Anak-anak yang ikut olimpiade sudah berangkat pagi tadi. Mereka akan menginap di hotel dan akan mengikuti semua perlombaan sampai hari ketiga.
Setelah sepulang sekolah, Zoya ditemani oleh Tisa pergi ke dokter lagi untuk kontrol. Dia berharap cideranya bisa segera pulih, karena dua hari lagi dia sudah harus menghadiri kelas modeling.
"Sore ini anak-anak mau kerjain tugas kelompok, mereka bilang Lo gak ikut gak papa!" Tisa menyampaikan pesan dari teman-temannya.
Zoya mengangguk. Dia juga tidak akan bisa ikut, karena hari ini mamanya akan memanggil seorang designer ke rumah. Mereka akan pergi ke Singapore besok untuk datang ke acara nikahan teman dari mama dan papanya.
"Lo besok jadi ke Singapore?"
"Hem, berangkat pagi, pulang lagi pagi besoknya, biar gue cuma ambil cuti sekolah sehari doang!"
Zoya memang sering bepergian keluar negeri, dia tidak pernah mendapatkan teguran, karena papanya sendiri yang akan langsung bicara pada wali kelasnya. Anak-anak bilang dia beruntung, karena bisa jalan-jalan keluar negeri. Padahal tidak seenak yang terlihat. Papa dan mamanya hanya punya dia sebagai anak mereka, jadi saat mereka bepergian, mereka akan mengajaknya dengan alasan tidak ada yang menjaganya jika ditinggal sendiri di rumah.
Hal tersebut berakibat besar dalam hidup seorang Zoe Pyralis, karena setelah dia menjadi yatim piatu di usia dua puluh lima tahun, dia kesulitan menyesuaikan diri. Dia tidak pernah tinggal sendirian di rumah saat malam hari, tapi begitu mamanya menyusul kepergian papanya, dia begitu ketakutan hanya untuk sekedar memejamkan matanya. Perasaan itu hampir sangat menyiksa, dan Zoya melewati hari-hari itu dengan berat.
"Kok malah bengong?" Tisa menepuk pundak temannya itu. Karena tiba-tiba ekspresinya menjadi kosong.
Zoya terkejut, dia tersadar mengingat masa itu hingga kembali merasakan kesepian yang menyedihkan. "Tisa, menurut Lo ada gak orang yang bisa kembali ke masa lalu?"
Tisa tertawa, "Kayaknya gue belom pernah denger, kecuali di n****+. Kenapa? Berharap bisa kembali ke masa lalu?"
"Ah?" Zoya malah jadi semakin linglung. Lalu apa yang sedang dijalaninya sekarang?
"Jika bisa kembali ke masa lalu, gue bakal makan sayur dan minum s**u yang banyak, biar bisa setinggi Lo!" Tisa tertawa, karena bagaimanapun dia seorang wanita, dan wanita akan sedikit merasa iri saat melihat wanita lain memiliki tubuh ideal. Lebih parah, kadang juga bisa merasa insecure.
Zoya terdiam. Dia tidak perlu membayangkannya, karena saat ini dia mengalaminya. Meskipun dia tidak mengerti bagaimana menyebutnya, tapi dia kembali menjadi remaja, saat seharusnya dia berjuang di melawan maut di meja operasi. Itupun jika dia masih memiliki kesempatan hidup, jika tidak mungkin dia sudah dikuburkan.
"Lo bengong lagi?" Tisa menyentuh dagu Zoya, menahannya agar menatap matanya. Melihat tatapan itu penuh kebingungan, Tisa mengerutkan keningnya. "Ada apa Zo?"
"Peluk gue Tisa. Gue agak takut!" Zoya membuka lebar lengannya, meminta Tisa agar memeluknya.
Tisa memeluk temannya itu. Dia menepuk punggungnya, memberikan ketenangan. "Kenapa? Lo takut dengan hasil pemeriksaannya? Dokter kan udah bilang, kaki lo bentar lagi sembuh!"
Bohong, Tisa juga tahu kalau bukan itu yang dikhawatirkan oleh Zoya. Tapi karena Zoya tidak mau bercerita, Tisa tidak memaksanya. Dia dan Zoya sudah menjadi teman sangat lama, dia paham ada beberapa hal yang tidak bisa dikatakan antara teman. Tapi bukan berarti mereka jadi renggang. Menghormati privasi adalah cara terhormat dalam mempertahankan sebuah hubungan.