CHAPTER 11

2213 Kata
Suasana di ruang keluarga terasa mencekam. Padahal hanya ada tiga orang di sana. Tayra, Erika dan Gunawan. Tayra yang terlihat paling tertekan. Erika juga terlihat sangat serius sementara Gunawan masih setia dengan ekspresi tenang miliknya. Erika terus berceloteh menyampaikan isi kepalanya. Sementara Tayra terlihat tidak suka dengan apa yang Erika sampaikan. "Tapi Tay nggak mau," akhirnya Tayra buka suara. Erika melotot. "Nggak mau kamu bilang? Terus apa rencana kamu?" "Tay belum tau, tapi yang pasti Tay nggak akan nikah sama Abi," ucap Tayra tegas. Sama sekali tak ada rasa bersalah saat ia mengatakan itu. Padahal apa yang sedang mereka bahas saat ini bukanlah masalah sepele. "Tapi kamu nggak punya pilihan. Mami dan Papi sudah buat keputusan. Kamu dan Abi akan segera menikah." Tangan Tayra mengepal. "Sampai kapan?" ucap Tayra dengan suara tertahan. "Sampai kapan Mami sama Papi kayak gini?" Erika mengerutkan kening. "Apa maksud kamu?" "Sampai kapan Mami mau semena-mena sama Tay?!" "TAYRA!" "Dari dulu selalu kayak gitu! Mami sama Papi selalu ambil keputusan sepihak! Nggak pernah nanya gimana pendapat Tay! Nggak pernah mikirin gimana perasaan Tay! Apa Mami pernah sekali aja tanya apa Tay suka atau enggak? Apa Tay setuju apa enggak?!" "Mami lakuin itu untuk kebaikan kamu!" "Kebaikan?" Tayra tersenyum kecut. "Kebaikan mana yang Mami maksud?" Tayra menghembuskan napas pelan. "Apa Mami pernah tanya apa Tay bahagia atau enggak?" Erika menarik napas dalam. "Terserah apapun yang mau kamu pikirkan. Tapi keputusan Mami nggak akan berubah. Kamu dan Abi akan tetap menikah." Tayra berdiri dari duduknya. "Mami nggak pernah berubah. Masih sama egoisnya." "TAYRA!" "Udah, Mi.." Gunawan menahan tangan sang istri. "Tapi, Pi—" "Biarkan Tayra mendinginkan kepalanya dulu." Erika kembali duduk. "Mami nggak bisa tenang, Pi. Papi sendiri tau gimana keras kepalanya Tayra. Dan ini bukan masalah sepele. Nama keluarga kita bisa tercemar." Erika menatap sang suami. "Sebaiknya pernikahannya kita percepat aja, Pi. Argio sama Cenilaa juga." ... "Terus mau sampai kapan lo ngurung diri gini, Tay?" Minda menghela napas. Ia mengerti perasaan Tayra. Perempuan normal mana yang mau menikah dengan laki-laki macam Abi. Tapi saat ini Minda merasa Tayra juga tak punya pilihan. Masalahnya ia sedang hamil. "Gue bukannya apa ya, Tay, tapi gue rasa nyokap lo nggak sepenuhnya salah. Maksud gue," Minda menjeda, menunggu reaksi Tayra. "Menurut lo gue nikah sama Abi keputusan terbaik juga?" tanya Tayra. "Hmm, ya gimana ya Tay. Oke, gue bakal keluarin unek-unek gue. Tapi please lo jangan salah paham. Mungkin zaman sekarang hamil tanpa menikah itu fenomena yang udah lumrah, bukan suatu hal yang aneh lagi. Cuman, ada beberapa hal yang nggak bisa diabaikan. Pertama, kita di Indonesia. Oke, anggap aja orang Indo udah mulai terbiasa sama hal kayak gini. Mungkin mereka akan ngomongin lo selama beberapa waktu, terus mereka akan berhenti perlahan. Tapi, mereka cuma berhenti ngomongin aja Tay, mereka nggak akan lupa. Mereka akan terus ingat." "Maksud lo nama baik keluarga gue, kan?" Tayra tersenyum kecut. Minda terlihat iba. Memang nama besar keluarga Tayra yang paling masalah saat ini. Tidak akan masalah jika Tayra hamil di luar nikah. Tapi akan masalah jika Tayra tidak menikah dan punya anak. Intinya Tayra harus menikah. "Min..." Tayra menatap langit-langit kamar. "Gue nggak pernah bilang ini ke orang lain, bahkan keluarga gue." Tayra sedih, tapi air mata tak mau keluar dari matanya. Ia sudah kebal. "Rumah ini adalah tempat yang paling gue takutin di dunia. Lo tau kenapa?" Minda menggeleng. Tayra tersenyum hambar. "Karena ada keluarga gue di sini. Karena gue akan ketemu mereka semua di sini. Tempat terakhir yang ingin gue tinggali adalah rumah ini." "Tay.." Minda meremas tangan Tayra. "Gue lupa Min, kapan gue merasa hangat di rumah ini. Gue bahkan lupa gimana rasanya sebuah kehangatan. Saat pertama gue kembali, gue bahkan nggak ngenalin rumah ini. Rasanya ini bukan tempat yang gue kenali. Rumah gue bukan di sini." Akhirnya bulir bening mengalir dari mata Tayra. Air mata yang sudah ditahan-tahan itu mengalir dengan deras. Minda langsung memeluk Tayra. Selama ia mengenal Tayra, belum pernah ia lihat Tayra serapuh ini. Tayra selalu identik dengan sosok ceria, tegas, jutek dan tangguh. Siapa sangka ia punya sisi lemah ini. Jika itu berurusan dengan keluarga, sosok sekokoh apapun bisa menjadi lemah, kan? "Gue nggak mau nikah, Min. Gue nggak mau nikah..." ucap Tayra lirih. Minda mengusap-usap lengan Tayra. Apa yang bisa ia lakukan? ... "Please deh, Bi. Percuma lo nemuin gue terus? Nggak ada faedahnya. Nggak ngaruh juga.." Minda menghela napas lelah. Sudah seminggu ini Abi terus saja mengganggunya. Minda rasanya sudah gatal ingin memukul kepala Abi dengan stik baseball. "Ya cuman lo yang tau kondisi Tayra.." Abi beralasan. Yap benar. Hanya Minda dan Resha. Dua perempuan itu yang tau kondisi Tayra. Mereka berdua juga yang punya akses bebas ke rumah Tayra dan mau Tayra temui. Tapi Abi tidak akrab dengan Resha. Jadi Minda lah yang selalu jadi sasaran. Minda gerah. Apalagi gosip-gosip aneh mulai bermunculan. Ya wajar saja. Siapapun perempuan yang dekat dengan Abi pasti selalu masuk top list gosip. Dan sekarang Minda digosipkan menjadi Abi's  next girl. Yang benar saja. Alerginya Minda pada Abi tidak jauh berbeda dengan Tayra. Bedanya Abi tertarik pada Tayra tapi tidak pada Minda. Kenapa? Hmmm... "Tayra nggak angkat telpon gue, nggak balas pesan gue. Gue ke rumahnya juga dia nggak mau temuin gue. Lagian gue nggak mungkin sering-sering ke sana.." jelas Abi. "Ya kali gue perduli. Itu mah urusan lo.." ujar Minda cuek. Tapi anehnya hari ini Abi sendiri. Biasanya Jun selalu menemani. Terutama saat Abi menemui dirinya. "Gue mau tanya serius sama lo, deh.." Minda akhirnya mau bicara baik-baik. Abi menatap perempuan cantik di depannya itu. "Perasaan lo sama Tayra itu gimana? Lo suka sama Tayra?" Abi diam, tidak langsung memberikan jawaban. "Bukan urusan lo gimana perasaan gue sama dia," ujar Abi akhirnya. Minda menghela napas. Melipat tangannya di d**a. "Lo tau kan Tayra nggak setuju nikah sama lo? Bukannya harusnya lo senang? Lo juga nggak mau nikah sama dia kan?" Abi menggigit bibir bawahnya. Bagi perempuan lain itu akan terlihat seksi dan menggoda. Tapi Minda malah berharap bibir Abi benar-benar tergigit sampai berdarah. Ya, segitu bencinya dia pada Abi. "Bukan itu masalahnya." Kening Minda mengerut. "Pokoknya, intinya gue sama Tayra tetap harus nikah.." "Kenapa? Lo mau sok jadi ayah yang bertanggung jawab? Lo nggak perlu kayak gitu depan gue. Gue tau kok betapa busuknya lo sama isi kepala lo. Ngomong jujur aja sama gue.." "Mulut lo keren ya," Abi tersenyum sengit. Minda mengendikkan bahu cuek. Tapi Abi sedang tidak perduli pada kasarnya kata-kata yang Minda lemparkan padanya. Minda menarik napas dalam. "Gue nggak tau apa gue perlu sampein ini sama lo, Bi.." ekspresi Minda terlihat serius kali ini. "Tapi Tayra nggak akan mau nikah. Baik sama lo atau sama siapapun." Kening Abi mengerut. "Apa maksud lo?" "Masalahnya nggak cuma orangnya itu lo. Masalahnya itu, Tayra yang nggak akan mau nikah. Mau siapapun orangnya.." kemudian Minda berlalu. ... Kata-kata Minda ternyata cukup mengganggu Abi. "Jadi gimana? Lo beneran mau nikah sama Tayra?" Hampir tidak ada rahasia antara Abi dan sahabat-sahabatnya. Terutama Jun dan Renno yang memang paling dekat dengan dirinya. Abi meneguk minumannya. "Kalau harus pilih, gue setuju lo sama Tayra daripada.." Renno tidak melanjutkan kalimatnya. Ia dan Abi selalu berakhir tegang jika Renno sudah menyebut satu nama itu. Beda dengan Jun, Renno lebih terang-terangan mengatakan isi kepalanya. Seperti dulu dia menolak Karin yang sialnya jadi bumerang sekarang. Renno memang b******n. Tapi perempuan polos dan lugu tidak ada dalam daftarnya. Dan Karin adalah perpaduan dua hal yang Renno blacklist. Hmmm dulu... Ponsel Abi bergetar. Ia melihat nama di layar, tapi tampak tak ada hasrat untuk menjawab. "Baru dibahas udah nelpon aja," cibir Renno. "Ren.." Jun mengingatkan. Abi sepertinya sedang badmood. Bisa gawat kalau Abi terpancing. Jun tidak mau jadi penengah jika dua orang itu bertengkar nanti. Bukan apa-apa, tapi mereka sedang di klub. Akan merepotkan dan Jun kesal jika harus mengeluarkan tenaga untuk melerai mereka. "Apa rencana lo, Bi?" Tanya Jun. "Orang tua lo sama orang tua Tayra udah tentuin tanggal?" Abi menggeleng. "Belum, mungkin. Setahu gue mereka baru mau bahas itu malam ini." "Lo maunya gimana?" Abi kembali meneguk minumannya. "Mau gue gimana nggak akan merubah apa-apa. Lo kayak nggak tau bokap gue. Lagian..." Abi menerawang jauh. "Gue belum pernah bikin hamil anak orang.." Renno tergelak. "Kenapa lo ketawa?" Renno menggeleng. "Lucu aja. Udah nggak kehitung berapa cewek yang lo tidurin. Tapi di antara semuanya kenapa harus Tayra yang hamil?" Renno geleng-geleng, merasa hal ini sangat lucu. "Nggak lucu b**o'," maki Jun. "Lucu Jun. Lo sih selera humornya parah. Coba aja lo lihat temen lo itu. Si b******k yang bentar lagi hijrah jadi ayah yang baik." "b******k! Semoga lo ngalamin juga!" Umpat Abi. Renno mencebikkan bibir. "Udah kali," cibir Jun. "Lo gak tau dia kena karma Karin—" "Diam b*****t!!" Renno menutup paksa mulut Jun dengan tangannya. "Jorok b*****t!" Maki Jun setelah berhasil lepas. "Tangan lo dicuci nggak sih?" Abi menghela napas. "Bi," Jun menepuk bahu Abi. "Gue tau lo nggak suka sama Tayra. Terus kenapa lo harus ambil langkah sebesar ini?" Jun sudah berada dalam mode paling seriusnya. Meski sulit, tapi Jun yakin Abi bisa membatalkan rencana pernikahan itu, jika Abi mau. Sekuat apapun Tuan Agala terhomat itu memaksa Abi, pasti Abi punya cara untuk melawannya. Tapi dalam hal ini Jun lihat Abi sangat pasrah. "Atau ada yang nggak gue tau?" Tebak Jun. Abi merebahkan diri ke sandaran sofa. "Bukan gitu. Gue emang nggak ada perasaan sama Tayra. Cuman..." Abi menghela napas. "Gue nggak tau gimana jelasinnya sama lo berdua. Gue ngerasa gue nggak bisa lepasin hal ini gitu aja.." "Maksud lo kehamilan Tayra?" Abi mengangguk. Meninggalkan perempuan itu masalah sepele. Bukan tiga kali lima kali Abi membuang perempuan yang sudah selesai urusan dengannya. Tapi ini konteksnya berbeda. "Oke. Jadi misalnya kalau bukan Tayra pun yang hamil, anggap aja itu cewek lain yang hamil lo tetap akan nikahin dia, gitu?" Abi mengangguk. "Kan udah gue bilang, Jun. Dia mau hijrah jadi ayah yang baik.." celetuk Renno. "F*ck!" Umpat Abi pada Renno tanpa suara yang dibalas Renno dengan gerakan flying kiss. "Oke. Intinya ini masalah anak," Jun mengambil kesimpulan. "Tapi Tayra nggak mau nikah sama lo, kan?" Itu masalahnya. Abi tidak menyangka bahwa Tayra akan sekeras itu. Menolaknya sampai akhir. "Makanya lain kali jangan b**o jadi orang. Make out sesering itu gapake pengaman. Kayak cowok yang baru belajar jadi b******k aja lo.." "Ren, lama-lama lo gue gulai beneran.." kesal Abi. Renno mencibir. "Habisnya gemes gue pengen caci maki lo." Kemudian hening. Hanya suara musik yang terdengar dari luar. "Tapi menurut gue, lo harus ngomong sama Tayra, Bi," kali ini Renno menatap Abi serius. ... Renno benar dan di sinilah Abi saat ini. Di rumah Tayra. Sudah seminggu dia tidak ke sini. Sudah seminggu dia tidak bertemu Tayra bahkan sekedar melihat wajah Tayra. Perempuan itu selalu menolaknya. Keluarga Tayra sedang di rumah sebenarnya. Bahkan ada kedua orang tuanya di sini. Mereka pasti sedang membahas masalah pernikahan. Abi berhasil meyakinkan orang tuanya dan orang tua Tayra bahwa ada yang harus ia bicarakan dengan Tayra. Alhasil Erika mau memberikan kunci cadangan kamar Tayra pada Abi. Langkah pertama sukses. Dia mendapat akses masuk. Abi berdiri di depan pintu kamar. Biasanya ada Mbok tapi tidak hari ini. Abi sendiri di sini. Abi membuka pintu kamar. Dengan tarikan napas dalam Abi masuk. Entah kenapa ia merasa berdebar. Seperti terakhir Abi ke sini, cahaya kamar Tayra amat redup. "Ngapain lo di sini?" Tayra yang baru keluar dari kamar mandi menatap Abi tajam. "Ada yang harus kita bahas.." "Nggak ada yang harus kita bahas! Keluar lo sekarang!" Abi membuang napas pelan, mencoba tetap sabar. "Tay.." "Gue bilang keluar!" Abi mendekat. "KELUAR!" Bentak Tayra. "Tay.." Sebuah vas tiba-tiba melayang ke arah Abi. Untung Abi bisa menghindar. Vas itu berceceran di lantai. "KELUAR DARI KAMAR GUE!!" "Tay lo mau ngapain?!" Abi menjerit begitu melihat Tayra mengangkat sebuah gunting yang ternyata sudah dipegangnya sejak tadi. "TAY!" Jerit Abi saat Tayra mengarahkan gunting itu ke lehernya sendiri. Abi melotot dan jantungnya berdebar hebat. Jarak mereka yang hanya terpaut dua langkah membuat Abi bisa melihat dengan jelas kalau wajah Tayra basah. Apa Tayra menangis sejak tadi? "Please, Tay, jangan nekat.." bujuk Abi. "APA PERDULI LO! GUE BENCI SAMA LO! GUE BENCI!" Dalam gerak cepat, Abi berhasil menangkap tangan Tayra. "LEPASIN GUE!" "TAY TENANG DULU!" "LEPAS! LEPASIN GUE b******k!!" Tenaga Tayra tidak main-main. Entah karena sedang marah, setengah sadar atau apa. Tidak mudah bagi Abi untuk merebut gunting itu darinya. "TAY TENANG!" "LEPASIN GUE! BIAR GUE MATI AJA!" Abi mendorong Tayra ke lantai. Masih berusaha merebut gunting itu. Untungnya Abi berhasil. Ia langsung melempar gunting itu. "b******k!" "TAY! DIAM!" Bentak Abi menahan kedua tangan Tayra di samping kepalanya. Napas keduanya sudah berpacu hebat. Pintu kamar terbuka. Semua orang terlihat terkejut. Tangan Abi dan Tayra dipenuhi darah. Perhatian mereka berganti antara gunting berdarah di lantai dan Abi yang sedang menghimpit Tayra di lantai. "Abi, ada apa ini?!" tanya Ram marah. Orang tua Tayra juga terlihat terkejut dan bingung. "Papi keluar!" "ABI!" "Om sama Tante juga," ucap Abi mengabaikan ayahnya. "Please.." ia memohon. Meski bingung dan juga terkejut, akhirnya mereka keluar, meninggalkan Abi dan Tayra yang sepertinya baru selesai berperang. Pintu kembali tertutup. Abi menghela napas lelah. Perlahan ia lepaskan cengkramannya di pergelangan tangan Tayra. Perempuan itu terisak, sejak tadi. "Gue akan kabulin apapun permintaan lo, Tay. Tapi jangan kayak gini. Please, Jangan bahayain diri lo sendiri.." suara Abi terdengar seperti orang putus asa. Seumur hidup, belum pernah Abi seperti ini. Belum pernah ia memohon pada siapapun. Tayra berhasil membuat Abi merasakan perasaan aneh seperti ini. Pandangan Abi tertuju lurus pada perempuan yang memalingkan wajahnya itu. Sudah berapa lama Tayra menangis hingga matanya bengkak begitu? "Gue nggak mau nikah, Bi.." ucap Tayra lirih nyaris tanpa suara. Tapi Abi bisa mendengar kalimat itu dengan jelas. Dan Tayra benar-benar memukul Abi telak. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN