Cinta itu tidak bisa dijelaskan seberapa besarnya,
orang mungkin menilai cinta itu sebesar dunia, samudera, bahkan langit.
Namun tidak ada seseorang pun yang bisa menakar seberapa besar cintanya dengan logika.
.
_____
.
Lima bulan yang lalu..
.
Aida duduk termangu di ayunan yang di letakkan tepat di halaman rumah orangtuanya. Matanya menatap letih pada rembulan yang sinarnya begitu kentara malam itu.
Tapi bukan bulan yang dipandanginya. Ia melihat sesosok laki-laki di sana. Wajah tampan yang selalu terlihat lembut, namun sebenarnya berwatak keras. Senyum laki-laki itu mengembang disana.
‘Entah sampai kapan Dia mengijinkanku jatuh cinta padamu, aku hanya berjalan menapaki garis-garis kehidupan yang kini mulai membekas membentuk kerutan di dahi.
Ah ya, bagaimana kabarmu malam ini? Apakah disana ada yang mencoba untuk menggodamu? Kau tahu, wajahmu sedikitpun tak pernah samar di ingatanku.’
“Mbak Ai, ngapain malam-malam ngelamun diluar. Kayak nggak ada kerjaan aja deh,” tegur Bik Nah, asisten rumah tangga keluarga mereka yang paling tua membuyarkan lamunan Aida.
Aida tersenyum menanggapi pernyataan Bik Nah. Diterimanya jaket yang diberikan wanita paruh baya itu kepadanya dan langsung menutupi tubuhnya.
“Bibik pernah denger, bulan itu aslinya jelek loh, Mbak Ai, bolong-bolong. Jadi jangan sampai wajah Mas-Mas itu kelihatan di sana ya,” ledek Bik Nah yang disambut senyum manis Aida.
Wanita paruh baya itupun pamit masuk, paham bahwa nona mudanya tak ingin diganggu.
Aida melirik kearah ponselnya. Membuka daftar nama di ponselnya, dan berhenti pada satu nama, Bahruna, menekan tombol call. Tersambung! Terdengar nada panggil tiga kali.
“Assalamu’alaikum adek,” langsung terdengar suara disebrang ketika panggilan itu dijawab.
Maka pembicaraan itupun berlangsung cukup lama. Mereka berbicara layaknya teman yang sudah sangat lama tidak bertemu. Kadang tertawa, saling melemparkan candaan, seperti dulu. Dan telepon pun di akhiri ketika bulan bergerak semakin meninggi, malam semakin larut.
Ah abang, lama tidak mendengar kabarmu, ternyata kau akan menikah. Baiklah, insya Allah kalau bulan depan aku masih bisa bernafas, aku akan datang. Semoga Allah masih memberikan kesempatan padaku untuk bernafas saat itu.
.
_____
.
Bulan yang telah dijanjikan tiba.
Aida sudah bersiap dengan tas pakaian yang dipersiapkannya tadi malam. Bahruna akan menikah lusa, ia berangkat hari ini, agar tidak terlalu letih disana.
Perjalanannya kali ini cukup memakan waktu. Bagaimana tidak, membutuhkan waktu sekitar delapan jam untuk bisa sampai ke tempat dimana temannya itu berada.
Syukurnya Bahruna sudah menyiapkan penginapan untuk teman jauhnya itu, sehingga sesampainya disana Aida tidak harus mencari penginapan lagi.
Delapan jam yang melelahkan. Ia dijemput temannya yang lain di terminal bus, Rendra dan Dana. Ini kali pertama ia bertemu langsung dengan Rendra, kalau Dana, dulu mereka kuliah di Universitas yang sama.
Di penginapan, Aida masih harus beradaptasi dengan udara di daerah itu. Dua jam lebih ia bercokol dengan sesak yang tiba-tiba singgah.
Malam selepas isya, Rendra dan Dana menjemputnya untuk bertemu Bahruna. Mereka tidak menyinggung Reza sama sekali, padahal sudah jelas Reza berada di kota itu, dan kemungkinan besar, cepat atau lambat mereka pasti bertemu.
Setelah bertemu Bahruna, ia memilih untuk duduk di sudut ruangan sambil melihat temannya itu melakukan acara adat sebelum menikah. Dan seketika jantungnya berdebar jauh lebih cepat ketika melihat sosok yang baru masuk kedalam rumah itu.
Reza.
Ia langsung menggelengkan kepalanya ketika tiga orang lelaki temannya itu menatap kearahnya. Ia tidak ingin Reza tau dia ada disana.
Tapi siapa yang dapat menentang kehendak Allah.
Disinilah Aida, sudah hampir satu jam duduk terdiam di halaman rumah Bahruna. Didepannya Reza duduk memandang kearah lain. Belum ada satu patah katapun yang keluar dari mulut mereka. Serasa orang asing yang dipertemukan dalam kumpulan yang asing.
Saling diam. Aida mulai gerah, ia melirik jam ditangannya, sudah pukul sepuluh lebih lima belas menit.
“Ah, udah jam sepuluh lewat,” katanya.
Refleks Reza melirik jam ditangannya. Aida tersentak, jam itu, jam pemberiannya tiga tahun lalu, jam yang sama dengan jam yang ada dipergelangan tangan kirinya saat ini. Reza masih mengenakannya.
“Iya. Aida pulang kemana?” tanya Reza berbasa-basi, tidak sadar akan mata Aida yang menatap jam di pergelangan tangannya.
“Aida,” tegurnya pelan.
“Ah ya, maaf. Reza tanya apa?”
“Aida pulang kemana?”
“Oh, ke penginapan. Dana sama Rendra dimana ya?”
“Itu mereka,”
Reza menunjuk kearah Rendra dan Dana yang sibuk menggelar tikar.
Reza memanggil kedua sahabatnya itu untuk mendekat.
Pukul sepuluh tigapuluh, Aida diantar kembali ke penginapan. Merebahkan tubuh, menangis, itu hal pertama yang dilakukannya.
Hatinya sakit, sesak. Seluruh perasaan yang dipendamnya selama tiga tahun menyeruak melalui air mata yang tak dapat dibendungnya. Berjam-jam ia menangis dan tertidur karena lelah.
.
_____
.
"Kau sudah melihatnya, Za. Dia masih sendiri, apa lagi yang kau tunggu?" tanya Dana pada sahabatnya yg masih diam termenung sambil mencucuk sedotan ke air mineral gelas ditangannya.
Reza yang ditanya hanya menatap jam dipergelangan tangannya, jam pemberian Aida tiga tahun silam, lalu menggelengkan kepalanya, "Berat Na. Aku dan dia bagai bumi dan langit. Ada jarak yang begitu luas yang memisahkan kami"
Dana menghembuskan nafas kesal. Ia tau bukan jarak yang menghalangi, tapi ego yang begitu tinggi yang membuat sahabatnya itu enggan mencoba memulai kembali hubungan dengan wanita yang jelas masih dicintai dan ditunggunya itu.
"Kalau kau masih punya perasaan padanya, lebih baik kau katakan sejujurnya, Za. Jangan sampai ego membuatmu menyesal. Apa kau menunggu dia menikah, lalu kau kembali meratapi nasib?" sindir Dana.
Terkadang ia perlu menyindir keras sahabatnya yang begitu batu itu. Ia ingat bagaimana dulu ketika kabar tentang Aida akan menikah terdengar ditelinga mereka, sahabatnya itu bak ayam yang sebentar lagi akan menemui ajal. Air mata tak tampak, tapi gairah hidup pun lenyap. Sesekali ia bergumam, andai waktu bisa diulang, ia ingin mempertahankan cintanya pada gadis itu.
Tapi lihat hari ini, hati itu kembali mengeras bak batu. Menjengkelkan sekali.
Melihat sahabatnya itu masih terdiam, Dana kembali memancing, "Kau dulu berkata andai ada kesempatan, tapi sekarang apa? Pengecut!" desisnya kesal.
Reza memukul meja disampingnya keras, berdiri dan menarik kerah baju sahabatnya itu.
"Kau tak pernah menjadi aku, Na. Kau tak pernah merasakan bagaimana harga dirimu diinjak seperti sampah! Hampir mati babak belur!" geramnya.
"Tapi Aida tidak pernah tau kisah itu, Za. Dia fikir kau yang pergi begitu saja. Bisa jadi sampai saat ini pun dia masih mengharapkanmu," kata Rendra yang sedari diam tak menimpali mencoba membuka hati dan fikiran sahabatnya itu.
Reza memandang sengit Rendra, "Kalau dia tidak tau kisah itu, tidak mungkin dia menerima pinangan pria lain setengah tahun yang lalu, Ren!"
Ya, Reza masih selalu memantau keadaan dan kondisi Aida melalui Ryan, sahabat Aida. Setidaknya dua bukan sekali dia masih berkomunikasi dengan Ryan dengan dalih memeriksakan kesehatan. Dan Ryan dengan serta merta akan membuka percakapan tentang Aida.
Terakhir ia mendengar kabar Aida menerima lamaran dari Indra yang tak lain adalah sahabat mantan pacar Aida sewaktu mereka masih kuliah.
"Kalau begitu buktikan bahwa sampah itu kini sudah berubah menjadi benda berharga. Jangan lagi menaruh harapan atau memberi harapan padanya. Kau laki-laki paling tidak konsisten yang pernah ku temui." ucap Dana masih mencoba memancing emosi sahabatnya itu.
Bruk!!
Satu pukulan terlepas dari tangan Reza. Dana jelas terjerembab. Ia tak menyangka temannya akan merasa sepanas itu.
Bahruna yang melihat hal tersebut sontak berlari mendekat.
Malam ini rencananya ia dan ketiga sahabatnya akan berkumpul menghabiskan malam sebelum esok ia melepas masa lajangnya.
"Apa apaan kau, Za!" bentak Bahruna.
Dana berdiri dan mengelus pipinya yang terkena bogem mentah dari sahabatnya itu. Menepuk bahu Bahruna, "Tak apa Run. Aku hanya mencoba membuka mata dan hati sahabat kita yang sekeras batu ini."
"Tapi kenyataannya dia belum menikah sampai sekarang, Za. Bisa jadi pernikahan mereka batal," ucap Rendra masih mencoba membuka hati dan fikiran sahabat mereka itu.
"Lalu kau fikir aku mau menerima wanita bekas laki-laki lain, begitu?"
Dana yang terpancing emosi melempar kasar gelas air mineral yang ada dihadapannya, "Jaga ucapanmu, Za. Kita sama-sama tau kisahmu dan Aida. Kita juga tau perjuangan dia untuk bangkit dan berubah. Kenapa begitu kerdil fikiranmu sampai berkata merendahkannya begitu."
Reza mengerutkan keningnya, "Kalau begitu, kau nikahi saja dia!" katanya asal.
Dana menggelengkan kepalanya dengan wajah keruh. Tak mengira sahabatnya akan berkata begitu, padahal mereka tau bahwa Reza masih begitu menyayangi Aida.
"Oke, besok aku akan melamarnya. Kau jangan menyesal!" ujar Dana mencoba memancing reaksi sahabatnya itu dan meninggalkan perbincangan mereka.
"Dana, jangan begitu!" seru Bahruna.
Acara malam lepas lajang nya harus bubar karena emosi sahabatnya yang tak terkontrol
.
_____