D E L A P A N B E L A S

1318 Kata
Aku mengetuk-ngetuk jariku ke meja rias, aku tidak yakin apakah aku akan benar-benar bertanya pada Risky karena dia akan sangat kaget dengan berita yang akan aku katakan padanya. Tapi kalau aku tidak bilang apapun, itu salah besar. Karena aku dan Risky sudah berkomitmen hal kecil apapun harus dikabari karena agar kita saling tau. Sekarang ini hal yang besar menurutku, dan kalau aku tidak bilang, itu bisa dibilang pengkhianatan. Aku pun mengirimkan chat wa ke Risky, tidak... Aku tidak langsung memberitahu apa yang terjadi pada Risky. Aku hanya basa basi bertanya apakah dia sudah selesai meeting atau belum. Aku menunggu sekitar tiga puluh menit, lalu setelah itu Risky membalas pesanku dan memberitahuku bahwa dia sudah selesai meeting dengan komunitasnya. Belum juga sempat aku membalas pesan wa nya, Risky sudah menelponku. "Halooo." sapa Risky dengan nada cerita. "Hai." sapaku balik. "Gimana meetingnya lancar?" tanyaku lagi sebagai pemasanan sebelum menuju topik utama. "Lancar, agak pusing sih soalnya program-program semester genap belum terealisasi. Karena ini banyak member baru, susah juga buat aktifin komunitas lagi. Ditambah lagi ini Human Resource, si Rahmi, mau pindah ke Jakarta. Terus dia otomatis keluar juga dari Dream Warrior." keluh Risky. Aku ingat Risky pernah menceritakan perihal Rahmi yang selalu membantu pekerjaan Risky di komunitas tersebut. Rahmi bisa dibilang tangan kanan Risky dan sangat membantunya. Risky jadi bisa auto pilot dan hanya tinggal cek cek saja. Tapi karena Rahmi akan pindah ke jakarta, Risky akan kewalahan. "Nggak ada yang bisa diandalkan lagi emang, sayang?" tanyaku pada Risky. "Belum ada sih, tapi yaudah jalanin aja." ucap Risky lagi. Aku mengangguk walaupun aku tau Risku tidak bisa melihatku, lalu aku pun bertanya memangnya kenapa Rahmi sampai ke Jakarta? "Emangnya Rahmi ngapain ke Jakarta?" tanyaku terdengar sangat kepo. "Dia keterima kerja di sana." jawab Risky. "Hooo gitu." ucapku mengerti dan ikut senang. "Semoga aja ada yang bisa diandelin ya." lanjutku. Risky adalah ketua di komunitas yang sedang dia geluti. Komunitas ini juga bukan sembarang komunitas karena foundernya adalah salah satu publik figur yang mengedepankan pendidikan Indonesia. Supportnya juga dari bank, jadi untuk perkembangan bagus sekali. "Iyaa aamiin. Kamu gimana akhir pekannya? Cukup istirahatnya?" tanya Risky. "Iya cukup." ucapku. Lalu setelah mengucapkan itu, aku berniat untuk membicarakan perihal Heri yang tadi menelponku. Tapi dari mana aku harus cerita? Aku kebingungan sendiri untuk cerita mana yang seharusnya aku ceritakan. "Kamu nggak maun sama Hesti dan Rahma?" tanya Risky lagi. "Hesti sih tadi ada ngajak aku sama Rahma keluar, nongkrong di kafe. Tapi aku dan Rahma belum gajian, jadi kita berdua ga ikut." jawabku. "Hahaha kasian banget. Sana kalo mau ikut, ikut aja, sayang. Nanti aku transfer." ucap Risky menawarkan bahwa dia akan mentransfer uang bila memang aku mau ikut nongkrong dengan Hesti. Tapi aku buru-buru menolak Risky karena selain tidak enak karena Risky harus transfer uang padaku, aku juga tau Risky belum gajian. Jadi aku tidak mau merepotkannya. Dia sedang banyak kebutuhan. Risky ini adalah tulang punggung keluarga. Sudah pasti banyak kebutuhannya. "Nggak, aku lagi mager juga keluar." ucapku lagi. "Kenapa males? Kan biar refreshing." Tanya Risky. "Nggak... Nggak usah. Aku lagi nggak mau keluar kok." ucapku lagi, lalu untuk mengubah topik, ini kesempatan untukku, untuk membicarakan perihal Heri yang tadi menelponku. "Lagian ada yang mau aku omongin sebenernya." lanjutku lagi. "Ngomongin apa nih?" tanya Risky terdengar sangat tertarik. Aku menelan ludahku sendiri. Entah apa reaksi Risky nanti setelah mendengar apa yang akan aku ucapkan. "Kamu masih inget Heri?" tanyaku memberanikan diri untuk menyebut namanya lagi. Hening sementara, entah Risky tidak langsung menjawab karena dia mengingat-ngingat siapa itu Heri atau Risky kaget karena aku menyebut namanya tiba-tiba tanpa aba-aba, padahal tidak ada angin dan hujan. Tiba-tiba nama itu muncul di tengah percakapan kita berdua. "Heri... yang itu?" tanya Risky lagi bertanya padaku, seperti meyakinkan bahwa yang dia dengar benar atau tidak dan apakah benar Heri yang dimaksud olehku adalah Heri yang "itu" atau bukan. Dan aku lagi-lagi mengangguk padahal Risky bisa melihat aku mengangguk pun tidak. "Iya, Heri yang itu." ucapku, membenarkan pertanyaan Risky tentang Heri mana yang aku maksud. Dan dengan begitu, Risky terdengar seperti menghembuskan nafasnya perlahan. "Kenapa, sayang?" tanya Risky. "Dia tadi chat dan telepon aku." ungkapku. "Hah?" Risky kaget. Sama seperti yang aku duga dan sama seperti reaksiku juga saat pertama kali mendapatkan notifikasi dari nomor yang tidak ku kenal yang ternyata adalah milik Heri. Sebenarnya aku kurang yakin, itu adalah nomor baru Heri atau bukan. Karena sejujurnya aku sudah hapus nomor Heri dan aku tidak hapal nomornya. Jadi aku tidak yakin itu nomor baru Heri atau nomor yang lama yang sudah ku hapus jadi aku tidak ingat. "Iyaa..." aku menjawab reaksi Risky yang terdengar sangat kaget itu. Dalam hati, aku takut Risky marah karena aku memberitahu perihal Heri. Tapi kalau aku tidak bilang, bukannya Risky akan tambah marah bila dia mengetahuinya secara langsung yang bukan lewat aku? "Ada perlu apa dia, sayang?" tanya Risky kembali dengan nada lembut seperti biasanya. Risky memang terdengar kaget tadi, tapi rasanya karena mendengar pertanyaan dia selanjutnya, aku yakin Risky hanya kaget dan tidak marah sama sekali. "Dia awalnya chat aku, tapi aku nggak baca. Terus dia teleponin aku terus, abis itu kirim chat lagi panjang banget. Aku penasaran karena nggak bisa baca di notif, isi chatnya nggak muat. Jadi mau nggak mau aku langsung buka chatnya dan baca isinya sampe abis. Aku ga bales. Tapi dia telepon aku lagi. Niatnya sih aku angkat telepon dia itu buat ngasih tau jangan ganggu aku lagi. Tapi Heri minta tolong sama aku." jelasku panjang lebar pada Risky. "Oh, oke nggak apa-apa. Isi chatnya apa?" tanya Risky lagi. Aku pun menjelaskan pada Risky bahwa isi chat Heri adalah dia memberitahu bahwa keluarga Heri menyuruh Heri untuk pulang kampung karena mamanya punya penyakit. Heri sendiri tidak diberitahu penyakitnya apa, tapi yang jelas katanya penyakitnya mematikan dan lagi, pesan mamanya, Heri harus pulang membawa calon istri. "Tunggu, tunggu... Terus kenapa dia chat kamu? Apa hubungannya masalah dia disuruh pulang kampung bawa istri dan sama kamu?" tanya Risky sama bingungnya denganku. "Aku sendiri jujur nggak tau." jawabku sejujurnya. Jangankan Risky, aku saja bingung dengan maksud dan tujuan Heri. "Dia minta tolong ke kamu buat pura-pura jadi calon istri Heri karena mamanya sakit parah?" tanya Risky. Aku kurang yakin, lalu aku terdiam. Sepertinya memang itu maksud dan tujuan Heri. Tapi masalahnya kenapa aku? Aku bahkan sudah memutuskan hubungan kita berdua. Bahkan chatku yang terakhir saja tidak dia balas. Kenapa juga dia tidak tau malu dan chatku lagi? "Bukannya kalian berdua udahan udah lama?" tanya Risky lagi saat aku tidak bisa menjawab pertanyaan Risky. "Aku juga nggak tau. Aku udah bilang sama dia jangan ganggu aku lagi. Bahkan aku bilang aku nggak peduli sama keadaan mamanya. Aku bilang dia nggak tau malu karena chat dan telepon aku padahal chat terakhirku ke dia aja nggak digubris sama sekali." jelasku. Aku mengatakan yang sejujurnya agar Risky tidak salah paham. "Terus dia tetep kekeh?" tebah Risky. "Iya. Dia malah nangis dan minta tolong banget sama aku. Aku bingung harus gimana." ucapku lagi dan Risky terdiam. Atmosfer kita berdua menjadi semakin mencekam. Di sisi lain aku merasa sangat bersalah pada Risky padahal aku bisa saja bodo amat dengan Heri dan langsung block nomornya dari ponselku. Tapi aku orangnya tidak tegaan. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Aku mengatakan ini kepada Risky karena aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. "Bilangin Heri, kalau emang mau bawa kamu ke kampungnya. Ijin sama mama kamu, terus ijin sama aku." ucap Risky setelah dia tidak menjawab ucapanku. Aku bernafas lega. Risky memang akan selalu menjadi Risky yang berpikiran rasional dan selalu ada solusi. Aku yakin dengan aku mengatakan itu, Heri tidak akan berani untuk meminta ijin mama. Apalagi bertemu dengan Risky yang notabennya adalah pacarku. Dia siapa memangnya? Hanya masa lalu ku yang memberikan pelajaran berharga alias dia memang sangat tidak tau diri. Kalau hanya ada satu pria tersisa di bumi ini, aku tidak akan memilihnya dan memilih untuk sendiri saja sampai bumi berakhir tanpa ada generasi baru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN