Malaikat Penyelamat

1987 Kata
Selamat membaca! Dengan tergesa-gesa, Karen akhirnya selesai membasuh tubuhnya dengan air yang mengalir dari pancuran shower hingga tak ada lagi busa yang tersisa. Kini wanita itu langsung mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya dari pandangan Denis. Setelah itu, ia dengan cepat keluar dari bathroom sambil membawa rasa kesal yang masih melekat dalam pikirannya. "Aku merasa rugi karena pria menyebalkan itu sudah melihat tubuhku!" gerutu Karen dalam hatinya. Langkah Karen semakin cepat menuju sebuah koper yang diletakkannya di atas nakas. Setelah berada dalam jangkauannya, Karen pun dengan cepat membuka koper itu dan mengambil beberapa helai pakaian untuk ia kenakan. Namun, baru saja dirinya selesai mengenakan pakaian, tiba-tiba sepasang tangan kekar melingkar pada tubuhnya dengan erat, membuat Karen seketika terhenyak. Wanita itu pun coba berontak saat menyadari Denis kini sudah tepat berada di belakang tubuhnya. "Lepaskan saya, Tuan. Tolong lepaskan!" Karen mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat melepaskan dirinya dari kedua tangan Denis yang melingkar di tubuhnya dengan suara memohon. Setelah berhasil terlepas, Karen langsung berlari sejauh mungkin sampai berada di sudut kamar. Ia ingin sekali keluar dari kamar hotel itu. Namun, pintu kamar berada di balik tubuh Denis yang artinya, Karen harus melewati pria itu dulu jika ingin keluar dari kamar tersebut. "Aku harus bagaimana ini? Kenapa aku sangat takut Denis akan berbuat di luar perjanjian yang telah disepakati bahwa tidak ada aktivitas ranjang sampai perjanjian pernikahan ini berakhir," batin Karen mulai panik. Ia tak ingin kehormatan yang telah dijaga selama hidupnya harus direnggut oleh pria yang tak dicintainya. Walaupun pria yang masih bertelanjang d**a itu adalah suaminya. Namun, keduanya sama-sama tahu bahwa pernikahan di antara mereka tak dilandasi oleh rasa cinta, melainkan karena sebuah keterpaksaan. Denis kini terus mendekat ke arah Karen dengan senyum tipisnya saat menanggapi rasa takut yang tampak di wajah Karen. "Biarkan saya menikmati tubuhmu karena keberadaan kamu di bathroom tadi sudah membuat pikiran saya rusak. Kamu itu sudah mengotori pandangan saya! Jadi jangan salahkan saya jika harus melakukan hal ini padamu." "Tapi Tuan, kamu yang masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu, kenapa jadi hanya saya yang disalahkan karena insiden tadi?" Denis terkekeh lucu mendengar bantahan yang terlontar dari mulut Karen. "Memangnya saya mau bertamu ke rumah siapa, sampai harus mengetuk pintu segala ketika ingin mandi?" tanya Denis yang sudah semakin dekat hingga akhirnya ia berhasil meraih tubuh mungil Karen dan menariknya dengan paksa lalu melempar tubuh wanita itu ke atas ranjang. Karen terus berontak untuk melepaskan dirinya dari nafsu Denis yang memburu. Namun, semua usahanya berakhir sia-sia karena tenaga Denis jauh lebih kuat darinya. Sampai akhirnya, Karen tak kuasa menahan tangisannya karena merasa terancam saat ini. Bulir-bulir air mata seketika menetes deras membasahi kedua pipi Karen. Wanita itu masih terus memohon, meminta belas kasihan agar pria itu menyudahi perbuatannya sebelum semua yang Karen takutkan terjadi, tapi hal itu hanya sia-sia, Denis bahkan tak berhenti untuk terus melucuti pakaian wanita yang saat ini berada di bawah kendalinya. Kini tak ada lagi yang menghalangi pandangan Denis untuk melihat keindahan tubuh istrinya yang baru pertama kali dapat dipandanginya. Tubuh yang indah dengan dadaa sintal yang terlihat seksi, belum lagi kulit putih Karen menambah gairah dalam pikiran Denis yang sudah berfantasi liar bersama birahinya yang semakin memuncak. "Wanita ini memang cantik, tubuhnya sangat indah, sepertinya sangat rugi jika aku tidak menikmatinya!" batin Denis sambil menatap setiap lekuk tubuh Karen dengan penuh nafsu. Karen terus menangis ketika Denis mulai mencecapi gunung kembar miliknya dengan begitu rakus layaknya seperti seorang bayi yang kehausan. Bahkan ia memberikan tanda merah yang sengaja pria itu tinggalkan di area sekitar dadaa Karen. Berbeda dengan Denis yang semakin memburu, Karen benar-benar tak menikmati permainan yang Denis lakukan, walau ini adalah pengalaman pertama bagi Karen. Semua yang terjadi saat itu malah semakin membuat bulir kesedihan menetes dari kedua sudut mata Karen dengan begitu derasnya. Hati Karen terasa hancur berkeping-keping. Ia merasa dirinya begitu hina. Bahkan kini kehormatan yang menjadi harta miliknya satu-satunya akan hilang seketika. Karen pun memejamkan kedua matanya karena ia tak sanggup menyaksikan apa yang tengah dilakukan Denis di atas tubuhnya. Saat ini kedua tangan kekar pria itu tidak berhenti untuk terus menggerayangi seluruh bagian tubuh wanita itu dengan liar. "Hancur sudah hidupku, pupus sudah harapanku. Aku sudah tak mempunyai semangat lagi untuk menjalani kehidupan ini, Tuhan," batin Karen yang terus menangis, menahan perih di kedalaman hatinya. Karen sudah tak mampu lagi untuk menutupi kehancurannya. Ia terus menangis ketika Denis hendak merampas kesuciannya. Namun, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar berulang kali, seakan yang datang adalah malaikat penolong untuk Karen hingga membuat napasnya yang semula tercekat, kini menjadi lega karena Denis mengurungkan niatnya yang hampir melakukan penyatuan terhadap Karen. Ya, dengan wajah yang tampak memerah karena menahan hasratnya, Denis pun bangkit dan langsung menyambar pakaiannya. "Sial, Abraham selalu saja mengganggu kesenanganku!" gumam Denis berdecak kesal, saat mengetahui yang datang adalah sepupunya. Setelah selesai berpakaian, Denis mulai melangkah menuju pintu untuk menyambut kedatangan Abraham. Ia segera menggenggam handle pintu kamar dengan rasa kesal yang masih berkecamuk di dalam hatinya. Pintu pun seketika terbuka lebar, terlihat sosok Abraham bersama Valeri sudah menunggu. "Denis, kita berdua ingin makan di restoran. Apa kau dan Karen mau ikut bersama kami?" tanya Abraham coba menawarkan. Denis mengerutkan keningnya dengan kedua alis yang saling bertaut. "Lebih baik aku menolak tawaran Abraham agar aku bisa melanjutkan apa yang belum aku selesaikan bersama Karen!" batin Denis memutuskan. Namun, saat Denis hendak menjawab tawaran Abraham, tiba-tiba saja dari balik tubuhnya ternyata Karen yang sudah mengenakan pakaiannya kembali, langsung mengiyakan tawaran Abraham dan dengan cepat keluar dari kamar. "Ayo kita ikut, kebetulan aku belum sarapan dan perutku sudah sangat lapar, lagipula aku jenuh bila terus berada di dalam kamar." Karen terlebih dahulu melangkah meninggalkan rasa penasaran di hati Abraham yang mulai dapat membaca tingkah mencurigakan dari Karen. Terlebih raut wajah Denis saat itu seketika berubah menjadi sangat kesal, saat Karen tiba-tiba keluar dari kamar. "Pasti ada yang tidak beres dengan mereka berdua. Sebenarnya apa sih yang terjadi dalam rumah tangga mereka? Kenapa aku tidak pernah melihat wajah bahagia Karen saat sedang bersama Denis, begitu pun dengan Denis yang tampak mencurigakan! Ah, sebenarnya aku tidak ingin ikut campur, tapi aku tidak tega melihat Karen yang terlihat tidak bahagia atas pernikahannya. Aku harus tanyakan masalah ini pada Karen secara langsung!" gumam Abraham yang mulai memutuskan untuk mencari tahu. Sementara itu, Valeri masih menatap wajah Denis dengan sorot mata yang begitu tajam. Ia seolah mengetahui tentang apa yang telah dilakukan oleh Denis di dalam kamar. "Kurang ajar sekali kamu, Denis. Sepertinya kamu hendak bercinta dengan Karen sebelum aku datang ke sini, tapi pasti wanita itu menolaknya. Apa kamu lupa? Sebelumnya kamu telah berjanji tidak akan menyentuh wanita itu, tapi kenapa kamu malah mengingkarinya sih?" gumam Valeri sambil memicingkan matanya dengan sinis, saat menatap Karen yang kini sudah berada di sampingnya. Denis yang tak memiliki alasan untuk menolaknya, tidak ingin membuat Abraham curiga dan malah banyak bertanya jika dirinya sampai menolak tawaran baik itu, sedangkan Karen sudah menyetujuinya lebih dulu. "Baiklah, aku ikut dengan kalian. Tadinya aku memiliki rencana untuk breakfast berdua Karen di balkon kamar sambil menikmati suasana pagi, tapi baru aja aku mau telepon restoran untuk memesan makanan, kalian sudah datang ke sini untuk mengajak kami. Ya, jadi tidak ada salahnya kita breakfast bareng, rencanaku yang tadi untuk lain hari saja." Kedua mata Valeri terbelalak kaget mendengar penuturan yang terlontar dari mulut Denis. Ia menggertakkan giginya dengan kasar hingga terdengar suara gemeletuk di telinga Karen yang berdiri di sebelahnya. Sementara itu, Karen hanya mengerutkan keningnya, saat mendengar sandiwara Denis. "Dasar tukang bohong, kenapa Denis enggak jadi tukang parkir saja sih kalau pintar akting begitu. Eh, kok tukang parkir sih," batin Karen mengeluh dalam hatinya dengan polos. Mendengar perkataan Denis, membuat Abraham menampilkan raut wajah penuh penyesalan karena ternyata kedatangannya malah mengganggu suasana romantis sepupunya dengan sang istri. "Sorry ya, Denis. Aku tidak tahu kalau kalian sudah punya rencana sendiri. Kalau begitu mulai besok aku akan sarapan berdua saja dengan Valeri agar tidak mengganggu waktu kalian." "Santai, Dude.!" ucap Denis singkat, sembari menepuk bahu sepupunya itu. "Ya sudah, tunggu apa lagi? Ayo kita jalan sekarang ke restoran, perutku sudah sangat lapar nih!" ajak Denis sembari mendorong tubuh Abraham yang masih berada di posisinya. Sebisa mungkin Denis coba menahan emosinya atas hasrat yang tidak terlampiaskan karena kedatangan Abraham. Ia harus pandai bersikap manis kepada Karen di hadapan Abraham agar tidak menimbulkan kecurigaan di hati pria itu mengenai pernikahan mereka yang memang dilandasi tanpa rasa cinta. Denis pun menarik tangan Karen agar berjalan di sampingnya. Wanita itu menurut saja tanpa berani membantah karena Karen takut, jika harus menerima amarah dari pria yang tadi hampir saja merenggut kehormatannya. Beruntung, Abraham datang di saat yang sangat tepat. "Kenapa dia harus bersandiwara seperti ini sih? Apa ini hanya akal-akalnya saja untuk membuat Valeri cemburu?" batin Karen bertanya-tanya. Sepanjang perjalanan menuju restoran, Valeri tak henti-hentinya mengumpat dalam hati atas pemandangan yang terjadi di depan matanya karena melihat Karen dan Denis jalan berdua di hadapannya. Walaupun jarak keduanya tak begitu dekat dan juga tanpa bergandengan tangan, tetap saja hal itu membuat Valeri dibakar api cemburu. Setelah tiba di sebuah restoran yang masih berada di satu kawasan hotel. Kedua pasangan itu memilih untuk menempati meja yang terletak di sudut restoran dengan view yang langsung menampilkan pemandangan pantai yang indah. Valeri dan Karen duduk saling berhadapan, begitu pun dengan Denis dan Abraham. Seorang pelayan datang menghampiri meja yang mereka tempati, pelayan itu memberikan empat buku yang berisi menu-menu yang tersedia di restoran tersebut yang dapat mereka pesan. Tanpa membuang banyak waktu, mereka segera menyebutkan pesanan masing-masing pada sang pelayan yang dengan cekatan menulis satu persatu pesanan mereka pada buku kecil yang dibawanya. Setelah selesai, pelayan itu pun pamit undur diri. Namun, secara mendadak, Valeri yang sedari tadi terus mencuri pandang menatap ke arah Denis, seolah memberi isyarat pada pria itu. "Sayang, aku harus kembali ke kamar sebentar ya, perutku tiba-tiba sakit. Aku boleh 'kan izin sebentar, sayang?" tanya Valeri seraya mengusap rahang wajah Abraham yang seketika menampilkan raut wajah penuh kecemasan. "Perutmu sakit karena telat makan ya, sayang? Aku antar balik ke kamar ya?" tanya Abraham kembali yang tampak begitu panik. "Tidak perlu sayang, kamu tunggu di sini saja ya! Aku hanya sebentar dan lagipula kita 'kan sudah pesan makanan." Abraham pun mengangguk, melepaskan kepergian istrinya untuk kembali ke kamar seorang diri. Valeri dengan cepat melangkahkan kakinya meninggalkan restoran, kembali ke kamarnya setelah mendapat izin dari sang suami. Karen melihat dengan penuh rasa curiga ketika Valeri kedapatan melirik Denis dengan mengangkat kedua alisnya. "Sepertinya mereka sudah janjian untuk bertemu secara diam-diam di luar area hotel agar pertemuan mereka tidak diketahui oleh Abraham. Berani sekali mereka mencari kesempatan untuk berduaan!" batin Karen, mencerna setiap hal yang dilihatnya. Apa yang dipikirkan oleh Karen benar-benar terjadi. Ia bahkan kini sudah seperti pakar mikro ekspresi yang mampu membaca mimik wajah yang ditampilkan oleh Denis maupun Valeri. "Abraham, aku juga pergi dulu! Aku ingin kembali ke kamar, mengambil ponselku yang tertinggal karena ada hal penting yang harus aku bicarakan pada Mommy dan itu tidak dapat ditunda. Sayang, kamu tunggu di sini sebentar ya! Ingat! Jangan pergi ke mana-mana sebelum aku kembali ke sini!" Denis beranjak dari kursinya. Lalu, ia mulai meninggalkan restoran setelah mendapat izin dari Abraham, walau tidak dari Karen yang hanya diam tanpa sepatah kata pun. "Benar 'kan dugaanku. Dasar manusia serakah, sudah punya pasangan sebaik Abraham, tapi Valeri masih mau saja berhubungan dengan pria yang sudah memiliki istri. Untung saja Denis belum sampai merenggut kehormatanku, tapi aku berharap itu semua tidak akan pernah terjadi karena aku tidak mau berhubungan dengan pria yang tidak setia dan tukang selingkuh!" batin Karen mengumpat kesal. Abraham tak menaruh rasa curiga sedikit pun, membuat Karen merasa gemas sekaligus sangat bersalah karena menyembunyikan sebuah rahasia besar darinya. "Apa aku harus mengatakannya kepada Abraham sekarang? Aku kasihan melihatnya jika terus dibohongi oleh Valeri dan Denis seperti ini. Dia mencintai seorang wanita yang salah, karena wanita itu telah membagi cintanya pada pria lain, yang lebih menyakitkan itu adalah sepupunya sendiri," batin Karen bergumul dengan segudang keraguannya. Bersambung✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN