Durhaka Kamu, Pram!

1418 Kata
"Ibu …." Mayang berteriak histeris sambil berurai air mata saat mungkin menyadari Mas Pram terlihat dilema pasca mendapati sang ibu tak sadarkan diri usai mendapatkan informasi jika menantu miskinnya juga mendapatkan jatah dari gaji anaknya. Buru-buru Mas Pram membaringkan tubuh Ibu yang sedikit tambun ke sofa ruang tamu. Wajahnya masih menunjukkan raut kekhawatiran saat melihat sang ibu belum juga sadarkan diri. "Ini gara-gara kamu, Mas!" Sambil terisak, Mayang membentak kakak yang usianya 12 tahun lebih tua darinya. Mas Pram hanya diam menanggapi olok-olokan Mayang. Wajahnya tertunduk lesu. Membuatku tak bisa mengeja apa yang tengah dipikirkannya kini. Apakah Mas Pram tengah menyesali keputusannya memberiku nafkah lahir yang sekian lama tak kudapatkan secara langsung darinya? Kalau dia memang menyesalinya, bukankah itu sama dengan picik? Selama tiga tahun, aku sudah cukup bersabar dengan jatah minim yang Ibu berikan padaku. Uang yang rasanya cuma cukup untuk makan dan membeli pospak serta s**u Riana saja selama ini. "Kamu kebangetan, Mas!" Seperti tak tahu etika, Mayang kembali membentak pada Mas Pram yang masih saja tertunduk tanpa suara saat melihat sang ibu belum juga membuka mata. "Kebangetan bagaimana, May?" Aku menyahut ucapan Mayang sambil mengangkat kedua alisku. "Eh, diamlah kau perempuan mata duitan! Aku lagi nggak berselera ngomong sama kamu!" ketus Mayang sambil menumbukkan pandangan tajam padaku. Aku mendengkus kasar, merasa anak ABG ini sudah sangat keterlaluan dalam memperolok diriku. Andai pantas, ingin rasanya aku memasukkan cabai rawit sekilo di mulut Mayang. Biar dia diam dan berhenti memperolok kakak iparnya ini. Huft! Sabar, Listi. Sabar …. "Mayang, jaga ucapanmu! Listi itu kakak iparmu, jarak usia kalian saja enam tahun. Kenapa kamu nggak bisa berbicara sedikit sopan, hah?" Aku terkesiap. Sungguh, kata-kata Mas Pram barusan membuat hatiku berdesir. Merasa sedikit ada harga diri walaupun agak terlambat. "Oh … jadi kamu lebih belain perempuan miskin ini, Mas?" tanya Mayang berapi-api. "Mayang cukup! Aku nggak ingin berdebat lagi!" Mas Pram mengangkat tangannya dengan tegas. Membuat Mayang sontak terdiam. Namun, raut wajahnya jelas sekali masih menunjukkan ekspresi jengkel yang masih kentara. "Lis, apa kita perlu membawa Ibu ke dokter?" tanya Mas Pram mengalihkan pandangan pada diriku. Aku yang tak siap mendapatkan pertanyaan, sontak tergeragap karena gugup. Sungguh, baru kali ini Mas Pram membuatku merasa dianggap sejak aku bergelar sebagai seorang istri tiga tahun yang lalu. "Eum, rasanya nggak perlu, Mas. Paling diolesi minyak kayu putih saja di sekitar hidung Ibu. Rasanya … itu saja sudah cukup," ujarku memberi saran sekenanya. "Oh gitu, ya?" Mas Pram mengangguk-angguk samar. "Iya, kita coba saja dulu. Bentar, ya aku ambil minyak kayu putihnya dulu.". Mas Pram mengangguk pelan, sementara Mayang yang duduk tak jauh dari ibunya terus menatap sinis padaku. Aku pun lantas bergegas ke kamar untuk mengambil minyak kayu putih sambil berharap kalau ibu cuma pingsan dan tak ada hal serius yang mengancamnya. Walaupun selama ini Ibu telah memperlakukanku semena-mena, bukan berarti aku harus mendoakan yang buruk-buruk untuknya kan? Bukankah setiap doa akan berbalik pada si pengucap doa itu sendiri? Setelah daerah di sekitar hidung diolesi minyak kayu putih, mertuaku lantas tersadar. Membuat diriku dan Mas Pram tersenyum lega menatapnya. Sementara Mayang bergegas menuju kamarnya mungkin ingin ber-Tik tok ria atau melakukan live IG. Entahlah. "Ibu, syukurlah kalau Ibu sudah sadar," ujar Mas Pram dengan raut wajah penuh kegembiraan yang tak mampu ia sembunyikan. Suamiku lantas membantu ibunya duduk tegap. Napas Ibu tampak menderu saat menatapku dan putranya bergantian. "Kenapa kamu berubah, Pram? Kenapa kamu memperlakukan Ibu seperti ini, hah?" Ibu mencengkram kerah kemeja yang masih melekat di tubuh anak ketiganya. Membuat Mas Pram tampak serba salah dan seperti didera perasaan dilema. Kedua mata Ibu lantas menatap nyalang wajahku dan sorot matanya tajam menghujam penuh kebencian. "Ibu keberatan yang lima juta lagi aku kasih ke Listi?" tanya Mas Pram dengan suara pelan. Ibu terdiam. Dadanya kembang kempis seperti menahan amarah yang bergejolak dalam d**a. "Lagian, kamu ini buat apa sih pengen pegang duit sendiri, Lis? Apa kamu ingin makan sendiri-sendiri? Memangnya uang belanja yang Ibu kasih padamu selama ini kurang?" Ibu bertanya dengan suara lantang dan mata melotot. Aku terdiam—enggan menanggapi olok-olokan mertuaku yang masih saja menganggapku sebelah mata ini. Apa dia pikir uang belanja 50.000 per hari itu cukup untuk memenuhi segalanya? Untuk mengenyangkan perut lima orang di rumah ini? Ibu hanya menambah jatah uang jika aku menyampaikan s**u dan pospak milik Riana habis. Itu pun sejak umur 20 bulan aku sudah membiasakan Riana lepas dari pospaknya perlahan. "Dasar mata duitan!" maki Ibu dengan tetap mempertahankan wajah bengis yang membuatku ingin mengusap d**a. "Sudahlah, Bu. Sudah enam tahun ini kan hampir semua gaji kuserahkan pada Ibu? Emas milik Ibu pun sudah banyak. Jadi mulai sekarang biarlah Listi ikut merasakan nafkah dariku, Bu. Suaminya." Lagi-lagi ucapan Mas Pram membuat hatiku berdesir dengan d**a yang terasa menghangat. Sosoknya yang hilang selama tiga tahun ini, seperti bisa kutemui lagi detik ini. "Oh … jadi kamu ngungkit-ungkit uang yang sudah kamu kasih ke Ibu, Pram?" tanya Ibu dengan mata mendelik. Membuat suamiku menghela napas panjang. "Durhaka kamu, Pram …." Ibu berteriak lantas menangis meraung-raung seperti anak kecil yang tak dibelikan Kinder Joy di minimarket. Huft. "Sudahlah, Bu. Sudah! Aku capek, baru pulang kerja. Pengen istirahat." Mas Pram mendesah resah membuat tangis ibu mertuaku makin menjadi-jadi. "Ayo, Lis." Mas Pram menarik tanganku ke kamar. Meski dihinggapi perasaan tak enak, aku pun mengikuti langkah suamiku yang sikapnya kali ini membuatku terharu dan sedikit berbangga padanya. Ya, walaupun agak terlambat. Namun itu lebih baik. Daripada tidak sama sekali. Iya, kan? "Makasih, ya, Mas." Aku mengucap kalimat terima kasih saat aku dan Mas Pram telah sampai di dalam kamar dan menutup pintunya. "Iya, Sayang," jawabnya sambil menampilkan senyum manis. Pipiku kembali menghangat saat Mas Pram memanggilku begitu. "Ah, kamu. Kayak masih pacaran aja manggil sayang-sayang segala." Aku memilin jari dengan kaku. Merasa sikap Mas Pram terlalu berlebihan kali ini. "Ya nggak apa-apa, dong, masa manggil sayang ke istri sendiri aja nggak boleh?" Mas Pram mengusap lembut rambutku. Membuatku jadi sedikit salah tingkah. "Riana … masih tidur, ya?" tanya Mas Pram saat menyadari putrinya tampak terlelap di atas ranjang miliknya. Ranjang kayu yang tak seberapa tinggi dengan pembatas cukup tinggi yang mengelilingi. "Iya. Kenapa emang?" "Pengen ngajak jalan," jawab Mas Pram sambil mengurai senyum membuatku menatapnya tak percaya. Merasa ini semua seperti mimpi. Dapat nafkah darinya saja sudah satu kemajuan pesat. Dan ini? Bukankah ini sesuatu yang luar biasa? "Kenapa? Kamu nggak mau?" tanyanya sambil memindai wajahku dengan seksama. "Mau lah …. Tapi kamu nggak minta lagi kan duit yang tadi kamu transfer ke aku, buat modal jalan?" tanyaku penuh kewaspadaan. Mas Pram tergelak mendengar pertanyaanku. "Ya enggak lah, emang dipikir aku nggak nyisain duit sebelum ngasih ke kalian?" "Wah … gaji kamu ternyata banyak juga, ya? Kenapa selama ini kamu jahat sama aku?" Aku menggodanya dengan memperolok sikap kikirnya padaku selama ini. "Sebenarnya aku … pingin beli mobil, Lis. Tapi pengennya jangan kredit, biar tenang. Makanya nabung biar kebeli cash." Aku manggut-manggut. Ya ampun, suamiku ingin mobil sampai mengesampingkan hakku? Sedangkan aku dapat mobil saja aku jual dengan harga di bawah pasaran? Ah, sudahlah. Sudah terlanjur. *** "Cantiknya istriku." Mas Pram memuji saat memandangku mengoleskan bedak tipis-tipis sebelum pergi keluar selepas maghrib kali ini. "Ish. Hari ini kamu jadi doyan ngegombal, deh, Mas." Aku bersungut-sungut manja sambil menatapnya yang menggendong Riana dengan sangat luwes saat menungguku berhias. Mas Pram hanya tersenyum tipis mendengar komplain yang kulayangkan. "Ya sudah, Bu. Pergi dulu." Mas Pram pamit pergi pada ibunya yang sudah standby di depan TV. Mungkin menunggu sinetron Ikatan Cinta yang tayang satu jam lagi. Mata Ibu seperti hampir terkeluar dari rongganya saat menyadari kami bertiga sudah berpakaian rapi sebelum jalan malam ini. "Mau ke mana kamu, Pram?" "Bukan aku saja, Bu. Sekalian dengan Listi dan Riana. Pengen cari angin," balas suamiku terdengar santai. "Mayang …!" Suara Ibu terdengar lantang saat memanggil putri bungsunya yang sudah mengeram dalam kamar jam segini. "Ada apa, Bu?" Mayang tergopoh-gopoh saat menghampiri ibunya. "Apa masmu ini kesambet?" sindir Ibu sambil menatap Mas Pram dengan tatapan dingin. Ya ampun, kesambet Ibu bilang? Tak bisakah dia melihat anak dan menantunya akur? Mas Pram hanya geleng kepala mendengar ucapan sang ibu yang terdengar menyudutkannya. "Ya sudah, Bu. Assalamu'alaikum," ujar Mas Pram sambil menggandeng tanganku yang menggendong Riana. "Pram …! Apa kamu ingin disumpahi sama Ibu karena sudah durhaka sama Ibu?!" "Durhaka kamu, Pram ….!" Ibu berteriak lantang tapi agaknya tak berimbas banyak pada suamiku. Mas Pram hanya geleng kepala sambil mengayunkan langkah keluar rumah. Ibu kembali menangis meraung-raung, bahkan tangisannya lebih menyedihkan daripada wanita teraniaya dalam sinetyron ikan terbang. Menyedihkan. Padahal, ini belum seberapa, Bu Ninik!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN