Jangan melihat masa lalu dengan penyesalan,
Jangan pula melihat masa depan dengan ketakutan,
Tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran.
.
-James Turber
.
.
_____
.
"Ada apa Run?" tanya Reza yang menatap heran pada Bahruna yang terlihat bingung dan terburu-buru menemuinya.
"Aida, Za..." ucap Bahruna terputus karena mendengar Dana yang baru tiba memanggilnya.
"Ayok Run, udah gak ada waktu lagi. Kasihan Aida," ucap Dana mencoba untuk membuat Bahruna pergi dari hadapan Reza.
"Tunggu dulu, Dan. Kita harus kasih tahu Reza tentang berita ini,"
Terlihat Dana mendecak kesal, "Apa pedulinya dia Run. Dia bahkan terlalu bodoh untuk menyadari isi hatinya sendiri!" sentak Dana kesal.
"Dan, terserah apapun keputusan dia nantinya, aku cuma mau dia tau. Selebihnya biarkan dia berfikir,"
"Ada apa sih? Kalian ini bicarain apa?" tanya Reza kesal melihat dua sahabatnya berdebat didepannya. Jelas pasti ia ada sangkut pautnya, karna namanya sudah disebut-sebut sedari tadi.
"Aida kritis.." ucap Dana.
Reza sontak membelalakkan matanya dengan mulut terbuka. Masih belum dapat mengerti dengan ucapan Dana.
"Iya Za, Aida sekarang ada di rumah sakit dan kondisinya kritis. Aku belum tau gimana panjangnya, tapi tadi Ryan telpon dan bilang kalau Aida udh kritis," terang Bahruna.
"Tunggu dulu, maksud kalian apa? Aida siapa? Sakit apa? Bukannya minggu lalu dia baru datang ke pesta mu, Run?"
"Aida mana lagi yang kau rasa perlu menjadi perhatian kita? Jelas lah Aida Rahmi, mantan kekasih yang namanya masih terpatri jelas dihatimu tapi selalu coba kau pungkiri, brengseek!" cecar Dana sambil meninju keras bahu Reza.
.
___
.
Reza duduk dibangku panjang rumah sakit bersama dengan Ryan disebelahnya. Setelah keterangan Dana dengan emosi yang membara beberapa jam lalu, ia akhirnya memutuskan untuk ikut pergi melihat kondisi Aida walau hatinya berkecamuk antara ragu, sedih, takut, dan marah.
Ia ragu untuk melangkah apakah keputusannya benar untuk kembali bertemu Aida yang sudah pasti didampingi orangtuanya.
Ia sedih mendengar kabar Aida yang sedang kritis dan berjuang antara hidup dan mati.
Ia takut menghadapi papa Aida yang pernah memisahkan cinta mereka berdua.
Dan ia marah untuk segala keegoisan orang tua Aida yang terlalu memandang kasta untuk pendamping sang anak, tak perduli ada cinta yang tertaut dihati atau tidak.
"Sejak pulang dari pesta Bahruna kemarin, dia menjadi semakin murung. Beberapa kali sempat mengalami sesak nafas. Itu yang aku takutkan kemarin, makanya sebenarnya aku melarang dia pergi. Tapi kau tau Aida seperti apa, dia terlalu keras kepala," cerita Ryan memecah keheningan mereka setelah tadi Reza melihat langsung kondisi Aida di ICU.
"Apa tidak ada pengobatan lain yang bisa dilakukan selain operasi?" tanya Reza.
"Kita masih harus menunggu hasil observasi dari dokter. Kalau memang hasilnya tumor jinak atau masih kanker stadium awal, mungkin operasi tidak perlu dilakukan. Bisa jadi hanya terapi radiasi atau terapi yang di targetkan dokter,"
"Kenapa tidak dari dulu dilakukan?"
"Kau tau seperti apa keras kepalanya Aida, Za. Dari awal hasil scanning parunya keluar, aku sudah katakan bahwa ada benjolan di paru-parunya, tapi dia tak peduli. Dokter sarankan untuk bronkoskopi untuk melihat secara pasti jenis benjolannya pun dia tak respon. Kami para dokter bisa apa Za, kalau pasien menolak semua tindakan yang akan kami lakukan?" desah Ryan putus asa.
"Sampai akhirnya dia tak sadarkan diri seperti ini, kami harus tegas kepada Oom Panji dan Tante Yurika kalau memang ingin Aida selamat. Mereka terlalu abai terhadap Aida. Entah apa lagi yang mau dikejar, anak mereka hanya Aida, tapi Aida seorang pun tak mampu mereka jaga. Ironis sekali. Perusahaan begitu besar, belum lagi anak-anak perusahaan yang ada di kota kecil. Tambah cabang yang sudah mulai berkembang di Singapura dan Jepang, untuk apa semua itu kalau tak ada penerus dan pewaris yang dapat melanjutkannya!"
"Aku tak perduli dan tak ingin tentang mereka. Hatiku masih pedih kalau teringat apa yang sudah mereka lakukan untuk memisahkanku dan Aida. Tapi apa yang mereka dapatkan? Egois!" desis Reza dengan kepala mengadah ke langit-langit lorong rumah sakit tempat mereka duduk saat ini.
.
_____
.
"Mbak Ai, mau masak apa untuk makan malam?" tanya Nada ketika melihat Aida berjalan memasuki dapur bernuansa cream itu.
"Kamu udah tanya Mas Reza belum mau dimasakin apa?"
"Lah gimana Nada mau tanya Mas Reza, wong tadi sore Mas Reza pergi bilangnya belum tau pulang atau enggak. Katanya Mbak udah tau,"
"Eh... Oh..., Iya aku lupa..." jawab Aida tergagap.
"Masak mie instan aja Nad, kok aku pengin yak,"
Nada menatap Aida menelisik, "Mbak ngidam yaa, hamil yaaa...." goda Nada.
Aida merespon masam godaan Nada, "Hush, ngada-ngada kamu ini. Mana ada begitu,"
"Ya kalau hamil kan juga ndak masalah Ai," tegur suara dari belakang.
Aida dan Nada sontak menolehkan kepala ke arah sumber suara.
"Ibu..." sapa Aida sedikit terkejut karena selama hampir dua bulan pernikahannya, ia hanya bertemu mertua sekali saat pertama ia menginjakkan kaki di rumah sang suami.
Ya, Reza memang sudah tinggal terpisah dari kedua orangtuanya sejak ia masih melajang. Ia memilih tinggal didekat peternakan telur miliknya. Membangun hunian kecil sederhana namun terasa mewah dan elegan yang impiannya ia tinggali bersama permaisuri hatinya kelak.
"Kamu udah isi, Ai?" tanya sang ibu mertua ketika Aida mencium tangan tanda hormatnya pada wanita yang telah melahirkan suaminya itu.
Aida tersenyum menggeleng, 'Bahkan kesucianku pun baru hari ini direnggut oleh putramu, bu. Itupun dengan paksa,' ucapnya yang hanya bisa diutarakan dalam hati.
"Kamu dan Reza tidak menunda-nunda kan?" tanya wanita paruh baya yang mengenakan kerudung instan sepanjang pergelangan tangan sebagai penutup kepalanya itu.
"Tidak bu. Lagian masih beberapa bulan. Nanti malah orang berfikiran yang tidak-tidak kalau cepat isi, bu," canda Aida.
"Iya ya. Mulut orang sekarang suka usil. Cepat dapat momongan dicurigai, lambat dapat momongan dijadiin bahan gunjingan,"
Aida tersenyum sambil menghidangkan air putih untuk sang mertua.
"Kalau kamu ada dengar yang seperti itu, lapor pada ibu ya Ai. Biar ibu yang hajar mulut-mulut usil itu,"
"Siap komandan!!" jawab Aida sigap sambil membuat gerakan hormat.
"Eh, ngomong-ngomong ibu sama siapa kemari? Sendiri?" tanya Aida yang penasaran dengan maksud dan tujuan kedatangan wanita bertubuh mungil itu.
Bu Nur tak langsung menjawab, ia melirik pada Nada, sang informan terpercaya.
Aida sontak menatap curiga pada Nada.
"Kamu ngomong apa ke Ibu, Nad?" tanya Aida pada Nada yang tengah menyajikan mie instan kuah merah dengan telur mata sapi diatasnya yang begitu menggoda hingga menerbitkan liur.
"Eh, gak ada kok Mbak," kilah Nada yang langsung mencoba kabur namun sudah tertahan tangan Aida.
"Ih, duduk dulu ayo!" paksa Aida. "Ngomong apa kamu?" kata Aida sambil mencolek pinggang gadis berusia sembilan belas tahun itu.
"Hushh, udah-udah. Nada nggak ngomong aneh-aneh kok. Katanya kamu nggak keluar-keluar kamar. Dia takut kamu sakit atau apa. Itu doang kok," ujar Sang Mertua menengahi. Matanya melirik Nada agar segera menjauh dari meja makan.
"Reza perlakukan kamu dengan baik kan?" tanya Bu Nur lembut pada menantu pertamanya itu.
Aida sedikit terkejut mendengar pertanyaan ibu dari Reza itu. Kemudian tersenyum menguasai keadaan. Menganggukkan kepalanya, mencoba meyakinkan sang mertua, wanita dengan insting setajam pedang.
"Ibu khawatir kalau Reza tidak perlakukan kamu dengan baik. Dia sudah berani bawa kamu kesini, memisahkan kamu dari kedua orangtuamu, menjauhkanmu dari teman-temanmu. Andai dia berbuat tidak baik, kamu harus tau, ibu adalah orang pertama yang akan menghajarnya," ucap sang mertua sambil mengelus lembut tangan Aida.
"Insyaallah Mas Reza perlakukan Aida dengan baik kok bu. Ibu tenang aja, memang udah kewajiban Ai untuk ikut Mas Reza, jadi yaa sudah konsekwensi kan kalau Ai jauh dari keluarga. Toh disini jg Ai punya teman kok," jawab Aida sambil menyentuh tangannya menutupi tangan Bu Nur untuk meyakinkannya.
"Alhamdulillah kalau begitu. Ibu kesini cuma memastikan aja. Karna Nada takut kamu nggak keluar-keluar dari kamar dan Reza malah pergi dan ada rencana gak pulang,"
Aida menyodorkan mie instan yang kembali disajikan Nada untuk sang mertua.
"Sekarang ibu makan dulu ya, temani Ai dan Nada," katanya sambil meletakkan sendok dan garpu agar sang mertua bisa ikut bersantap malam dengannya dan Nada. "Ibu mau pakai nasi?" tanyanya lagi.
"Nggak usah Ai, ibu kalau makan mie instan gak pakai nasi. Double karbo," jawab sang mertua sambil mengaduk mie instannya yang masih mengepulkan asap panas.
"Kirain ibu kayak Nada, katanya gak afdol kalo orang Indonesia gak makan pakai nasi," ucap Aida meledek Nada yang sedang menyendukkan nasi kedalam mangkuk mie instan miliknya sendiri.
Yang diledek hanya bisa menyengir kikuk.
.
_____