S E M B I L A N B E L A S

1007 Kata
Flashback Ini pertama kalinya Heri memegang tanganku. Dari banyaknya waktu yang Heri habiskan untuk mendekatiku, akhirnya dia memberanikan diri untuk memegang tanganku. Lalu karena reflek, aku pun menoleh ke arahnya, mataku terbelalak karena kaget dengan apa yang Heri lakukan. Kami dekat sekitar tiga bulan, aku tau Heri menyukaiku tapi aku belum mendengar dia mengutarakannya padaku. Aku sendiri sudah merasa tertarik dengan Heri, bagaimana tidak? Walaupun Heri tidak masuk ke dalam tipe pacar idamanku, tapi sikapnya yang manis dan perlakuannya membuatku makin lama makin tertarik dan nyaman di dekatnya. Menurutku, dari cara Heri bersikap, dari tutur katanya, Heri adalah cowok yang love languagenya adalah act of service. Dan dengan begitu, siapa perempuan yang tidak luluh jika sudah bertemu si act of service ini? Heri menatapku balik, bedanya dia menatapku dengan tatapan santai, tidak sepertiku yang sedang memasang wajak kaget. Ya siapa yang tidak kaget, siapa sangka juga Heri akan melakukan ini? "Ada apa ini?" tanyaku sebagai formalitas belaka karena sesungguhnya diam-diam aku tau apa yang akan Heri lakukan; mungkin dia akan menyatakan perasaannya padaku malam ini? "Nggak apa-apa, aku cuma mau pegang tangan kamu aja. Boleh, kan?" tanya Heri menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan balik. Atau mungkin Heri tidak menyatakan perasaannya padaku malam ini. Mungkin aku salah dan terlalu percaya diri padahal Heri hanya ingin memegang tanganku. Bukannya sekarang para remaja sudah biasa walaupun belum pacaran tapi sudah saling pegang tangan? Hal yang Heri lakukan bukan hal yang luar biasa, seharusnya. Iya, seharusnya itu yang aku pikirkan. Sekarang aku jadi merasa malu sendiri pada diriku sendiri karena sudah salah sangka. Aku ini percaya diri sekali sih, jadinya malu deh. "Oh gitu..." ucapku. Aku tidak mengiyakan pertanyaan Heri, juga tidak menolaknya. Aku bingung harus menjawab apa karena dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak bisa melakukan ini bila kita berdua belum ada status apapun. Minimal ya pacaran kek. Kalau tidak ada hubungan jelas seperti ini kan riskan. Nanti kalau aku ternyata terlanjur baper dan apa yang Heri lakukan selama ini (manis sekali sikapnya) hanyalah tebakanku saja. Kini aku jadi mulai ragu dengan penilaianku sendiri. "Jadi boleh apa nggak ni, Nei?" tanya Heri lagi, kembali menanyakan perihal apakah dia boleh memegang tanganku atau tidak. Aku menulan ludah sembali berpikir bagaimana aku menjelaskannya pada Heri tentang keberatanku ini. Apakah nanti ucapanku akan menyakiti hatinya? Akan kah Heri tersinggung? Tapi kalau tidak aku utarakan dan bila aku pura-pura oke oke saja, aku sendiri yang menanggung ketidaknyamanan yang akhirnya hanya akan menyesal karena tidak bicara apa yang benar-benar aku rasakan. Jadi aku pun kini tersenyum, lalu melepas tanganku dari genggaman Heri secara lembut agar Heri tidak tersinggung. Aku berencana akan menjawab pertanyaan Heri dengan candaan agar Heri tidak merasa kikuk. Lagi pula aku melepas genggaman Heri dan pura-pura merapihkan rambutku. Jadi kesannya aku tidak menolaknya mentah-mentah. "Pegangan pegangan, udah kayak mau nyebrang aja. Ini kan kita lagi duduk." jawabku santai lalu menyeruput jus nanasku yang sudah tinggal setengah gelas. "Iya pegangan biar kamu ga ilang." lanjut Heri meluncurkan gombalan yang lainnya. Aku mendengus akan gombalannya itu. "Ya kalo ga mau ilang, dikasih kepastian, dong." ucapku lagi terdengar malah seperti sedang memancing Heri agar dia memberikan kepastian untukku. Sesaat setelah mengatakan hal tersebut, aku mengutuk diriku sendiri karena kok aku malah yang seakan-akan ngebet untuk jadian dengan Heri? "Dikasih kepastian gimana contohnya?" tanya Heri. Heri ini memang pintar membalikkan keadaan. Aku suruh dia memberikan kepastian, eh dia malah bertanya balik mengenai hal itu. Sekarang aku harus jawab apa? Aku harus jawab, 'kasih kepastian itu contohnya adalah... tembak aku gitu.' atau 'ya tembak dong, itu baru namanya kasih kepastian.' EW! Tidak. Kok jadi seakan-akan aku mau berpegangan tangan kalau sudah jadian? Tapi memang benar sih itu mau ku. Tapi aku tidak mau terlalu kentara. Aku tidak mau Heri tau maksudku. Tapi aku mau dia mengerti maksudku bukan dari ucapanku. Haduh, bingung juga menjelaskannya. "Nggak tau." jawabku main aman. Aku lebih baik tidak usah menjawab, kan, dari pada salah jawab? Biar saja Heri yang berpikir bagaimana caranya. Toh aku sudah kasih clue juga. Seharusnya sih Heri paham. Dia kan pintar melihat keadaan. Kalau sampai dia tidak engeh juga sih keterlaluan. "Ya udah aku pegangan sama botol kecap aja deh." ucapnya becanda. Lalu Heri mencari-cari botol kecap, lalu aku tertawa karena mana ada botol kecap di tempat seperti ini? Heri membawaku ke sebuah kafe dessert yang lumayan fancy malam ini, kalau dia mencari botol kecap sih lebih baik ke tukang bakso saja. Di sini mana ada? "Kamu cari sampe 24 jam juga nggak bakal ketemu tuh botoh kecap. Kamu nyarinya di sini, kalo kamu cari di tukang bakso, di tukang bubur ayam, mungkin bisa langsung ketemu." ucapku mencibir apa yang Heri lakukan. Lalu dengan tampang tidak bersalahnya, Heri pun tercengir jahil. "Ngomong dong dari tadi. Diem bae." ucap Heri lalu aku memukul pundak Heri pelan. Itu aku sudah ngomong, loh. Dia mah bisa saja. "Aku kan udah ngomong. Kecuali kalo aku diem, baru itu nggak ngomong." Aku membalas candaan Heri dengan candaan balik. Lalu aku bersyukur karena keadaan tidak berubah menjadi canggung. Kita tidak lanjut membicarakan perihal yang sebelumnya ku kira akan diperpanjang. Kita malah berbincang perihal hal lain dan saling becanda. Ternyata memang bukan malam ini Heri menyatakan perasaannya. Entah kapan dan entah apakah memang tebakanku benar soal perasaannya padaku? Aku sendiri tidak yakin dan tidak mau menebak-nebak lagi. Sepertinya aku harus terbiasa dengan trend masa kini yang membiasakan lawan jenis kita untuk dekat seperti pacaran, padahal tidak pacaran. Apa itu namanya? Huft. Aku hanya harus berhati-hati dengan hatiku sendiri jangan sampai aku terjebak sendirian. Mungkin Heri memang tipe cowok yang manis sehingga aku malah menangkapnya berbeda. Padahal Heri mungkin menganggapku seperti teman dekatnya. Huh, sedih sekali kalau dipikir-pikir. Apa orang-orang tidak takut akan resiko patah hati yang sangat besar bila dekat dengan lawan jenis tapi tidak ada hubungan sama sekali ya? Mau rindu salah, mau marah bila lawan jenis itu dekat dengan orang lain salah... Serba salah pokoknya karena kita tidak punya hal sedikit pun atas hal itu. Aku dan Heri memutuskan untuk pulang saat kami sudah menghabiskan waktu dua jam di kafe ini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN