Dokter sedang mengecek kondisi Raksa. Padahal dia pikir Raksa akan bangun, tapi selain sebelumnya ada tanda pergerakan tangan, tidak ada tanda baru remaja itu akan bangun.
"Kau bilang dia akan bangun, lihat, anak nakal itu masih menutup matanya!" ujar seorang dokter magang pada dokter Alam.
"Dia akan bangun, jika tidak, aku akan mematahkan kakinya!" jawab Alam dengan raut wajah kesal.
"Kau terlihat muak dengan anak ini, tapi kau tidak membiarkan dokter lain mengambil alih perawatannya!" Dokter magang itu bicara dengan lirih, karena dia juga sebenarnya takut dengan dokter Alam.
Dokter Alam adalah dokter penanggung jawab atas kondisi Raksa. Dia terkenal sangat pemarah, beberapa juga bilang dokter Alam sangat arogan. Tapi dokter Alam juga dikenal sangat kompeten.
"Dia akan bangun!" Dokter Alam berbalik pergi menuju pintu keluar. Diikuti oleh dokter magang di belakangnya.
"Kau sudah dengar gosipnya?" Dokter magang itu berbisik.
Alam memukul dokter magang bernama Fikar dengan kertas hasil laporan Raksa. "Jangan ajak aku bergosip!"
Dokter magang memegangi keningnya. Dia hanya ingin memberitahu dokter Alam, kalau mungkin saja biaya pengobatan Raksa akan dihentikan, karena skandal besar itu.
"Dokter, tunggu! Ini penting!" Dokter Fikar mengejar langkah dokter Alam. Tapi dia kaget, saat dokter Alam tiba-tiba berhenti begitu saja.
Keduanya melihat pada pintu ruangan rawat di ujung lorong tersebut, yang tengah dijaga oleh dua orang berbadan besar. Ruangan VIP itu memang selalu dijaga ketat setiap hari. Tidak sembarang orang bisa masuk, bahkan dokter sekalipun.
"Katanya pasien VIP itu sangat cantik. Aku penasaran seberapa cantik dia. Dan katanya juga, dia kaya raya. Bisa membayar ruangan fasilitas bagus, dengan penjagaan ketat. Benar-benar kaya!" Dokter Fikar melihat dokter Alam bahkan tidak mendengarkan ucapannya. Langsung pergi begitu saja. Buru-buru dia mengejar langkahnya lagi.
"Dokter selalu berhenti untuk melihat ruangan VIP. Dokter juga penasaran bukan, seberapa cantik pasien itu?" Dokter Fikar langsung mendapatkan tatapan tajam dari Dokter Alam.
Keduanya pergi menuju kantin. Mereka memang sudah waktunya makan siang. Beberapa perawat juga sedang mengantri untuk mengambil jatah makan. Kebetulan, menu makan siang hari itu cukup enak.
"Kau satu-satunya dokter tetap yang masih mau makan disini. Apakah kau sangat suka berhemat?"
Alam langsung memberikan tatapan tajam pada dokter magang yang banyak bicara tersebut. Dia tidak suka menghambur-hamburkan uang, apa salahnya dengan makan di kantin?
Setelah makan siang, Alam langsung mengecek pasiennya yang lain. Setelah jam empat sore, maka jam kerjanya selesai. Dia bisa pulang. Kali ini dia pergi bersama perawat mengunjungi pasiennya.
Dia sudah menjadi dokter tetap di rumah sakit tersebut, sejak tiga tahun lalu. Dia berhenti melakukan operasi bedah, sejak satu tahun lalu. Sekarang dia hanya bertugas untuk mengawasi keadaan pasien, melaporkan keadaan pasien pada dokter kepala. Yah, seperti itulah, karena dia masih berada di bawah pimpinan orang lain.
"Dokter!" Perawat memanggilnya, Alam mengangkat pandangannya, dia malas menyahut.
"Dokter, remaja itu akhirnya sadar. Sekarang dokter Fikar sedang memeriksanya!" Perawat itu melaporkan.
Tanpa menunggu lama, Alam meminta perawat yang bersamanya tadi menggantikan infus pasien, lalu dia langsung pergi untuk melihat kondisi Raksa.
Raksa adalah seorang pasien kanker yang sudah dinyatakan sembuh, setelah mendapatkan donor. Tapi setelah sepuluh tahun hidup dengan hati tersebut, Raksa kembali dinyatakan positif kanker lagi. Kali ini penyebarannya cukup lambat. Sudah dua tahun, Raksa menjalani pengobatan, tapi anak itu sudah sangat putus asa.
"Dokter, pasien mengamuk dan terus berteriak ingin kembali. Tidak tahu apa maksudnya, jadi aku menyuntikkan obat penenang. Dia bahkan melukai satu perawat, karena didorong hingga jatuh!" Fikar melaporkan pada dokter Alam.
Alam menghirup napas dalam-dalam. Dia menahan kemarahannya. "Kenapa tidak memberi tahukan lebih awal padaku?"
Fikar menelan ludahnya susah payah. Dia melihat kemarahan jelas di wajah dokter Alam. Memang dokter Alam sudah sangat menantikan Raksa sadar. Tapi masalahnya, tadi dia tidak tahu dimana keberadaan dokter Alam.
"Apa gunanya ada ponsel, bodoh!" Alam benar-benar tidak habis pikir, kenapa orang-orang bodoh dipekerjakan di rumah sakit ini bersamanya.
Fikar tidak ingat tentang ponsel. Dia mengakui dia memang bodoh. Karena pasien mengamuk, dia pun tidak berpikir dengan jernih.
"Apa yang dikatakannya?" Alam melihat kondisi Raksa, remaja itu memiliki beberapa luka memar di tangannya. Mungkin terkena sesuatu saat mengamuk tadi.
"Ambil obat!" pintanya pada perawat.
Fikar mencoba mengingat apa yang pasien ucapkan. "Dia menangis, katanya dia ingin kembali. Aku melihatnya sangat frustasi. Karena baru bangun setelah sempat koma, jadi dia tidak bisa pergi jauh!"
"Kalian kalah dengan satu orang, dan membiarkan pasien melukai dirinya sendiri seperti ini?" Alam menunjukkan bekas memar di beberapa bagian tangan pasien.
"Maaf, dokter!" Fikar menyesal.
"Sudah kabari orangtuanya, kalau putra mereka sudah sadar?" Alam memastikan hal penting itu dilakukan dengan benar.
Fikar mengangguk kuat. "Sudah dokter, tapi asistennya yang menjawab. Aku memintanya untuk menyampaikan pesan pada ayah pasien!"
"Biarkan dia istirahat. Jika bangun nanti, tolong langsung telepon aku!" Alam memperingatkan perawat yang bertugas jaga.
"Dokter akan pulang?" Fikar bertanya.
"Pastikan saja orangtuanya segera tahu tentang kondisi pasien ini. Aku akan pulang, jam kerjaku selesai!" Alam tidak pernah pulang lebih lambat dari jam kerja yang seharusnya. Dia selalu tepat waktu.
"Baik dokter!" Fikar masih mengikuti langkah dokter Alam.
"Dokter bisakah kalau aku menelpon, jika ada sesuatu yang mendesak?" Fikar masih seorang dokter magang. Dia masih butuh bimbingan dokter Alam. Sangat menyedihkan, diantara banyaknya dokter, dia malah ditempatkan di bawah dokter Alam.
Banyak yang bilang, anak-anak magang yang bersama dokter Alam tidak akan betah. Pertama, dokter Alam mudah marah. Kedua, dokter Alam tidak banyak bicara. Ketiga, dokter Alam sangat pelit.
"Yah, terserah!" Alam sudah lelah, dia ingin segera pulang, dan mandi.
Dia tinggal sendirian di apartemen kecil, dimana saat itu masih dalam proses menyicil. Apa yang bisa diharapkan, dia masih harus membiayai sekolah adik-adiknya. Tanggung jawabnya sebagai anak pertama, membuatnya tak bisa bebas bergerak.
Tinggal di apartemen sendirian, baginya sudah merupakan kemewahan. Dia menabung sejak lama, agar bisa hidup tanpa gangguan.
Dia tidak memiliki mobil, hanya ada motor sport yang dibelinya dengan kredit, tapi sudah lunas beberapa bulan lalu. Hal tersebut juga menjadi fasilitas terbaik yang bisa dimilikinya, yaitu memiliki kendaraan sendiri.
Kehidupannya tampak baik, dia seorang dokter tetap di rumah sakit besar. Tapi pada kenyataannya, dia masih tidak bisa lepas dari permasalahan keuangan.
Di usianya yang ketiga puluh tahun, dia belum memiliki calon istri. Dia baru diputuskan dua bulan lalu, dengan alasan dirinya dianggap membosankan. Sungguh, dia tidak terlalu baik dalam sebuah hubungan.
Masuk ke apartemennya, Alam langsung menuju kamar mandi. Dia melepaskan semua pakaiannya, membiarkan bulir air membasahi setiap sel kulitnya.
Dia hanya menghabiskan waktu lima menit untuk selesai mandi. Memilih pakaian santai, dia sudah lapar. Karena belum berbelanja bulanan, dia hanya bisa memasak telor dadar. Tapi malangnya, dua telor itu sudah busuk. Pupus sudah harapannya makan telor dadar.
Tidak mau memaki, Alam memilih menyeduh segelas kopi. Dia mungkin gagal makan, tapi dia tidak gagal menikmati kopi di sore hari, dengan pemandangan senja dari jendela kamarnya. Bolehkah jika dia menyebutkan hal tersebut sebagai kemewahan lain yang bisa dia miliki?
Alam mengingat pasien VIP di rumah sakit tempatnya bekerja. Apakah dia orang yang sama? Jika saja dia memiliki akses masuk, mungkin dia bisa memastikannya. Rindu, kata yang sangat tidak pantas dia katakan, tapi dia rasakan.