalan setapak ke arah barat. Aksa sangat haus dan juga mulai merasakan lapar.
Aksa memperlambat langkahnya. Sambil mendongak, siapa tahu ada pohon yang berbuah yang bisa ia makan. Dan tentu saja pucuk di cinta ulam pun tiba. Aksa menemukan sebuah pohon mangga yang sepertinya ada beberapa yang masak.
Dengan cekatan ia menggunakan keahliannya untuk mengambil beberapa buah dengan ilmu Amek Undoh yang di berikan kakek Monggo. Ada 4 buah mangga yang jatuh di tangannya. "Tangkapan yang tepat." Serunya.
Aksa mengupas mangga tersebut lantas memakannya. Beberapa potong ia masukkan kedalam sebuah botol.
"Aku bisa membuat jus mangga di jalan nanti." Serunya senang saat akan berjalan lagi.