Aku memalingkan muka saat Mas Pram kembali merapatkan wajahnya padaku.
"Penuhi dulu kewajibanmu padaku, Mas! Baru setelahnya kamu bisa menuntut hakmu sebagai seorang suami." Aku membaringkan badan sambil menarik selimut tanpa menatapnya.
Suara Mas Pram tak kudengar. Mungkinkah dia tengah mencerna kata-kataku? Atau … tengah geram setengah mati karena sudah lama tak mendapatkan haknya? Ah entahlah. Bukan sesuatu hal yang pantas dipusingkan.
"Ya udah, Mas, aku tidur dulu, ya. Takut Riana bangun tengah malam. Kamu sendiri tau kan kalau dia tidur sejak sore?" ucapku, tetap berusaha meminta izin. Pada dia yang mungkin saja tengah dilema dengan pilihan yang kuberikan.
"Iya." Mas Pram menjawab pelan.
Dari lirikan mata, bisa kulihat suamiku keluar kamar dengan langkah gusar. Tentang apa yang akan dilakukannya, aku tak mau menerka. Bukan urusanku.
Seperti yang kuprediksi sebelumnya, Riana terbangun tengah malam. Buru-buru aku bangun dan membuatkannya s**u. Mas Pram yang tidur bersebelahan denganku, tampak tidur lena. Suara tangis putrinya sama sekali tak berimbas padanya. Seperti sebelum-sebelumnya. Menyebalkan!
Sambil menggendong Riana, aku bergegas menuju dapur untuk membuatkan bocah dua tahun ini s**u formula.
Sampai di dapur, aku dibuat tersenyum puas saat menyadari piring-piring yang tadi aku tinggal tidur dalam keadaan kotor di meja makan, kini telah tersusun rapi di atas rak piring.
Hm, Mayang. Bisa kerja juga kau rupanya. Aku membatin sambil mengaduk s**u formula milik Riana.
***
"Mayang, sekarang tugas kamu adalah mencuci piring dan mencuci baju-bajumu sendiri, ya," cetusku setelah sarapan di pagi hari usai dan seluruh anggota keluarga masih mengitari meja makan.
"Aku? Setiap hari?" Mayang menunjuk wajahnya dengan menampilkan muka bodoh. Menggelikan.
"Iya," balasku tanpa keraguan.
Ibu yang mendengar obrolanku dengan putrinya hanya berdeham, entah apa maksudnya. Sementara Mas Pram sendiri, tampak cuek bebek. Sepertinya pembahasanku dengan Mayang tak begitu penting untuknya.
Whatever.
"Tapi kalau pagi aku kan sekolah, Listi …." Mayang bersungut-sungut kesal sambil memonyongkan bibir.
"Bisa dikerjakan setelah pulang sekolah." Aku menyahut ringan.
Mayang membanting sendok dan garpunya di atas piring sampai menimbulkan bunyi nyaring. Huft! Dasar bocah barbar.
"Mentang-mentang pengen cerai, jadi kamu belagak jadi nyonya, ya, sekarang! Asik main suruh-suruh … aja." Muka Mayang tampak merah padam. Aku hanya mendengkus pelan mendengar ucapannya.
"Nyonya kamu bilang? Seorang nyonya nggak akan punya waktu luang untuk memasak, mencuci dan nyapu ngepel, Mayang … atau kalau kamu mau menyebutku nyonya juga nggak masalah, sih. Biar aku santai kayak di pantai dan semua pekerjaan rumah yang aku pegang kamu yang selesaikan? Bagaimana?" Aku tersenyum sinis saat menatap adik iparku yang sedari tadi tak berhenti memonyongkan bibirnya.
"Aku? Kamu menganggapku babu?" Mayang tampak geram. Aku hanya tersenyum santai menanggapi.
"Sudah sudah. Jangan berisik! Ibu mau nonton gosip artis." Ibu bangkit dari tempat duduknya lantas menuju ruang tamu untuk menyetel TV. Mengikuti berita artis terkini pada acara infotainment. Ya, mertuaku itu selain suka menonton drama ikan terbang, dia juga up to date soal berita artis terkini. Hadeuh sudah tua bukannya memperbanyak beribadah malah hiburan … saja yang dipentingkan.
Mayang yang telah memakai seragamnya sebelum ke sekolah, bangkit dari tempat duduknya dengan gayanya yang sewot. Kakinya dia entakkan kuat ke lantai tapi matanya menyorotku tajam.
"Mayang! Ingat, ini tugasmu setelah pulang sekolah nanti, ya." Melalui isyarat mata, aku menunjuk piring-piring kotor di atas meja. Membuat Mayang geram sampai mengacak-ngacak rambutnya yang telah dia kuncir tinggi.
Ya ampun, gadis labil. Apa pekerjaan seperti ini saja membuatnya stress? Menggelikan.
***
"Sini. Ikut sama Ayah sayang."
Riana yang telah wangi dan rapi setelah kumandikan memancing suamiku untuk mengangkatnya dari kasur lantai di kamar.
Hah? Aku yang sudah memegang handuk sebelum mandi, menatap pemandangan di hadapanku dengan tatapan tak percaya.
Melihat Mas Pram yang terlihat sedikit hangat pada putrinya justru membuatku terbengong, tapi aku sendiri pura-pura cuek. Biarlah dia berbuat semau dia, toh Riana memang putrinya.
"Mas, jangan lupa, ya. Besok gajian, 'kan? Kalau kamu masih mau aku di sini, aku minta separuh saja dari gajimu. Kamu ada nyimpen nomor rekening aku kan?" Aku menarik dasi di tangan Mas Pram saat suamiku tengah bersiap-siap menuju kantor.
Mendengar ucapanku, Mas Pram terdiam. Sepertinya dia tak begitu tertarik dengan pembahasanku kali ini. Biarlah.
"Nanti aku kirim di WA, ya, nomor rekeningnya."
Lagi-lagi Mas Pram tak menyahut, mungkin saja dia tengah muak denganku yang menurut ibunya mata duitan. Bodo amat.
"Jangan lupa, transfer, ya, Mas ...." Sengaja kukecup pipi suamiku. Sebagai bentuk usaha melunakkan hatinya. Mana tahu berhasil. Hihihi.
***
Siang ini, sebuah notifikasi sms banking masuk ke ponselku, membuat senyumku terkembang lebar. Mataku membelalak hampir tak percaya saat melihat nominal uang yang Mas Pram kirimkan.
Lima juta?
Aku hampir berjingkrak-jingkrak saat menyadari Mas Pram ternyata mempertimbangkan ancamanku. Ah … ternyata seperti ini rasanya mendapatkan nafkah dari suami? Ternyata menyenangkan ….
"Bu … Ibu …." Suara Mayang terdengar dari luar.
"Apa, sih, May?" Ibu menyahut cepat.
"Hari ini Mas Pram gajian kan? Ini ada notif masuk di hape Mayang, tapi kok, cuma lima juta?"
"Apa?!" Terdengar Ibu menyahut dengan nada kaget. Mungkin wanita paruh baya itu tengah syok saat menyadari jatah bulanannya berkurang banyak.
Dua orang tersebut lantas ribut-ribut seperti tawon mendengung yang cukup mengganggu pendengaran. Tapi tak apa lah. Yang terpenting ada uang masuk ke rekeningku hari ini.
***
"Pram. Kemana uang gajimu yang lain? Kenapa cuma segini jatah Ibu?" Kepulangan Mas Pram sore ini disambut dengan amarah Ibu yang meluap-luap seperti lava panas yang siap tersembur ke segala arah.
Mendengar pertanyaan sang ibu, Mas Pram tampak begitu salah tingkah.
Mungkinkah dia bakal jujur pada ibunya kalau separuh gajinya dia berikan padaku?
Aku menanti jawaban Mas Pram dengan hati berdebar.
"Eum anu, Bu. Itu anu …."
Mas Pram tampak serba salah saat hendak memberikan jawaban. Membuatku memalingkan muka sambil menahan tawa.
"Anu … anu! Cepat katakan mana gajimu yang lain?!" Ibu berkacak pinggang dengan mata melotot menatap sang anak.
"Yang 5 juta lagi aku transferin ke Listi. Mulai bulan ini dibagi dua ya, Bu."
"Apa?!"
Jawaban Mas Pram membuat mata Ibu sontak membulat sempurna. Tubuhnya tampak lemas dan terlihat limbung kemudian.
"Ibu …." Mas Pram berteriak panik saat menyadari ibunya tiba-tiba hilang kesadaran.
Ya ampun Ibu pingsan?
Tahu aku dapat duit lima juta saja pingsan. Bagaimana kalau sampai dia tahu aku menang undian?