Rasa sesak dari kehilangan

1224 Kata
Hari itu, Zoya berharap dia kembali terbangun di kehidupannya yang sudah mencapai usia tiga puluh tahun. Karena pada hari itu, adalah hari terburuk dalam hidupnya. Menolak keluar dari kamar, Zoya tetap meringkuk di atas tempat tidurnya. Dia benar-benar berharap tidak melewati hari ini. Di luar pintu kamar Zoya, Raksa duduk bersandar pada pintu itu. Dia tidak beranjak sedikitpun sejak pagi. Apa yang harus dilakukannya? Raksa memejamkan matanya, tapi dia tidak tidur. Menunggu Zoya keluar dari kamarnya. Dia akan memastikan, pada saat terburuk itu, dia akan tetap bersama dengan Zoya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara nyanyian lirih, Raksa menegakkan badannya. Zoya bernyanyi, tapi suaranya bergetar. Tanpa musik, suaranya biasa terdengar begitu jelas di pendengarannya. Gadis itu menyanyikan lagu yang tidak pernah dia dengar. Seperti alunan nada yang terus terdengar, jantungnya juga ikut berdegup kencang. Dia seperti sedang menghitung waktu bersama Zoya. Air matanya mengalir, dia tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya dia pikirkan, hanya saja hatinya terasa sakit. — Di sekolah, anak-anak sedang merayakan hari kelulusan, para wanita mengenakan kebaya, sedangkan laki-laki paduan kemeja dan celana panjang. Semuanya menghadiri acara kelulusan tersebut. Karena pada hari itu, adalah hari terakhir mereka di sekolah tersebut. Hanya ada tiga orang yang tidak bisa ditemukan, Lander, Zoya dan Raksa. Tisa mencoba menghubungi Zoya, tapi tidak tersambung. Dia agak panik, karena Zoya tidak mengatakan apapun kenapa hari ini tidak hadir. Rasa bahagianya jadi agak kurang, karena dia tidak bersama dengan teman kesayangannya. Navo juga mencoba menghubungi Lander. Karena semalam Lander bilang akan berusaha untuk datang ke Jakarta jika bisa. Tapi sampai hampir menjelang siang, tidak terlihat batang hidungnya. Apakah artinya Lander tidak akan datang? — Di kamarnya, Zoya melihat jam dinding dengan ekspresi datar. Dia berhenti bernyanyi, karena ternyata tidak meredakan ketakutannya. Kini dia duduk diam di dekat tempat tidurnya. Menatap jarum jam yang terus bergerak. Kenapa dia tidak menghentikan papanya untuk tidak pergi hari ini? Mungkin saja keadaan bisa berubah? Tidak, Zoya tidak melakukannya. Dia sudah memahami batas waktu yang diberikan Tuhan tidak akan bertambah untuk papanya. Jika dia mencegah papanya pergi, artinya dia juga mencegah seorang anak mendapatkan kesempatan hidup. Zoya mencoba mengiklaskan jalan takdirnya. Dia pernah melewati ini, dia pasti bisa. Setelah ini, papanya akan menunggunya di surga. Mereka akan bertemu lagi suatu saat nanti. Air matanya menetes, Zoya tidak mencoba mengusapnya. Dia tetap diam dan memperhatikan jam dinding. Setiap satu detik yang berlalu, menambah rasa takutnya. Saat itu, ponselnya berbunyi. Zoya sudah banyak mendapatkan panggilan di ponselnya, tapi dia hanya menunggu panggilan dari mamanya. Dan saat itu adalah panggilan dari mamanya. "Mama!" Suara Zoya bergetar, dia tahu, dia bahkan ingat apa yang akan dikatakan mamanya. "Sayang, dengarkan mama nak," Shana bicara diantara tangisnya, dia kesulitan mengucapkan kalimat yang mungkin akan menghancurkan perasaan putrinya. Zoya juga tahu mamanya tidak mengatakan dengan langsung, dia hapal dialog mereka ini. Karena sampai dua belas tahun berlalu, dia tidak pernah bisa melupakannya. "Sayang, apakah kamu ada di sekolah? Bisakah kamu datang ke rumah sakit? Mama akan menunggumu. Tolong jangan terlalu lama, mama menunggumu!" Shana mematikan sambungan teleponnya, dia tidak sanggup memberitahu putrinya. Zoya tersenyum tipis, air matanya mengalir deras. Dialognya benar-benar tidak berubah. Bedanya, dulu dia sedang berada di sekolah merayakan hari kelulusan. Dia berlarian dengan panik mencari taksi untuk pergi ke rumah sakit. Dulu dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia tahu itu sesuatu yang buruk. Karena mamanya tidak pernah menangis dengan begitu menyedihkan. Sekarang dia tidak perlu berlari, dia berjalan dengan lemah untuk keluar dari kamarnya. Saat pintu terbuka, dia agak terkejut melihat Raksa sudah berdiri di depannya. Sejak kapan anak itu berada di sana? Tapi Zoya tidak bertanya, dia hanya terus melewatinya. "Kakak, aku akan ikut bersamamu!" Raksa mengikuti langkah Zoya. Dia benar-benar tidak bisa melakukan apapun, melihat bagaimana Zoya menatapnya barusan. Dia juga melihat dukanya. Keduanya masuk ke dalam mobil, tapi tidak ada yang bicara. Zoya tetap diam, begitupun dengan Raksa. Keduanya sama-sama tahu, keduanya sama-sama merasa hancur. Zoya tidak pernah membayangkan, dia akan kembali merasakan rasa sakit ini. Tapi dia tidak lagi merasa marah, dia hanya takut. Mengulangi tragedi paling pahit dalam kehidupannya. Cahaya kehidupannya direnggut, dan mulai hari ini, dia dipenuhi kegelapan. Raksa membawa Zoya ke rumah sakit. Zoya mungkin tidak sadar, bagaimana dia bisa tahu tujuan mereka. Karena gadis itu juga tidak bicara sejak tadi. Mereka langsung turun dari mobil, begitu sampai di halaman rumah sakit. Zoya tidak lagi berjalan lemah, dia sekarang berlari. Dia pergi menuju ruangan dimana papanya ditempatkan. Di lorong itu, dulu dia menangis bersama mamanya. "Sayang, dengarkan mama. Kamu sayang sama papa 'kan?" Shana tidak sanggup memberitahu putrinya, apa yang akan dikatakannya. Bahwa papanya mungkin tidak bisa bertahan. Zoya langsung memeluk mamanya. Jika dulu dia dengan panik memaksa mamanya bicara, kini dia tidak melakukannya. Dia tahu mamanya pasti juga sedang terluka. Shana terkejut, saat putrinya memeluknya. Apakah putrinya sudah tahu? Shana menangis semakin keras, dia bahkan tidak bisa memberitahu putrinya. Raksa berdiri di kejauhan. Dia tidak sanggup melangkah lebih dekat lagi. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar, hingga dia harus mengepalkan tangannya. Pemandangan yang begitu memilukan. "Dokter, tolong! Panggil dokter, pasien kejang!" Seorang perawat berteriak setelah keluar dari ruangan Jo. Dia sangat panik karena tidak melihat adanya dokter, dia berlari mencari dokter. Raksa melihatnya, dia akan mati pada saat itu. Dokter harus melakukan operasi untuk menyelamatkannya. Kebetulan, ada pasien dalam keadaan kritis, dengan luka parah akibat kecelakaan. Dan sebelumnya, pasien itu sudah meninggalkan wasiat, akan mendonorkan organnya bagi orang yang membutuhkan, jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Dia adalah Zian Pyralis. Raksa melihat lagi ke arah Zoya dan Shana yang masih berpelukan. Dia mengambil sesuatu milik mereka. Dia yang mengambilnya. — Zoya melihat kondisi papanya, kecelakaan yang dialaminya sangat parah. Tulang rusuknya patah, dan mengenai jantungnya. Terdapat banyak banyak luka fatal lainnnya. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Zian dinyatakan tidak bisa diselamatkan setelah diperiksa dokter. Shana menangis tanpa suara, dia tidak bisa berdiri dan jatuh terduduk di lantai. Belahan hatinya telah pergi. Dunianya runtuh, bagaimana caranya bertahan, bagaimana dia akan menatap mata putrinya. Zoya mendekati tubuh papanya yang berdarah-darah. Dia mendorong dokter yang menghalanginya. Memeluk papanya, Zoya ingin merasakan pelukan terakhirnya. "Papa, Zoya berterimakasih papa telah menjadi papa terbaik!" Zoya menahan tangisannya, karena dia ingin bicara pada papanya. "Zoya sudah sering mengatakan ini, Zoya sayang papa!" Dokter di sana terkejut, karena seorang remaja begitu tegar memeluk papanya. Bahkan masih bisa bicara dengan baik. Saat itu dokter lain masuk. Bicara dengan seorang dokter yang tadi menangani Zian. Mereka lalu mengajak Shana keluar dari ruangan, dan perawat lain juga langsung memindahkan Zian ke ruangan lain. Zoya berdiri diam melihat papanya dibawa pergi. Dulu dia bingung, saat mamanya memberitahu papanya dibawa ke ruang operasi untuk mengambil hatinya, dan mencocokkan dengan seorang anak sakit kanker, dia juga sangat marah. Mamanya bilang sudah sejak lama papanya menandatangani kesepakatan tentang donor organ, tanpa memberitahu mereka. Pihak rumah sakit mendapatkan persetujuan dari Zian, saat dia masih hidup dan sehat. Kini yang dilakukannya hanya diam, ketika melihat papanya dibawa pergi. Papanya ingin menolong orang, disaat terakhirnya. Bagaimana mungkin dia tidak bangga memiliki papa sepertinya? Hanya saja, dia masih merasakan ketakutan yang sama, seperti dulu. Seseorang memeluknya, Zoya menoleh. Orang yang memeluknya adalah Raksa. Dia baru bisa menangis setelahnya. Rasanya sangat sakit dan sesak. "Aku akan memelukmu!" Raksa merasa tidak tahan melihat keadaan Zoya. Dia juga sangat kesakitan. Takdir telah mempertemukan Zian dan Jo dalam satu ruangan. Melalui Zian, Tuhan memberikan kesempatan untuk Jo bisa hidup lebih lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN