T U J U H B E L A S

1828 Kata
Hening, Heri masih tidak bisa menjawab pertanyaanku. Dia malah sibuk dengan rokoknya yang perlahan mulai pendek karena habis terbakar. Rokok, aku benci sekali benda itu. Apa sih enaknya menghisap asap? Sudah begitu, rokok malah banyak menyebabkan penyakit dan menguras dompet. Sebenarnya tipe cowokku jauh sekali dari Heri, aku tidak suka orang yang merokok, tapi Heri adalah perokok. Aku tidak suka cowok yang labil, Heri sendiri sangat labil, bahkan dia bisa membatalkan janjinya di last minute. Pernah sekali saat Heri bilang akan menjemputku dan kita akan main keluar bersama, dia membatalkannya saat aku sudah rapih dan sedang menunggunya menjemput. Parahnya lagi, dia tidak langsung mengabariku, dia mengabariku sejam setelah aku sudah siap. Aku menunggunya sejam hanya untuk menunggu dia membatalkan janjinya menjemputku. Marah? Hahaha tidak akan mempan. Bahkan aku pernah marah dan ingin sekali dibujuk olehnya, tapi itu tidak terjadi. Heri tidak memberikanku hal semacam itu. Heri yang manis hanya berlaku saat kita sedang di masa pendekatan. Heri sangat manis sampai aku bisa jatuh ke pelukannya. Aku bahkan kaget sekali dengan perubahan sikap Heri yang entah kenapa menjadi sangat dingin dan tidak menghargaiku sama sekali. Terkadang aku berpikir, apa ada yang salah dariku sampai Heri memutuskan untuk tidak lagi bersikap bahwa dia tertarik padaku. Bahkan, jika aku sedang berpikir negatif, mungkin saja Heri sedang menyukai gadis lain. Tapi tentu saja aku tidak membiarkan pikiran jelek itu menggerogoti kepalaku, aku tidak mau menderita dengan pikiran jelekku sendiri. Lebih baik aku tidak memikirkan apapun, aku pernah membaca bahwa apa yang terjadi itu karena kita memikirkannya terus menerus. Aku tidak mau hal jelek itu terjadi, jadi aku selalu berusaha berpikir positif pada Heri, sekali pun terkadang tidak masuk akal untukku. Sabar dan terus sabar, itu adalah kunci hubungan kita masih bertahan sampai saat ini. "Kenapa aku nggak boleh tau kamu ngekos di mana, Heri?" tanyaku lagi, mengingatkan Heri bahwa aku memiliki pertanyaan yang belum dia jawab. "Karena itu nggak penting, Nei. Kalau kamu tau aku ngekos di mana, terus apa?" Tanya Heri lagi. "Banyak, aku bisa anterin makanan ke kosan kamu, aku bisa nyamperin kamu." jawabku. "Aku nggak butuh semua itu, Nei. Kamu cuma cukup jadi pacarku dan tolong hargai privasi aku." Ucap Heri lagi membuatku terpatung. "Kamu terlalu banyak nuntut, aku capek denger kamu komplen ini itu." lanjutnya lagi, kali ini membuat dadaku sakit. Jadi selama ini Heri menilaiku sebagai pacar yang selalu komplen dan banyak menuntut. Lalu aku harus apa? Menuruti saja sikapnya yang seenaknya itu? "Satu-satunya yang aku komplen adalah sikap dingin kamu, satu-satunya hal yang aku tuntut dari kamu cuma kabar aja. Aku nggak pernah minta ini itu. Apa aku pernah minta uang ke kamu? Minta barang? Minta di beliin ini itu? Aku cuma minta waktu kamu aja. itu pun aku nggak minta banyak-banyak. Aku cuma mau kamu kabarin aku. Itu aja susah ya?" aku tidak sadar emosiku meledak, dan ketika emosiku meledak, aku akan menangis. Dan iya, aku tidak bisa menahan air mata yang jatuh. Aku ini cengeng sekali, sekalinya marah, pasti bersamaan dengan tangisan. "Kita malah berantem. udah deh aku nggak ada waktu buat berantem." ucap Heri lalu sambungan video call pun terputus. Flashback Ends Aku menutup kembali kulkas ketika segelas s**u sudah ku tuang. Aku meminum sampai habis satu gelas s**u dan menyeka mulutku, menghindari ada kumis tipis bekas aku meminum s**u. Sambil terus memikirkan isi pesan yang Heri kirim, aku mencuci gelas bekas yang tadi ku pakai. Apa benar yang Heri katakan? Lalu aku harus apa? Aku tidak tau apa maksudnya mengirimku pesan itu. Apa aku harus memberitahu Risky? Tapi kalau aku beritahu Risky, untuk apa? Risky tidak ada sangkut pautnya dengan Heri. Bahkan aku tidak mau Risky tau Heri menghubungiku kembali. Tentu saja Risky akan marah jika tau Heri menghubungiku, aku berpikir apa, sih? Aduh pusing. Karena tidak mau terus memikirkan itu terus menerus, aku pun kembali ke kamarku ketika selesai mencuci satu gelas yang aku pakai tadi. Aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur dan mendengarkan musik. Risky pamit untuk meeting dengan komunitasnya tadi, jadi aku dan Risky sedang tidak chatting lagi. Dan caraku membunuh waktu adalah dengan mendengarkan musik untuk saat ini. Saat beberapa musik sudah ku dengar dan aku mulai merasa bosan, aku pun membuka aplikasi Netflix dan mencari-cari referensi film yang seru yang bisa ku tonton. Tapi sepertinya waktu sekitar lima belas menit habis hanya untuk mencari film yang pas. Jadi aku pun terus mencari dan ketika menemukan film yang menurutku cukup seru dari segi sinopsis, aku pun mulai menontonnya. Ketika baru sepuluh menit menonton, sepertinya ada yang kurang, bukannya akan lebih lengkap jika aku menonton film sambil memakan sesuatu? Jadi setelah itu aku pun menghentikan sejenak film yang sedang ku tonton dan memutuskan untuk memasak indomie goreng. Saat aku hendak masuk ke dapur kembali, Biru minta tolong dimasakkan indomie goreng juga. "Nitip yaa, kak. Aku juga laper." ucap Biru sambil cengengesan. "Iya, siap, tuan." ucapku sambil becanda seolah-olah Biru adalah bos dan aku adalah asisten rumah tangganya. Mendengar ucapan itu Biru hanya tertawa. "Yang enak ya, Ijah." ucap Biru menempali candaanku. Dengan begitu aku hanya melemparkan kain lap ke arah Biru yang langsung Biru hindari, lalu setelah itu dia pun kembali ke kamarnya. Aku sendiri langsung mengeksekusi indomie yang akan segera ku masak. Sambil menunggu air mendidih, aku menuangkan semua bumbu ke dalam piring milikku dan milik Biru. Lalu setelah itu memasukkan mie ke air yang sudah mendidih. Tidak lama kemudian mi sudah matang dan aku tiriskan ke masing-masing piring dan tidak lupa mengaduknya. Setelah sudah siap untuk disantap, aku mengantarkan indomie milik Biru ke kamarnya. "Wah asyik, terima kasih ya kak." ucap Biru sambil tercengir girang karena aku sudah memasak indomie untuknya. "Iya sama-sama." jawabku lalu aku kembali ke dapur untuk mengambil piring milikku. Setelah itu aku menikmati indomie sembari menonton film yang tadi aku sempat tonton sepuluh menit. Memang tidak ada yang bisa mengalahkan nikmat menonton film sambil makan. Entah sejak kapan hal seperti ini sudah menjadi kesepakatan umum bahwa menonton sambil makan memang sangat nikmat, bahkan banyak sekali yang tweet perihal ini di twitter dan aku tidak menyangka bahwa banyak yang mengamini hal tersebut. Saat aku sedang asyik menonton film dan sudah menghabiskan indomieku, aku hendak mencucinya, tiba-tiba aku mendapatkan notifikasi telepon lagi dari Heri. Aku menghela nafas kasar, ada apa lagi sih dia menelponku? Seharusnya jika aku tidak meresponnya, dia diam saja dan tidak berusaha menghubungiku lagi. Aku menaruh piring kotor di atas meja samping kasurku dan menghela nafas kasar lagi, menggerutu sesekali saat melihat nomor tidak dikenal yang milik Heri itu muncul di layar ponselku. Aku berniat untuk mengangkat teleponnya dan memberikan ketegasan untuknya bahwa dia tidak usah menghubungiku lagi dan aku tidak peduli dengan apapun yang dia ucapkan. Aku sudah tidak punya urusan lagi dengannya. "Neida." panggil Heri saat aku sudah terhubung dengannya. Suara ini, dengan mendengar suaranya saja rasa kecewa dan rasa sakit bernostalgia di kepalaku. Bisa-bisanya dia memanggil namaku tanpa merasa bersalah sama sekali. "Heri, denger ya. Nggak usah hubungin gue lagi. Gue udah nggak ada sangkut pautnya sama lo lagi. Gue kan udah bilang pergi dari hidup gue." ucapku dengan tegas. Aku lega karena sudah mengatakannya dengan lantang padanya secara langsung walaupun lewat telepon, dulu aku hanya memiliki kesempatan mengatakan ini lewat chat. Bahkan dia tidak membalas tuh, kenapa sekarang dia menunjukkan batang hidungnya lagi saat bahkan chat terakhirku tidak digubris sama sekali. "Nei kamu udah baca chatku kan?" tanya Heri, seperti biasa, dia tidak akan peduli dengan apa pun yang aku ucapkan dan lebih memilih mementingkan tujuannya lebih dulu. Dia tidak pernah berubah. Selalu seperti itu. Dan itu sangat memuakkan. "Udah." jawabku singkat. "Terus kenapa kamu nggak bales?" tanya Heri. Serius? Dia bertanya kenapa aku tidak balas? Sumpah orang ini sangat tidak masuk di akal. Ke mana sih jalan pikiran cowok ini? Apa dia sudah tidak punya empati atau bagaimana? "Kenapa gue harus balas? Gue udah nggak peduli. Mau mama lo gimana juga gue nggak peduli." jawabku dingin. Sesaat setelah mengatakan itu, aku merasa sangat bersalah, karena aku tau mama Heri tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan Heri. Apa pun yang Heri lakukan padaku itu pure kesalahannya dan aku tidak berhak membenci mamanya juga. Tidak, aku tidak membenci mama Heri, aku hanya tidak peduli pada Heri dan kesal karena Heri bertanya hal yang di luar nalar. "Kok kamu ngomongnya gitu? Sejak kapan kamu jadi pait kayak gini? Serius kamu ngomong gitu?" tanya Heri, terdengar tidak percaya dengan apa yang aku katakan tadi. Aku menelan ludahku, merasa makin bersalah karena Heri memojokkanku. "Heri, itu masalah lo. Iya, gue udah jadi pait kayak gini. Tapi gue gini ke lo doang kok. Kan cuma lo yang nggak ada otak." jawabku dengan pedas. "Kamu bener nggak mau nolongin aku?" tanya Heri lagi. "Heri, kemana lo pas gue butuh lo? Lo ngilang, sekarang lo muncul lagi tanpa rasa malu dan minta pertolongan gue karena mama lo kenapa-kenapa. Terus urusannya sama gue apa? Gue harus apa? Kita udah nggak ada hubungan apapun lagi. Lo juga udah baca chat gue kan yang terakhir? Hubungan kita udah berakhir. Lo bales chat gue aja nggak." lanjutku lagi mengungkit hal yang lalu. "Berarti kalo gitu kita belum berakhir, dong?" tanya Heri tanpa mendengar ucapanku yang lain. Aku memutar kedua bola mataku, sebal. Bisa-bisanya dia bilang kita belum berakhir. Padahal sudah jelas aku memutuskannya. "Gue udah punya pacar. Lo jangan main-main ya." Ucapku lagi. Mendengar ucapanku, Heri menghela nafas panjang. "Oke oke, ini permintaan terakhir aku aja. Tolong bantuin aku. Aku bingung lagi mau ngomong gimana ke mama." ucap Heri lalu aku terdiam. Permintaan terakhir katanya? Apa dia sudah gila? "Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lu, Heri. Bener deh." ucapku karena saking aku tidak mengerti dengan maksud dan tujuan Heri begini. Kenapa harus aku? Kenapa tidak orang lain? "Kenapa harus gue? Kenapa ga ke cewek lu aja yang waktu itu lu ajak ke Seaworld sampe harus bohong ke gue." ucapku kembali mengungkit hal yang sudah lalu. Hening, tidak terdengar suara Heri dari seberang sana. Yang terdengar hanya hembusan nafas Heri yang makin lama makin terdenger jelas... Aku mendengarkan dengan seksama dan saat itu aku kaget. Apakah Heri menangis? Aku tidak yakin dengan apa yang aku dengar, lalu aku pun membuka mulutku untuk mulai bertanya. "Heri... Lo nangis?" tanyaku untuk memastikan apa yang aku dengar ini benar atau tidak. "Aku nggak tau lagi harus gimana, Nei." ucap Heri. Aku pun terdiam, entah aku harus bagaimana. Aku juga tidak tau harus bagaimana. Aku juga tidak menyangka hal ini akan terjadi. Aku tidak tau bahwa ibu Heri mempunyai penyakit mematikan tersebut. Lalu aku harus apa? Permintaan Heri sih tidak banyak, dia hanya memintaku ikut ke kampungnya untuk pura-pura menjadi pacar Heri karena permintaan terakhir ibunya adalah agar Heri membawa calon istri. Tapi kenapa aku? Tentu saja aku sangat keberatan. Kalau Risky mendengar pun dia tidak akan setuju dengan apa yang Heri minta. Aku tidak tau penyakit apa yang mama nya Heri sedang alami, yang aku tau penyakit itu mematikan. Tapi apa aku bisa percaya? Jangan-jangan Heri membohongiku lagi? "Gue tanya pacar gue dulu." ucapku lalu aku langsung mematikan sambungan telepon tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN