Jika ada yang percaya aku terpedaya oleh sikap manis Mas Pram, itu salah besar. Tak semudah itu kau bisa membodohiku, Mas.
Aku siaga, bahkan sampai level satu melihat perubahan sikapmu yang begitu drastis. Benarkah alasanmu baik padaku adalah karena tak mau cerai dariku atau … ada maksud lain yang kau sembunyikan? Hm, lagi-lagi aku harus waspada. Timbul juga pikiran kalau Mas Pram tahu tentang aku yang menang undian itu, makanya dia jadi baik padaku seperti ini sekarang.
Oh … tidak-tidak, aku harus waspada padamu, Pramono. Bisa saja kau sama liciknya dengan ibumu yang serakah itu. Tapi uang memang sudah kuamankan untuk membayar rumah melalui Astri—sahabat baik yang mengerti suka dukaku. Soal kolam ikan pun, melalui Mas Rio aku sudah meminta tolong padanya untuk mencari indukan.
Sedangkan untuk hak yang mungkin diminta Mas Pram padaku malam ini, aku sudah mengamankan diri dengan melakukan suntik KB bulanan ke bidan siang tadi. Ya, aku memang takut hamil. Mempunyai anak lagi bersamanya adalah satu hal yang jauh dari angan-angan.
Aku ikuti saja alur permainan Mas Pram yang tiba-tiba jadi baik padaku dan Riana. Toh, aku sudah waspada dari segala arah bukan?
"Mas, kita mau ke mana?" tanyaku sambil menggendong Riana yang malam ini memakai jaket tebal untuk menghindari masuk angin.
"Ikut aja …, yuk." Seperti suami yang baik, Mas Pram menuntunku menaiki honda PCX putih miliknya sebelum melesatkan motornya dan entah akan membawaku ke mana. Ya … ikuti saja alurnya, Listi …! Yang terpenting kau harus tetap waspada. Jangan sampai lengah.
Aku hampir tak percaya saat mendapati Mas Pram membawa diriku ke pusat perbelanjaan yang memiliki lima lantai dengan bermacam fungsi dan fasilitas di setiap tingkatnya. Mulai dari pasar swalayan, bioskop, restoran, taman bermain maupun pusat kebugaran. Ada juga toko mas dan counter ponsel di sini.
Melewati toko emas, aku menatap lama perhiasan-perhiasan yang terpajang di etalase. Jiwa perempuanku berontak. Ingin memiliki salah satu atau beberapa perhiasan yang terpajang rapi di sana. Namun untuk membeli, rasanya tak mungkin. Aku tak mungkin mempergunakan uang lima juta yang Mas Pram berikan padaku untuk membeli perhiasan berbahan dasar logam mulia itu. Bisa mati gaya aku nanti. Aku yakin 100 persen Ibu akan menahan uang belanja dan melimpahkan semua kebutuhan rumah padaku. Aku yakin itu.
"Kenapa, Lis?" Pertanyaan Mas Pram membuatku sontak tertegun. Kesadaranku yang sempat berkelana jauh kini tiba-tiba datang lagi.
"Ah nggak apa-apa." Aku menggeleng pelan sambil mengurai senyum tipis.
"Kamu mau berhias?" tanya suamiku yang sontak membuatku terperanjat.
Jika ditanya aku mau atau tidak, jelas saja aku mau.
"Ayo, kamu mau beli apa." Mas Pram menarik tanganku ke arah etalase toko emas yang menyediakan berbagai macam perhiasan dengan kadar emas 24 karat.
Hah?
Aku terpelongo. Masih juga tak percaya kalau ini nyata. Bukan mimpi.
Mas Pram mau membelikanku emas? Benarkah ini?
"Lis, pilih saja kalau kamu ingin kalung atau cincin yang mana, ya," ujar Mas Pram sambil mengarahkan pandangan ke arah perhiasan-perhiasan yang berjejer rapi di etalase hadapan kami.
Lagi-lagi aku dibuat tak percaya dengan tawarannya kali ini. Mendapatkan uang gajinya saja rasanya seperti mimpi, lalu ini? Bukankah ini seperti durian runtuh?
"Kalau aku mau kalung sama cincin bagaimana?" Aku memberi pertanyaan yang menurutku krusial pada orang yang terbiasa pelit ini. Ah, entahlah dia ini pelit atau terlampau berbakti pada ibunya. Aku tak bisa menilai.
Sengaja aku memilih kalung seberat 10 gram beserta liontin dengan huruf L seberat satu gram. Dan anehnya, Mas Pram setuju-setuju saja? Ada apa, ya?
Tak sampai disitu, aku pun lantas memilih cincin dengan ukiran manis seberat lima gram. Dan dia pun menyanggupi? Ada apa ini?
Melihatnya baik seperti ini kenapa hatiku malah jadi was-was, ya? Jangan-jangan dia punya maksud terselubung lagi.
"Pilihkan juga buat Riana," pintanya yang membuat otakku mendadak blank. Merasa kebaikannya ini terlalu berlebihan dan mencurigakan.
Aku pun lantas memilihkan gelang mungil untuk Riana. Sengaja aku memilih gelang karena untuk kalung dan cincin, Riana sudah punya. Walaupun jarang dipakai. Bocah dua tahun ini hanya memakai perhiasan miliknya jika ada acara penting saja. Misal pengajian atau arisan RT.
Selesai dengan segala macam yang berkaitan dengan emas, Mas Pram mengajakku berkeliling dan kemudian belanja baju dan makanan. Sungguh, sikapnya yang terlampau baik ini membuatku pasang kuda-kuda. Takut dia balik memanfaatkanku setelah ini.
"Lis, mampir makan di KFC, yuk. Ternyata udah lama kita nggak makan KFC bareng." Mas Pram berujar sembari menenteng barang belanjaan milikku.
"Iya, lah, terakhir kan pas kita masih pacaran, waktu aku masih kerja di garment dulu," sindirku yang membuat wajah Mas Pram berubah pucat. Entah dia tengah tersinggung dengan ucapanku atau apa. Terserahlah.
Untuk pertama kalinya, setelah tiga tahun menikah, aku dan Mas Pram beserta Riana makan di luar bersama. Menimbulkan perasaan yang … entah. Haruskah aku merasa terharu dengan semua ini? Aku tak tahu.
Riana tampak lahap menikmati ayam paha restoran siap saji yang berpusat di Kentucky ini. Sesekali Mas Pram tampak tersenyum haru melihatku dan Riana yang begitu menikmati makan malam luar biasa kali ini.
Ada apa dengan suamiku sebenarnya?
Seperti tak mau melupakan Ibu dan adiknya, Mas Pram pun membawakan pulang dua kotak KFC untuk mertua dan iparku itu. Ya, soal bakti pada orang tua, sejauh ini memang Mas Pram lah anak yang paling mengayomi ibunya. Dibandingkan saudara-saudaranya yang lain, Mas Pram lah yang terlihat paling sayang dengan ibunya. Tak heran kalau akhirnya mertuaku memanfaatkan keadaan itu.
Ah, sudahlah. Terlalu pahit dan menyakitkan kalau diingat.
***
Ibu dan Mayang melengos saat Mas Pram membawakannya dua kotak KFC untuk mereka malam ini. Dari ekspresi wajahnya, tampak sekali ibu menyimpan dendam pribadi padaku yang malam ini mungkin dianggap banyak menghabiskan uang anaknya. Terserahlah.
Menyadari Riana sudah mengantuk, buru-buru aku mengajaknya gosok gigi sebelum tidur. Sebisa mungkin aku memang mengajarkannya menyikat gigi sejak dini agar dia terbiasa dengan aktivitas yang kadang mengundang rasa malas jika kantuk sudah datang.
Seperti dugaanku, Mas Pram memang meminta haknya malam ini. Dan tentu saja aku memberikannya dengan suka rela meski hati masih saja menaruh rasa curiga padanya. Tapi suntik KB yang sudah kulakukan memberikan sedikit rasa tenang dalam diriku saat diwajibkan memenuhi bakti sebagai seorang istri di atas ranjang.
"Mas, kok hari ini kamu jadi baik banget? Ada apa?" Aku bertanya padanya pasca menyelesaikan ibadah sebagai pasangan halal beberapa saat tadi.
"Memang nggak boleh?" Mas Pram yang masih bertelanjang d**a balik bertanya santai.
"Boleh, sih … tapi … emangnya nggak sayang gitu nguras tabungan buat beliin aku emas?" tanyaku dengan nada heran.
"Siapa bilang aku nguras tabungan, Lis. Aku baru dapat bonus dan naik jabatan, Lis," ujarnya dengan binar bahagia.
Wah … Mas Pram naik jabatan rupanya? Ah, meski begitu aku harus tetap siaga padanya. Tak boleh begitu saja terlena oleh sikapnya yang secepat ini berubah 180 derajat.
Bukankah lebih baik sedia payung sebelum hujan?
***
Pagi ini, saat sarapan berlangsung Mayang tak berhenti menatap jemari kiriku yang memang dilingkari cincin yang dibelikan Mas Pram semalam.
Matanya menatap takjub pada perhiasan yang menghiasi jari manisku ini. Tak berbeda dengan Mayang, Ibu pun sama, matanya tak berhenti melotot saat menatap cincin yang kukenakan ini.
Melihat Ibu dan Mayang yang tampak kelabakan, aku bersikap pura-pura bodoh tapi tetap waspada.
"Kamu pelet pakai apa si Pram, hah?" tanya Ibu dengan suara lantang sesaat setelah Mas Pram pergi bekerja dan di rumah ini hanya tinggal aku, Ibu, dan Riana.
Aku tersenyum tipis menanggapi kecurigaan Ibu yang tak beradab ini.
"Ya ampun, Ibu … kenapa nuduh aku sampai sejauh itu? Wajar saja kalau Mas Pram baik pada anak dan istrinya. Mungkin, hidayahnya telah sampai setelah selama ini dzolim pada kami." Aku memberi penekanan pada kata 'dzolim' membuat wajah Ibu semerah kepiting rebus.
"Berani kamu, Listi!"
Hei! Apa dia tersinggung setelah mendengar kata dzolim?