Zoya mengambil tasnya, dia telah mendapatkan izin untuk pulang lebih awal karena cideranya. Teman-teman sekelasnya menunjukkan rasa simpati terhadapnya. Bahkan beberapa dari mereka juga terlihat sedih, saat dia memasuki kelas dengan keadaan kembali menggunakan tongkat.
Berjalan dengan langkah lambat, Zoya melihat ke arah lapangan, dimana anak laki-laki kelas satu sedang bermain futsal. Mereka melihat ke arahnya, dan semua mengatakan agar dia segera sembuh.
Zoya tersenyum saja, menunjukkan kalau dia baik-baik saja. Menunjukkan pada adik kelasnya untuk tidak perlu mengkhwatirkannya. Diteriaki oleh para anak-anak laki-laki dari kelas satu membuatnya malu, meskipun yang mereka teriakkan adalah sebuah bentuk dukungan.
Zoya menoleh ke belakang, karena merasa seperti ada yang mengikutinya. Dan benar saja, memang ada yang berjalan mengikuti langkahnya. "Lo ngapain?"
"Jalan!" jawab Lander masih menatap ke depan.
"Iya, Lo ngapain jalan pelan di belakang gue?" Zoya memperhatikan kaki-kaki tampan di sebelahnya, yang saat ini tengah mengenakan kacamata.
Lander matanya minus, tapi lebih sering pakai kacamata dibandingkan lensa kontak. Dia menggunakan lensa kontak, saat bermain basket. Selain itu, pasti menggunakan bantuan kacamata.
"Kalo gue jalan cepet, bakal lama nunggu Lo sampai taksi!" Lander mengatakannya seolah-olah merasa telah direpotkan. Terlihat jelas juga dari ekspresinya yang buruk.
Zoya mencoba memahami kalimat yang dikatakan Lander. Artinya laki-laki itu juga akan pulang sepertinya. Dan kenapa seperti itu? "Ngapain? Gue gak minta Lo nunggu!"
"Udah cepet!" Lander hendak menyentuh tangan Zoya, tapi tertahan di udara. Kemudian menarik kembali tangannya.
Zoya melihatnya, dan dia malah jadi kesal melihatnya. Mencoba untuk tidak terpancing emosi, Zoya mengabaikan apa yang baru dilakukannya.
"Guru nyuruh Lo anterin gue balik? Kan cidera kali ini bukan karena Lo! Kenapa Lo mau? Jangan bilang Lo mulai suka sama gue?" Zoya tidak benar-benar bermaksud menanyakannya, dia hanya bercanda. Tidak mungkin dia bersungguh-sungguh, ketika dia sendiri telah mengetahui Lander bukan orang yang ditakdirkan untuknya. Mereka hanya akan menjadi orang asing setelah lulus.
Lander sempat menghentikan langkahnya, tapi hanya sebentar. Dia melirik gadis cantik di sebelahnya. Kecantikannya bukan berdasarkan penilaian pribadi, tapi hampir semua orang di sekolah menyukainya karena kecantikannya. Tapi malah itu yang membuatnya merasa tidak ada yang spesial dari Zoya.
"Ih, kenapa Lo liat-liat? Mampus, Lo suka kan sama gue?" Zoya meledek, dia terkejut saat menoleh pada Lander, ternyata laki-laki itu sedang melihat juga padanya. Dan tidak mencoba memalingkan wajah, saat dia memergokinya. Menyembunyikan keterkejutannya agar tidak merasa canggung, Zoya malah jadi meledeknya. Seolah-olah dia mengharapkan itu.
Lander menahan tangan Zoya, dan berdiri tepat di hadapannya. "Gue akan ulangi sekali lagi. Ingat ini, sebelum Lo menyesal nantinya. Gue gak suka sama Lo!"
Zoya menghempaskan tangan Lander yang sedang menahan tangannya. "Karena gue cantik kan? Oke! Gue udah gak suka Lo lagi kok!"
Sekarang gantian Lander yang terkejut. Zoya terlihat sama sekali tidak kecewa atau terluka dengan penolakannya. Padahal sebelumnya, Zoya tetap kekeh akan menyukainya dan membuatnya membalas rasa sukanya. Agak mengejutkan dengan respon barunya tersebut.
Zoya berjalan melewati Lander. Penolakannya tadi tidak mempengaruhinya. Karena bahkan saat dia datang ke pernikahan Lander dan Luna, hatinya tidak terluka, artinya rasa suka itu telah berlalu. Apalagi sekarang, dia tidak lagi ingin menyukainya kembali.
Seperti kata Lander, sudah ada taksi yang menunggu di depan gerbang. Laki-laki itu telah memesan taksi untuk mereka.
"Lo gak perlu ikut masuk. Gue pulang sendiri!" Zoya menutup pintunya, jika bisa pulang sendiri, kenapa pulang bersamanya?
Tapi pintu itu kembali terbuka sebelum sopir taksinya sempat menyalakan mesin. Lander menyuruh Zoya bergeser, dan dirinya langsung masuk ke dalam. Menutup pintu itu, baru menyuruh sopirnya segera menjalankan mobilnya.
"Mau banget nganterin gue?" Zoya menekankan setiap katanya, bibirnya tersenyum, tapi tatapannya menunjukkan hal berlawanan.
Lander membenahi kacamatanya, mengabaikan sindiran Zoya, memasang earphone dan tidak lupa mengeluarkan buku bacaan dari tasnya. Benar-benar orang yang pandai menikmati waktu sendiri.
Zoya juga tidak memiliki minat untuk marah lagi. Lander selalu membuatnya seperti orang yang mengemis perhatian. Dia kembali menjadi remaja usia belasan bukan untuk menjadi b***k cintanya. Jadi lebih baik mengabaikannya juga.
Sopir taksi itu diam-diam tersenyum. Karena anak-anak itu duduk saling berjauhan, bukan jarak tempat duduk yang terlihat jauh, tapi jarak lainnya yang tak terlihat mata. Meskipun begitu, sopir taksi itu melihat mereka sangat lucu.
Mereka terus diam hingga sampai di rumah Zoya. Lander tidak ikut turun, dia bahkan tidak menunggu sampai Zoya memasuki pagar. Meminta sopir taksinya langsung melaju.
Zoya hanya mendengus saja sambil menunggu pintu pagar dibuka. Dia melihat penjaga yang baru saja membukakan pintu itu terkejut, melihatnya kembali menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan.
"Nona, apakah terjadi sesuatu lagi? Nona pulang sangat awal!" Penjaga itu meminta tas yang dibawa Zoya untuk dibawakannya. Dan berjalan di belakangnya.
Menggeleng, Zoya tidak berniat menjelaskan. Dia hanya mengatakan kalau dia bertengkar dan terluka lagi. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi mamanya saat melihat keadaannya. Karena guru juga mengatakan sudah memberitahu pada mamanya lewat telepon tentang cidera yang dialaminya.
Pintu depan terbuka, Zoya masuk dan langsung hendak ke kamarnya. Penjaga itu membawakan tasnya sampai ke lantai dua kamarnya. Juga, saat dia tangga tadi penjaga itu membantu memeganginya. Sekarang, dia telah berbaring di kamarnya. Kembali tak berdaya.
Ponselnya berbunyi, Zoya melihat sang penelpon adalah mamanya. Tidak mau mengangkatnya, Zoya langsung ingin tidur saja. Tidak mau jika diinterogasi di telepon. Karena pada akhirnya nanti, saat mama dan papanya di rumah, mereka akan menanyainya lagi.
Kali ini ponselnya bergetar, tanda ada pesan masuk. Zoya pikir pasti mamanya yang mengomel, karena dia tidak mengangkat telepon darinya. Tapi ternyata dia salah. Yang mengiriminya pesan adalah Lander. Laki-laki yang tadi mengantarkan pulang dengan tidak ikhlas.
Zoya membuka pesannya. Dan speechless dengan isi pesan yang dikirim Lander. Laki-laki itu tanpa basa-basi langsung menanyakan perihal hubungannya dengan Raksa. Pastilah Lander juga sudah mendengar tentang rumor yang sedang beredar.
Hendak tidak membalasnya, tapi pada akhirnya Zoya membalas, "Tetangga baruku!"
Balasan yang didapatkannya sangat cepat. Tapi isinya sangat pendek, hanya dua huruf saja. "Oh!"
Zoya tertawa, dia benar-benar merasa lucu. Berbalas pesan seperti ini layaknya anak remaja. Padahal dia telah melewati masa seperti ini. Akan menaruh ponselnya, saat tiba-tiba bergetar lagi. Zoya tersenyum, dia ingin tahu apa lagi kali ini.
"Kamu sedang apa? Sendirian di rumah?" Pesan itu dari Lander, bagaimana mungkin Zoya bisa mempercayainya?
Apakah ponselnya sedang dibajak? Zoya tidak bisa tertawa lagi. Dia tahu hendak membalasnya. Tapi tangannya dan otaknya bekerja sama mengkhianati hatinya. Jarinya itu bergerak untuk mengetikkan balasan. "Iya, kenapa?"
Balasan Lander juga sangat cepat seperti sebelumnya. "Jika merasa lapar, delivery order saja. Minta satpam di rumahmu mengantarkannya sampai depan pintu kamar!"
Zoya melongo tak percaya. Laki-laki menyebalkan itu mengkhawatirkannya. Dia tidak bisa menahan senyum. Dia pun membalas pesannya. "Karena kamu telah memikirkanku, aku akan mengikuti saranmu!"
"Jangan terlalu percaya diri. Aku tidak memikirkanmu!"
Zoya tertawa, dia menutup ponselnya dan tidak lagi berniat berbalas pesan dengan laki-laki itu. Atau mungkin dia bisa mati karena tertawa. Apakah mereka dua orang yang berbeda?