Raksa pikir Zoya akan ikut mamanya pulang, karena Zian sudah akan dibawa mobil menuju kediaman Pyralis, untuk prosesi sebelum pemakaman.
Tapi Zoya menyuruh Gerald dan Tisa menemani mamanya. Gadis itu ingin memastikan operasi Jo sukses. Padahal Raksa tahu, Zoya sudah tidak memiliki tenaga untuk bahkan berdiri. Tapi kenapa Zoya mau menunggu operasi Jo?
"Ayo kita pulang!" ajak Raksa.
Zoya bergeming. Dia menatap pintu ruangan operasi. Tangannya gemetaran, dia dulu langsung ikut pulang bersama mamanya, sehingga tidak pernah tahu siapa anak yang mendapatkan donor hati papanya. Karena dia membencinya, dia tidak mau melihatnya hidup. Tapi kini dia tahu dan mengikhlaskannya, dia akan melihat hati papanya bisa membuat anak itu bertahan.
"Hati papaku akan membuat Jo memiliki kesempatan hidup. Aku akan pulang, setelah memastikan anak itu hidup. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada anak itu setelahnya, kini aku akan memastikannya!"
Raksa sangat ingin berteriak pada Zoya, anak itu akan hidup. Bahkan anak itu bisa hidup sampai usianya delapan belas tahun. Anak itu adalah dia! Raksa ingin mengatakannya, tapi dia takut jika nantinya Zoya akan membencinya.
"Bagaimana kamu bisa bertahan?" Raksa bertanya pada Zoya. Dia memeluknya, tapi dia masih tidak mengerti, Zoya bisa sekuat itu.
"Aku tidak bisa, aku tidak bisa Raksa!" Zoya menangis, dia tidak bisa bertahan. Dia hancur. Jikapun sekarang dia masih bertahan, itu karena dia telah melewati masa ini kedua kalinya.
Saat itu ada perawat berlarian. Mereka diberitahu ada pasien lain dalam kecelakaan yang baru dipindahkan dari rumah sakit lain. Dan itu adalah kecelakaan yang sama sekali Zian Pyralis.
Raksa melihat ada pasien lain yang dibawa ke ruangan operasi tepat di sebelah Jo. Dia terkejut, karena dia mengenal wajah pasien tersebut.
Zoya juga melihatnya, itu adalah Lander. Kepalanya berdarah, sudah ada selang infus di lengannya dan juga selang oksigen terpasang. Apa yang terjadi dengan laki-laki itu?
"Tunggu di sini, aku akan bertanya!" Raksa mengambil inisiatif, karena Zoya berniat melihat. Sedangkan keadaan Zoya sedang lemas. Dia memintanya duduk, sebelum pergi bertanya pada perawat.
Raksa mencoba mencari tahu, tapi tidak ada yang menjawabnya. Sampai dia bertemu dengan Navo. Laki-laki itu sedang menandatangani sesuatu. Dia yakin, Navo pasti tahu apa yang terjadi pada Lander.
"Apa yang terjadi pada Lander?"
Navo terlihat kacau, tapi dia masih mengenali Raksa. "Bagaimana kabar papanya Zoya?" Navo malah balik bertanya.
"Zoya kehilangan papanya!" jawab Raksa dengan serak.
"Aku turut berdukacita!" Navo sangat sedih mendengarnya. Dia tidak menyangka, kesedihan seperti itu menimpa Zoya.
"Bagaimana dengan Lander?" Raksa mengulangi pertanyaannya.
"Dia juga korban kecelakaan yang sama dengan papanya Zoya. Truk itu menabrak mobil papanya Zoya dari arah depan, sedangkan di belakang mobil papanya Zoya, ada dua pemotor. Salah satunya adalah Lander. Sedangkan pengedara satunya, katanya selamat. Lander baru dipindahkan dari rumah sakit paling dekat area kecelakaan, karena peralatan di sana tidak memadai!" Navo menjelaskan yang terjadi, dia adalah orang yang ditelepon oleh pihak rumah sakit tempat pertama Lander dirawat, karena kebetulan dia menghubungi ponsel Lander.
Raksa terkejut, karena ternyata Lander juga korban dalam kecelakaan yang sama, yang menewaskan papanya Zoya. Bagaimana semuanya bisa terkait?
Navo mengajak Raksa berjalan menuju ruang operasi. Dia menceritakan, bagaimana Lander kabur dari orangtuanya, dan kembali ke Jakarta. Tapi naas, kejadian buruk menimpanya.
Saat hampir sampai, Navo terkejut melihat Zoya ada di depan ruangan operasi. Bukankah seharusnya Zoya ada di rumahnya? Apa yang dilakukannya di sini?
"Zo, gue tahu ucapan gue gak akan mengurangi duka Lo, tapi Lo harus kuat!" Navo memegang bahu Zoya, memastikan gadis itu masih sadar.
Zoya mengangkat pandangannya, dia mengangguk. "Apa yang terjadi pada Lander?"
Raksa akan memperingatkan Navo, untuk tidak memberitahukan dulu pada Zoya. Karena Zoya sudah terluka. Tapi dia terlambat, Navo sudah bicara.
Zoya terdiam mendengarkan penjelasan Navo. Dia tidak pernah tahu, Lander juga korban dalam kecelakaan yang sama dengan papanya. Mungkin karena dia terlalu sedih waktu itu.
Bagaimana semua jadi saling terhubung? Jadi, Lander benar-benar datang ke Jakarta, tapi laki-laki itu kecelakaan. Dan kecelakaan itu adalah kecelakaan yang sama yang membuat papanya meninggal.
Kenapa dia baru tahu fakta ini?
"Duduklah!" Raksa membantu Zoya untuk duduk. Gadis itu terlihat sangat terkejut.
"Gue akan telepon mamanya Lander, tadi beliau sudah dalam perjalanan dengan pesawat. Gue belum kasih tahu kalau rumah sakitnya berbeda!" Navo mengatakan dengan lirih pada Raksa. Kemudian pergi menjauh.
"Kakak, jangan pikirkan apapun. Lander akan selamat, dia tidak mengalami luka fatal, hanya cidera di kaki dan cidera leher. Sekarang, ayo kita pulang!" Raksa melihat wajah Zoya sudah terlalu pucat.
Zoya belum menjawab, tapi dia sudah jatuh pingsan. Raksa memeluknya, dan langsung meminta pertolongan perawat untuk mengecek kondisinya.
Raksa membawa Zoya pulang, karena mungkin Shana juga khawatir, jika Zoya tetap di rumah sakit. Tentang Jo, dia akan memberitahu kalau anak itu pasti bertahan hidup. Hati Zian berhasil membuatnya bertahan. Karena Zoya kemungkinan tidak akan percaya pada ucapannya, dia meminta perawat memberitahu ke nomor Zoya, jika operasinya berhasil.
Rasanya sangat menyedihkan untuk Raksa, dia melihat sendiri bagaimana kondisi keluarga Pyralis. Keluarga dari orang yang telah memberikan hatinya untuknya. Putrinya yang baik berusaha kuat, tapi tetap tumbang. Shana, saat dia membawa Zoya pulang, wanita itu kembali terisak sambil menyebutkan nama Zian. Dia melihat sendiri, kehancuran keluarga Pyralis, setelah kepergian Zian.
Dia memandangi wajah Zoya, tapi semakin dia memandangi wajahnya, semakin pudar yang bisa dilihatnya. mengusap matanya, Raksa mencoba untuk bisa melihat jelas.
Dia melihat pesan masuk di ponsel Zoya. Layar itu terlihat tidak jelas, dia kembali mengusap matanya. Pandangannya kembali terlihat jelas. Ternyata pesan dari perawat rumah sakit. Memberitahukan bahwa operasi Jo sukses. Tinggal menunggu anak itu sadar.
Raksa tersenyum pedih, pada hari dia mendapatkan kesempatan hidup lebih lama, itu adalah hari Zoya kehilangan papanya. Ada yang pergi, ada yang bertahan. Takdir menukar kehidupan Zian, agar seorang anak penderita kanker untuk bisa bertahan hidup lebih lama.
—
Sudah sehari setelah kecelakaan, Zoya masih belum bangun. Shana bolak-balik ke kamar Zoya, khawatir dengan keadaan putrinya. Padahal dia juga sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Raksa tidak pernah meninggalkan Zoya. Dia selalu berada di sisinya. Menggenggam tangannya, berusaha memberikan kekuatan. Dia mengusap punggung tangan Zoya, karena gadis itu tak kunjung bangun.
Tapi Raksa kemudian melepaskan tangan Zoya. Karena tiba-tiba dia tidak merasakan apapun pada tangannya. Dia kembali mencoba menggenggam tangan Zoya, tapi tangannya tidak bisa menggapainya.
Sebelumnya penglihatannya terus kabur, kini tangannya mati rasa. Dia bingung, kali ini agak panik juga takut. Dia tidak bisa merasakan genggam tangannya pada tangan Zoya.
Apa yang terjadi padanya? Raksa hendak kembali menyentuh wajah Zoya. Penglihatannya kembali memudar. "Apakah aku akan pergi?"
Raksa melihat pesan masuk di ponsel Zoya. Dia tidak bisa merasakan tangannya, tapi penglihatannya kembali jelas. Perawat memberitahu kalau keadaan Jo mulai stabil, tubuhnya tidak menolak hati barunya.
Sekarang Raksa merasa takut. Dia melihat pada Zoya, kemudian pada tangannya. Apakah kesempatan ini akan berakhir sampai di sini saja?
Raksa menangis, dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah Zoya. "Kakak, maaf. Aku bilang akan tetap bersamamu, tapi sepertinya aku tidak bisa. Tolong tetap kuat!"
Saat itu Raksa melihat kegelapan. Dia tidak bisa lagi melihat wajah Zoya. Memejamkan matanya, dia tahu ini telah berakhir.
—
Di sebuah ruangan rawat, dokter yang bertanggung jawab atas kondisi Raksa melihat kalau Raksa mengerakkan tangannya. Dia langsung mengecek mata pasiennya dengan senter kecil. Memeriksa dengan stetoskop juga.
"Dokter, apakah Raksa akan bangun?" Perawat bertanya pada dokter dengan antusias.
"Sepertinya. Dia harus dipukul setelah bangun nanti. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk bunuh diri dengan melompat dari atap gedung! Jika saat itu aku tidak mencegahnya, remaja ini pasti sudah mati! Bodoh sekali!" Dokter merasa lega, dia akhirnya melihat ada harapan.
"Jangan menyerah, meskipun kanker ini kembali, aku aku tidak akan membiarkan kamu menyerah. Bangunlah nak!" Dokter itu menggenggam tangan pasiennya. Jonial Raksa. Berusia delapan belas tahun, mencoba bunuh diri dari atap gedung rumah sakit.