[Mas, aku mau pergi ke rumah Bapak, ya.] Kukirim pesan WA pada Mas Pram pagi ini. Daripada diolok-olok lagi sebagai istri yang tak menghargai suami, lebih baik aku mengikuti saja kemauannya.
[Ya.] Pesan balasan singkat masuk ke ponselku.
[Makasih, Mas.]
[Iya, Sayang.] Ish, entah kenapa aku geli membacanya. Dulu saat masa pacaran, memang Mas Pram sosok yang royal dan romantis, tapi semenjak menikah dia menjadi sosok yang sangat berbeda. Makanya, jika sekarang dia jadi romantis lagi aku malah geli sendiri dibuatnya.
Seperti biasanya, setelah tampil dengan rok panjang dan baju lengan panjang serta jilbab yang lumayan lebar aku menggendong Riana dengan kain jarik.
"Pergi dulu, Bu." Aku pamit pada mertuaku yang tengah duduk santai di kursi jati depan rumah. Tumben, tak menonton TV seperti biasanya? Apa … sikap Mas Pram yang berubah membuatnya tertekan dan menjadikan dia tak berselera untuk menyaksikan acara TV kesayangannya? Entahlah.
"Heh, Listi! Enak banget kamu main pergi gitu aja!" Ibu mendelik menatapku yang telah siap mencari angkot sebelum menuju rumah Bapak.
"Memangnya kenapa, Bu? Semua pekerjaanku sudah aku selesaikan." Aku menjawab santai makian Ibu.
"Itu. Piring kotor masih bertumpuk begitu," ketus Ibu dengan napas terengah. Hm, semoga ibu baik-baik saja dan tak sesak napas kali ini, karena itu akan memperlambat niatku mengunjungi rumah Bapak untuk melihat sejauh mana perkembangan kolam ikan hias di sana.
"Bu. Itu kan tugas Mayang." Aku menyahut tegas. Membuat ibu menyentak napas kasar.
"Halah. Perhitungan banget kamu jadi orang, duit sudah dikasih cincin sudah dibelikan sama anak aku, kerja saja pilih-pilih." Ibu masih saja tertarik untuk memelototi diriku.
"Maaf, ya, Bu. Anak Ibu itu suami aku. Jadi wajar kalau dia menyerahkan gaji sama istrinya. Itu masih untung loh Bu, kita dapat jatah yang sama. Coba kalau aku rakus, udah aku minta semua gaji Mas Pram," ucapku sambil lalu.
"Listi ...!"
Teriakan Ibu tak kupedulikan, tak mau membuang waktuku yang berharga untuk berdebat dengan Ibu.
***
Bapak tersenyum senang saat aku datang.
"Gimana, Pak?" tanyaku antusias.
"Alhamdulillah lancar, Lis." Bapak tersenyum semringah.
"Indukannya bagus." Bapak mengacungkan jempol padaku.
Aku pun menurunkan Riana di ruang tamu. Karena masih pagi, dua adikku yang masih sekolah Ismi dan Riri jadi tak bisa kuharapkan bantuannya untuk menjaga Riana di sini.
"Tri, aku udah di rumah Bapak, nih." Melalui sambungan telepon, aku menghubungi Astri yang sudah janji bakal menemuiku saat aku sudah sampai di rumah bapakku ini.
"Sip, aku ke situ."
***
Astri datang bersama anak laki-lakinya ke sini. Senyumnya terkembang saat kami kembali berjumpa setelah beberapa hari cuma terhubung melalui chat WA. Ah, betapa aku begitu beruntung memiliki sahabat sebaik dia. Sahabat yang sejak kecil tahu pahit dan getirnya hidupku.
"Maaf, ya. Agak lelet, ini bocil banyak maunya," ujar Astri sambil menyalamiku dan Bapak.
"Nggak apa-apa, santai aja. Maaf ya aku udah ngrepotin kamu sama Mas Rio terus," sahutku sembari mempersilakan Astri duduk melalui isyarat tubuh.
"Bapak ke belakang dulu, ya, ini jadwalnya ngasih makan ikan." Bapak pamit saat mungkin ingat tentang jadwal memberi makan peliharaan barunya.
"Oh, iya, Pak." Aku mengangguk. Ah, kebetulan sekali Bapak ke belakang, jadi aku bisa bebas berbincang dengan Astri.
"Eh, seriusan Mas Pram udah berubah?" tanya Astri antusias. Ya, aku memang sering curhat tentang apa-apa saja pada sahabat baikku ini. Begitu juga sebaliknya. Dari dulu, Astri memang tempat berbagi terbaik karena meskipun agak bawel, tapi dia tak pernah menghakimi.
"Iya, serius. Noh liat." Aku menunjuk cincin di jari manis dan membuka kerudung menunjukkan kalung yang kupakai pada Astri.
"Wah … kemajuan banget." Astri menatap takjub padaku.
"Iya, sih." Aku mengangguk pelan. "Tapi ya … takut juga ada niat terselubung di balik sikap baiknya ini, Tri."
"Iya, sih." Astri manggut-manggut membenarkan ucapanku.
"Soal kamu yang menang undian, Mas Pram udah tau?"
"Kayaknya belum."
"Iya, gak usah dikasih tau dulu kalau kamu belum niat pisah ama dia." Astri tertawa kecil saat meledek diriku. Membuatku mengerucutkan bibir saat mendengarnya.
"Kuras aja dulu harta Mas Pram sebelum kalian pisah." Astri terkikik. " Ish. Jahatnya aku menjerumuskan sahabat sendiri." Astri menepuk kening. Membuatku menggeleng kepala melihat sikapnya yang kadang sedikit kocak.
"Terus gimana dengan rumah yang udah kamu beli?" tanya Astri mengalihkan pembahasan.
"Iya, ya … apa keputusan aku buat beli rumah itu keputusan yang terburu-buru?"
Astri menggeleng pelan.
"Ah, engak juga. Rumah dan tanah itu investasi yang nggak akan merugi, Lis. Percaya deh. Kalau pernikahanmu dengan Mas Pram masih bisa dipertahankan, rumah itu bisa dikontrakkan dulu ke orang." Asti mengutarakan pendapatnya.
"Iya, sih. Tapi kadang-kadang ya … tetep juga pengen bisa hidup mandiri, pisah rumah sama orang tua dan mertua." Aku menarik napas dalam. Sungguh, dalam hati kecilku ingin rasanya aku bisa berumah tangga dan mandiri seperti pasangan-pasangan lain. Pasti menyenangkan.
"Wajar, sih … kalau kamu mikir gitu, karena emang, orang yang udah berumah tangga, 'kan enaknya emang mandiri. Tapi liat aja ke depannya. Mas Pram bisa nggak ninggalin ibunya? Dari caranya bersikap selama ini, kayaknya laki kamu itu sayang banget sama ibunya sampai semua gaji dia kasih." Astri berucap panjang lebar membuat dadaku berdenyut nyeri saat mengingat betapa suamiku mengesampingkanku.
"Tapi … denger sikap Mas Pram yang tiba-tiba berubah baik, kok aku jadi curiga, ya," cetus Astri yang sontak membuatku menghela napas panjang.
"Sama, bukan kamu aja kali yang mikir kayak gitu."
"Coba, deh, ntar malam kamu stalking hape dia. Takut dia punya gundik di luar." Astri terkekeh saat menyadari aku melebarkan bola mata mendengar ucapannya.
***
Seperti yang disarankan Astri, malam harinya aku sengaja tak tidur cepat sampai memastikan Mas Pram terlelap. Ya, aku ingin mencari jawaban atas rasa penasaranku tentang perubahan sikap Mas Pram yang mendadak jadi begitu baik dua minggu ini.
Dengan hati berdebar dan tangan gemetar, kusambar ponsel Mas Pram yang dia letakkan di atas nakas samping ranjang. Sungguh, selama menikah dengannya, baru sekarang aku selancang ini. Tak apa lah daripada aku mati penasaran.
Aku hampir tak percaya saat mendapati ponsel Mas Pram tak berpengaman. Iya lah, kenapa juga harus diberi pengaman, selama ini kan istrinya ini terlalu bodoh karena percaya begitu saja dia tak akan mendua. Bagaimana mau mendua kalau gaji saja dia serahkan semua pada Ibu. Selalu itu yang tertanam di benakku saat rasa curiga itu muncul.
Aku mulai scroll-scroll chat WA Mas Pram, dan tak menemukan sesuatu yang mencurigakan di sini. Huft! Apa kecurigaanku memang tak semestinya ada?
Baru hendak meletakkan ponsel, aku dibuat terkejut saat ada pesan masuk ke ponsel suamiku.
[Mas, kapan kamu bakal nikahin aku? Aku masih setia nunggu kamu, loh buat cerai sama si miskin itu.]
Allah … jadi benar, Mas Pram berselingkuh?