Cinta sejati tidak berakhir dengan kematian.
Jika Allah SWT menghendaki,
Cinta itu akan berlanjut sampai ke surga.
.
______
.
Tok tok tok ...
Terdengar suara ketukan pelan di pintu kamar tidur Aida.
"Mbak Ai...." ketukan kembali terdengar dibarengi dengan panggilan pelan.
Aida mengerjap mata, perlahan membuka kelopak matanya yang terasa bengkak karena air mata yang tak berhenti mengalir sampai ia tertidur karena lelah, lalu mencoba untuk bangkit dari tidurnya.
Matanya berkeliling melihat jam dinding yang menempel didekat televisi yang ada di kamarnya.
"Astaghfirullah...." ucapnya lirih menyadari bahwa ia hampir melewatkan kewajiban sholat maghribnya.
Terdengar kembali ketukan di pintu kamarnya,
"Mbak Aida...." suara Nada, gadis yang beberapa minggu ini dipekerjakan sang mertua untuk membantu Aida mengurus rumahnya bersama sang suami.
Aida berjalan perlahan menuju pintu kamar, membuka sedikit untuk memberi celah agar dapat menjawab panggilan gadis itu.
"Iya Nad, ada apa?" tanya Aida masih dengan suara yang parau.
"Ah, gak apa mbak. Nada khawatir saja, mbak belum keluar kamar dari tadi siang. Ini sudah hampir lewat maghrib," jawab gadis dengan wajah sendu itu.
"Iya, mbak ketiduran tadi. Maaf yaa.."
Nada menganggukkan kepalanya, gadis berusia dua puluh tahun itu mengernyitkan dahi, "Tapi mbak baik-baik aja kan?"
Gantian Aida menganggukkan kepalanya.
"Tapi wajah dan mata mbak kenapa sembab?" tanya Nada sedikit penasaran.
Aida menyentuh pipinya dengan kedua tangannya, "Oh ini, mungkin karena baru bangun tidur aja Nad. Ya udah, mbak mau sholat dulu ya. Tadi belum sempat karena ketiduran," putus Aida.
Nada menganggukkan kepalanya dengan kening berkerut, lalu kemudian tersenyum dan berjalan meninggalkan kamar majikan wanitanya itu.
.
_____
.
"Mau tambah minum apa, Da?" tanya Dana yang kembali duduk di kursi sebelah Aida sambil menyerahkan sepiring martabak mesir yang tadi ditawarkannya untuk Aida.
"Nanti aja aku ambil sendiri, Dan. Kamu gak usah repot-repot. Kayak aku tamu penting aja, sampe semua harus disuguhi," canda Aida.
"Ooo ya karena kamu begitu penting, makanya aku diamanahkan Runa untuk menjamu kamu dengan sebaik-baiknya. Tuh kamu lihat di pelaminan, Runa sibuk komat-kamit kayak baca mantra untuk nyuruh aku ambil ini itu buat kamu," kata Dana sambil menunjuk ke arah pelaminan dimana Bahruna dan istrinya sedang duduk bersanding menjadi raja dan ratu sehari.
Aida menganggukkan kepalanya seolah mengerti dan mengiyakan ucapan Dana.
"Mereka serasi sekali ya, Dan..." ucap Aida mencoba berbasa-basi karena sesungguhnya ia sungkan hanya duduk berdua dengan lelaki didepannya itu.
"Hmmm..." jawab Dana sambil menganggukkan kepalanya. "Tapi kita juga serasi loh kalau mau dipasangkan," sambungnya.
" Serasi dari mana ih, ngaco kamu..."
"Nih yaa, kalau seumpama kita berjodoh dan bisa bersanding dipelaminan seperti mereka, nama kamu itu udah seperti singkatan nama kita berdua. Aida, berarti Ai dan Dana," kata Dana yang berbicara sambil mengayunkan garpu di tangan kanannya, bekas mencomot cenil, cemilan tradisional yang disediakan di meja cemilan.
Aida tertawa sumbang, "Tuh, makin ngasal kamu tuh. Nama aku dari lahir juga udah Aida, gak ada sangkut pautnya sama nama kamu tau,"
"Lagian tuh yaa, kamu aneh, sampai bahas-bahas jodoh segala. Emang kamu mau berjodoh sama aku yang penuh kekurangan dan seperti terlihat kotor di mata sahabatmu itu?" timpal Aida setelah meletakkan gelas kosong bekas tempat minumnya.
Dana menatap Aida serius, sesaat pandangan mereka bertemu sebelum Aida lebih dulu memutus dengan berpaling ke arah lain. Ke arah dimana lelaki yang namanya masih bertahta di peraduan tertinggi hatinya duduk dan menatap tajam padanya.
"Aida, dengarkan aku baik-baik. Semua orang punya masa lalu, dan aku tahu sudah sejauh apa kamu mencoba untuk berubah dan memperbaiki masa lalumu. Andai mata hati sahabatku yang begitu pecundang itu masih tertutup oleh besarnya ego, aku siap menggantikannya untuk mengisi hatimu, Da..." ucap Dana dengan nada yang begitu serius.
Aida menggelengkan kepalanya, "Sudah lah Dan, tak usah membuatku berbesar hati seperti itu. Aku tahu siapa diriku, aku juga tahu siapa dirimu, kita berbeda, kamu dan aku itu bagai langit dan bumi,"
Dana tertawa lirih, "Sepertinya itu lebih tepat kalau aku yang ngomong deh. Kamu anak tunggal pasangan pengusaha sukses, sementara aku, anak bungsu petani yang Alhamdulillah mampu kuliah tinggi,"
"Sekaya apapun kedua orang tuaku, nyatanya mereka gagal menjaga aku untuk berada dijalan yang lurus. Beda sekali dengan kedua orangtuamu yang dengan segala kesederhanaan itu mampu membuatmu seperti sekarang ini,"
"Hhh.... Sepertinya apapun yang ku katakan tetap gak bisa membuat hatimu berpaling dari sahabatku yang sontoloyo itu yaa,"
Aida tersenyum, "Terlalu banyak hal baik di masa lalu yang sudah diajarkannya untuk ku yang terlanjur kotor, dan rasanya sulit menghapus semua ingatan dan kenangan itu," ucapnya jujur.
"Lalu, ada yang bisa ku lakukan untuk membantumu?"
Aida menggeleng, "Biar Allah saja yang menjadi penuntun jalanku. Entah seperti apa ujungnya, cukup campur tangan Allah saja yang bermain. Aku sudah bosan menggantungkan harapan pada manusia,"
Dana menatap iba wajah wanita bergamis marun dihadapannya itu. Wanita dengan wajah ayu yang tetap terlihat menarik dan manis dengan polesan riasan sederhana walau terlihat lebih kurus dari saat mereka pertama bertemu ketika duduk di bangku kuliah tingkat akhir dulu.
Ya, ia bertemu Aida saat Aida masih memiliki hubungan dengan Reza, sahabatnya. Mereka sudah berada di semester akhir masa perkuliahan saat itu. Reza selalu bercerita tentang wanita yang padanya hati sahabatnya itu tertambat. Sampai suatu ketika beberapa orang datang menghajar sahabatnya itu, dan mengancam akan membuat ia dan keluarganya sengsara andai Reza masih berhubungan dengan Aida, seorang anak tunggal pengusaha sukses. Papa Aida beranggapan bahwa kasta Aida dan Reza tidaklah sama. Aida tak pantas untuk Reza yang hanya seorang anak peternak ayam petelur di kampungnya. Reza yang tak mampu berbuat apapun akhirnya memutuskan hubungan mereka, dengan dalih ingin memperbaiki diri.
"Ehm..."
Aida dan Dana sontak menoleh pada asal suara yang membuyarkan lamunan mereka.
"Eh Rendra, dari mana aja gak kelihatan dari tadi," sapa Aida pada seorang lagi sahabat Reza.
"Halah, dia pasti sibuk nemenin calon mertua," ledek Dana.
"Nah itu tau," jawab Rendra sambil mengambil posisi diantara Dana dan Aida.
"Berdua aja kalian? Tuh cunguk gak diajak gabung?" tanya Rendra sambil menunjuk Reza yang sedang menyalami tamu undangan yang dikenalnya dengan dagunya.
"Aku lagi nyoba merayu tuan putri, mana tau setelah ini dia bersedia naik pelaminan bareng aku," canda Dana.
"Lah, cuma naik pelaminan doang siapa yang takut. Sekarang juga boleh," timpal Aida yang ternyata didengar oleh Reza yang tengah berjalan menuju meja mereka.
Dana yang melihat bahwa Reza mendekati meja mereka semakin tergoda untuk membuat panas sahabatnya itu.
"Jadi besok aku anter balik sekalian ngelamar kamu ke orang tuamu kan,"
"Yakin mau ngelamar? Gak takut?" tanya Aida menggoda. Aida tak sadar bahwa Reza sudah berada tepat dibelakangnya.
"Sama orangtuamu sih gak takut, Da. Tapi sama makhluk dibelakangmu mungkin iya," jawab Dana asal yang dihadiahi tepukan di bahu oleh Rendra.
"Duduk, Za. Gak usah ditanggepin kata-kata Dana," sapanya mencoba mencairkan suasana.
Aida refleks memutar kepalanya yang tertutup kerudung segi empat berukuran syari berwarna pink salem menghadap ke belakang. Ia pun refleks mengatupkan bibirnya yang terbuka karna terkejut dan berdeham untuk menenangkan hatinya.
Reza berjalan memutari meja dan duduk tepat di sebelah Dana.
"Maaf, sepertinya aku harus balik ke penginapan sekarang, soalnya harus kemas-kemas barang untuk pulang nanti malam," Aida membuka pembicaraan setelah hening beberapa saat karena kedatangan Reza.
"Kalau gitu ayo aku antar," ajak Rendra yang langsung berdiri. Ia merasa lebih baik dia saja yg menawarkan diri mengantarkan Aida, karna tak mungkin Reza cemburu padanya yang beberapa bulan lagi akan menikah.
.
_______