Sebuah Pilihan

798 Kata
Selesai makan malam, aku mengultimatum Mayang di depan Ibu dan Mas Pram. Sudah saatnya aku memberi gadis itu pelajaran, bahwa hidup tidak melulu soal senang-senang saja. Namun, ada kalanya kita juga harus belajar mempersiapkan masa depan. "May, angkat piring-piring ini ke wastafel! Terus kamu cuci!" titahku tegas dan tanpa keraguan sedikit pun. Reaksi yang kudapat dari tiga orang yang mengitari meja makan adalah sama. Mereka terpelongo seperti orang t***l. Hal itu sudah kuperhitungkan sebelumnya. "Eh aku nggak mau, ya!" sambar Mayang dengan suara ketus nan lantang. Beruntung, Riana sudah tidur pulas. Kalau tidak, aku takut telinga anak itu akan tercemar oleh suara unfaedah bibinya ini. "Kamu harus membiasakan diri, May!" sahutku cepat sambil melirik Mas Pram yang menatapku tajam. Terserah! Bodo amat bagaimana Mas Pram menilaiku sekarang. Sama sekali bukan hal yang pantas untuk aku pusingkan. Ya, cerai sudah menjadi keputusan yang akan aku ambil ke depannya. Namun, sebelum itu aku harus mengerjai mereka dulu, dong! Tidak lucu rasanya jika aku langsung pergi meninggalkan rumah ini tanpa melakukan shock therapy untuk mereka yang selama tiga tahun ini memperlakukanku seperti pembantu. "Tapi ini kan tugas kamu!" Mayang tetap ngotot dan tak mau kalah. "Ini dan semua pekerjaan rumah yang lain bakal menjadi tugasmu kalau aku sudah pergi dari rumah ini." Aku tertawa mengejek pada Mayang yang tampak begitu tak suka mendengar setiap kata yang tercetus dari bibirku. "Makin menjadi-jadi saja kau, Listi!" berang Ibu dengan raut wajah penuh amarah. Kedua tangannya yang terkepal bahkan ia gebrakkan ke atas meja. Huh! Ibu macam apa dia? Apa hal seperti itu yang ingin dia contohkan untuk anaknya? Miris. "Kenapa? Ibu keberatan? Keberatan kalau Mayang mengerjakan tugas rumah? Bukankah ini juga demi kebaikan Mayang?" tantangku tanpa peduli lagi dengan rasa takut. Lagi-lagi Ibu terengah. Mungkin tensinya mendadak naik saat menantu miskinnya ini semakin berani. "Ingat ya, Mayang! Kalau sampai besok pagi piring-piring ini masih berserak di sini, atau cuma kamu bawa ke wastafel tanpa kamu cuci. Aku pastikan besok nggak akan memasak seharian. Terserah kalian semua mau makan apa, beli di warteg, kek, nasi Padang, kek, aku nggak peduli." Aku kembali berucap sepanjang rel kereta membuat tiga orang di hadapanku terperangah dan menatapku dengan ekspresi tak biasa. Apakah mereka takjub dengan perlawananku? Kalau iya, baguslah. "Listi!" Kini giliran Mayang yang menggebrak meja. Tampak sekali raut wajah kesalnya belum beranjak. Mungkin menurutnya aku lebih jahat dari ibu tiri sekarang. EGP. "Apa? Nggak suka? Terserah, aku sih B aja," sahutku sambil berlalu dari hadapan mereka dan berjalan menuju kamar untuk kemudian cuci muka dan gosok gigi sebelum tidur. "Cepat kerjakan! Daripada Ibu harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli makan di luar. Pemborosan!" Sambil berjalan ke kamar, aku menorehkan senyum kemenangan saat mendengar bagaimana ibu mertuaku memaksa anaknya untuk melakukan tugas yang selama ini aku pegang. "Tapi, Bu …." Dari nada bicaranya jelas sekali Mayang amat keberatan. "Sudah sudah nggak ada tapi-tapian! Cepat kerjakan!" Suara Ibu terdengar ketus membuatku ingin menyembur tawa tapi jelas aku tahan. Ah, kenapa keberanian seperti ini tak muncul dari dulu, ya? Selepas menunaikan salat Isya, memandangkan Riana masih terlelap aku pun bergegas menarik selimut untuk kemudian tidur. Jadi kalau nanti Riana terbangun tengah malam aku sudah punya energi untuk menemaninya begadang. "Lis!" Aku pura-pura tak mendengar saat Mas Pram mendekat dan mengusap pundakku. "Listi," ulangnya yang membuat aku mau tak mau merespon meski dengan nada kesal. "Apa, sih, Mas?" tanyaku geram. Mas Pram terdiam melihatku yang menyahut panggilannya dengan kesan tak ramah. "Kenapa? Kamu nggak terima kalau aku bikin adik kamu mencuci piring?" tanyaku sambi duduk menegakkan badan. "Enggak." Mas Pram menggeleng. "Jadi?" "Aku nggak mau pisah sama kamu, Lis. Kamu istri terbaik yang kumiliki." Ucapan Mas Pram membuatku tersenyum miris—membuatku merasa dia tengah berupaya kembali membodohiku dengan kata-kata manisnya. Tidak! Aku tidak akan pernah terpedaya lagi, Mas. "Istri terbaik? Memangnya berapa istrimu?" tanyaku sambil bersedekap seraya menaikkan sebelah alis. Mendengar pertanyaanku, Mas Pram tergeragap. Mungkin merasa sudah salah ucap. "Ya cuma satu lah … cuma kamu, Sayang." Tanpa meminta persetujuanku Mas Pram mengecup pipiku. Membuatku sontak mendorong tubuhnya. "Jangan lakukan lagi, Mas!" "Kenapa? Kamu masih istriku, kan?" Gigi Mas Pram bergemeretak sementara tangannya mencengkeram kuat lenganku. "Ya, tapi sebentar lagi bukan." Aku menyahut santai ucapannya. Membuat napas Mas Pram memburu. Mungkin sedang menahan kesal. Biarlah. "Aku tidak mau cerai, Listi …," tegasnya yang memantik senyum sinis di bibirku. "Ada syaratnya," ucapku mantap. Memancing raut wajah penuh pengharapan di wajah Mas Pram. "Apa?" tanyanya antusias. "Berikan setengah saja gajimu padaku! Lusa kamu gajian kan?" tanyaku santai dan tanpa beban. "Apa?!" tanya Mas Pram dengan raut wajah penuh kekesalan yang teramat sangat. "Kalau nggak mau ya sudah, I'm sorry good bye …." Aku menarik selimut dengan santai. "Argh …." Mas Pram mengusap kasar wajahnya. Ah, ini pasti pilihan yang sulit buatmu kan, Mas? *** Buat yang sudah baca, silakan komen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN